"Iya, Kak, nggak apa-apa kok," sahut mereka bersamaan.
"Sebelumnya, perkenalkan nama saya Vita rizkinyani, kalian bisa panggil saya Vita. Salam kenal," ujar Vita memperkenalkan diri. Dia pun tersenyum kepada anggota kelompok satu.
"Salam kenal juga, Kak Vita," sapa mereka secara bersamaan.
Kini rasa bimbang dan resah kelompok satu pun langsung hilang begitu saja. Dia tidak tahu mengapa apa yang dikatakan Ana memang benar seakan Ana adalah peramal yang bisa meramal keadaan. Mereka pun tersenyum bersama mengingat hal tadi, sedangkan Ana malah terdiam saja seperti memikirkan sesuatu. Rasanya seperti ada yang sengaja dirinya tutupi. Namun, mereka tidak menyadari akan hal itu. Senyum Ana tadi saja sangat dipaksakan agar tidak menyinggung perasaan panitia pendampingnya. Mau bagaimana pun keadaannya, Ana tidak ingin melibatkan apa yang terjadi kepada dirinya.
Lagi-lagi mata Ana kembali melihat kakak kelas yang sudah meninggal dari jarak jauh, lebih tepatnya yang kemarin mengganggu Ana. Namun, Ana berusaha untuk tidak menggubris keadaan makhluk gaib tersebut dengan cara beberapa kali dia melafalkan do'a dan mantra yang sudah diajarkan oleh kakek dan neneknya. Saku seragamnya pun terdapat bawang putih yang dipercaya dapat menangkal kehadiran makhluk gaib. Ana sangat berharap bahwa makhluk tersebut benar-benar tidak akan mengganggunya lagi karena sedikit pun tidak ada niat dalam diri Ana untuk mengganggu makhluk tersebut.
"Ana!" Panggil Elsa ketika melihat tingkah Ana agak aneh. Tidak ada jawaban membuat Elsa semakin bingung. Akhirnya dia memutuskan untuk kembali memanggil namanya. "Ana!"
Sudah kedua kalinya Elsa memanggil nama Ana, namun tidak ada sedikitpun respon dari Ana. Kedua mata Ana malah lurus ke bawah dengan bibirnya yang komat-kamit seperti sedang melakukan sesuatu yang entah Elsa tidak tahu. Ada sedikit rasa merinding dalam diri Elsa sih, akhirnya Elsa pun berniat memanggil nama Ana lagi untuk berusaha menyadarkan.
Tangan Elsa menepuk bahu Ana sambil berbisik, "Jangan buat gue takut, Ana!"
Di saat itulah Ana pun tersadar dari lamunannya. Untung saja disadarkan oleh Elsa, jika tidak maka entahlah Ana sendiri tidak tahu bagaimana nasib dirinya nanti. Kakak kelas tersebut benar-benar seperti tidak menyukai Ana, padahal Ana berusaha untuk tidak ikut campur terhadap masa lalu cerita hidup kakak kelas tersebut. Mau bagaimana pun keadaannya, Ana hanya ingin hidup tenang dalam menjalani kehidupannya di sekolah barunya. Dia tidak ingin terlihat aneh di mata teman-temannya. Semakin bertindak aneh maka semakin tidak yakin pula dirinya untuk menjalani aktivitas yang ada di sekolahnya.
Ana pun menatap Elsa dengan kedua alisnya mengernyit. "Ada apa, Elsa?"
"Apakah kamu ada masalah? Kalau di sekolah jangan pernah ngelamun, bahaya banget loh. Kalau kamu ada masalah, bisa kok kalau mau cerita sama aku. Sekarang kan kita temenan, siapa tahu aku bisa memberikan solusi buat masalah kamu ini."
"Hm, iya terima kasih, Elsa, tapi aku nggak apa-apa kok. Tadi cuma sedikit lelah saja karena aku memang dari pagi belum sarapan pakai nasi, paling tadi pakai roti sama s**u saja dan itu nggak membuat perut aku kenyang," jelas Ana.
"Sepertinya bukan itu deh yang kamu rasakan. Tadi itu, kamu terlihat sedang banyak pikiran, sampai ngelamun segala."
"Nggak kok, itu aku cuma diam ngerasain cacing-cacing di perut minta demo karena kelaparan. Kamu tahu sendirilah kalau lapar itu rasanya gimana, hehehe." Ana nyengir karena agar tidak terlihat apa yang sebenarnya dia rasakan. Mana mungkin juga jika Ana akan memberitahu apa yang sebenarnya terjadi. Hal itu sangat mustahil dan belum tentu orang lain akan mempercayainya, malah kemungkinan besar akan dianggap halu. Lagian mana mungkin sih di siang bolong ada hantu karena hantu itu identik dengan malam hari.
"Kenapa nggak sarapan dulu saja, Na? Kegiatan kita memang seperti ini saja, tapi tanpa terasa sangat menguras banyak tenaga loh. Apakah kalau ngomong sedikit akan disindir maupun ditegur. Semakin banyak diam maka semakin lapar banget. Rasanya jadi seperti orang yang serba salah. Aku saja yang tadi pagi sudah sarapan sekarang lapar banget kok. Apalagi kamu yang belum sarapan," ujar Elsa sedikit prihatin karena dia tahu bagaimana rasanya sakit perut ketika menahan lapar. Terutama jika memiliki riwayat sakit maag yang tentunya itu bukan hal sepele. Sebab, Elsa memiliki saudara yang mempunyai riwayat sakit maag, jika saat kambuh maka jangan ditanyakan lagi. Elsa saja sampai bingung bagaimana cara menjelaskannya, sedangkan dirinya saja tidak berani melihat ketika saudaranya sedang menahan sakit. Dia tak sanggung membayangkan apa yang dirasakan saudaranya tersebut. Jadi, bagi Elsa sih cukup tahu saja dan dia akan mau menemui ketika keadaan saudaranya sudah cukup membaik.
"Bukannya sengaja nggak mau sarapan, hanya saja aku sudah kesiangan. Ya sudah deh daripada telat nanti kena hukuman, lebih baik sarapan pakai roti saja, itu pun di dalam mobil."
"Oh, jadi kamu berangkatnya diantar naik mobil?" Tanya Elsa cukup terkejut.
"Iya, kan kita nggak diperbolehkan membawakan kendaraan sendiri, meskipun itu sepeda."
"Enggak, Ana, bukan itu yang aku maksud."
"Terus apa, El?"
"Kamu punya mobil?"
"Nggak, yang punya mobil kedua orang tua ku. Aku hanya seorang anak, semua yang aku pakai dan gunakan adalah fasilitas dari mereka."
Elsa mengangguk-anggukkan kepala. Dia mendapatkan informasi terbaru mengenai Ana. Rupanya selain cantik dan menjadi idaman banyak orang, dia berasal dari keluarga berada. Rasanya cukup sempurna bagi Elsa. Dia menganggap bahwa Ana adalah orang yang sangat beruntung di dunia ini. Selain mendapatkan perhatian dari orang tua, dia juga mendapatkan perhatian dari orang lain, ditambah lagi dia dari kalangan keluarga berada. Wajar jika dia menjadi incaran banyak orang dan Elsa sangat yakin bahwa selera Ana itu sangat tinggi. Satu hal dalam diri Ana yang membuatnya terlihat beda dari yang lain, yaitu bagaimana dirinya cuek terhadap lingkungan sekitar, meskipun dirinyalah banyak diperhatikan oleh orang lain. Andai saja Ana suka melayani orang-orang yang memang iseng kepada dirinya maka disitulah akan ada yang namanya berbuat semena-mena. Selama dua hari ini yang Elsa tahu mengenai Ana sih anaknya memang kalem dan pendiam, sehingga kesan wibawa dirinya itu terlihat tenang dalam menghadapi setiap hal.
"Ya intinya kamu berasal dari kalangan keluarga orang berada," ujar Elsa.
Ana tidak tahu apa maksud Elsa karena selama hidupnya dia baru pertama kali menemukan orang yang seperti Elsa, di mana dia secara terang-terangan menilai orang lain tanpa sedikit sensor. Padahal hal tersebut bisa menyinggung perasaan orang lain. Entahlah apa yang ada di dalam pikiran Elsa. Ana tidak peduli dan dia lebih memilih untuk memperhatikan panitia pendampingnya yang sedang sibuk dengan beberapa lembar kertas. Jika dilihat sih hanya panitia pendamping kelompok satu saja yang terlihat sibuk sedangkan kelompok lain malah terlihat selow dan biasa saja. Jika dibilang karena telat sih tidak mungkin karena pendamping kelompok satu memang membawa banyak beberapa lembar kertas, dia terlihat sibuk tidak seperti pendamping kelompok yang lainnya.
"Hm, terserah kamu saja deh Elsa, tapi lain kali jangan lakukan seperti apa yang kamu lakukan ke Aku kepada orang lain. Bahaya banget, bisa-bisa malah nanti nggak pada mau sama kamu," nasihat Ana, mau bagaimana pun kalau salah tetap salah maka dia pun setidaknya harus bisa menegakkan kebenaran, meskipun hal itu bukan suatu hal yang mudah.
"Loh kok gitu? Memangnya apa salahnya aku?"
Untung saja ada panitia pendamping yang akan berbicara, sehingga secara tidak langsung pun Ana sudah terselamatkan dari orang yang seperti sedang memojokkan dirinya. Kini Ana sangat merasa senang karena bisa terlepas dari beberapa pertanyaan Elsa yang menurutnya tidak terlalu penting. Di luar sana masih banyak hal penting yang lebih pantas untuk dibahas dan diselesaikan dengan baik-baik.
"Ini ada lembaran kertas biodata singkat, ada nama orang tua, nama kalian, alamat, dan nomor hp yang masih aktif ya, terutama yang bisa tersambung dengan WA. Nanti kalian isi semua secara lengkap dan detail," jelas Vita.
"Siap, Kak!" Jawab anggota kelompok satu secara bersamaan.
Kertas tersebut mulai diisi dari Ana kemudian diputar ke arah kanan hingga sampai pada Elsa yang paling akhir karena dia duduknya bersebelahan dengan Vita. Namun, mau bagaimana lagi jika memang hal itulah sudah menjadi resiko mengantri. Ana pun menghela napas melihat Vita seperti sangat gugup. Jadi, saat ini Ana berlatih untuk memilih menjadi orang yang teliti dan telaten agar tidak seperti kondisi Vita lada saat sekarang.
"Kak Vita!" Panggil Ana.
Vita pun menatap Ana sambil bertanya, "Iya, ada apa?"
"Kak Vita lagi ada banyak masalah ya? Mau cerita, Kak?"
"Nggak ada kok, cuma sedikit lelah saja karena dikejar deadline," jawab Vita tidak kaku.
"Oh ya sudah kalau seperti itu."
Tak lama kemudian pengisian biodata singkat tadi telah sampai di tangan Elsa. Saat ini, Elsa sedang menulis apa yang sesuai dengan dirinya sendiri. Setelah selesai, Elsa pun memberikan selembar kertas tersebut kepada Vita.
"Ini kertas dan bolpoinnya, Kak," ujar Elsa.
"Iya, terima kasih atas kerja samanya. Oh iya kita belum perkenalan ya," kata Vita.
"Iya nih, Kak. Kalau kata pepatah tak kenal maka tak sayang. Jadi, ya tahu sendirilah apa yang harus dilakukan, yaitu kenalan." Zea sedikit memejamkan kedua mata membayangkan jika dirinya berada di tempat umum untuk memperkenalkan diri dalam sebuah acara dan di lokasi tersebut ada laki-laki pujaan hati Zea. Bibirnya pun tercetak senyuman tipis, dia benar-benar terlihat seperti orang yang sangat halu, tapi mau bagaimana lagi karena itu sudah menjadi hak dia, sehingga ketika ada orang lain yang mau berimajinasi maka hargailah orang tersebut. Mau itu membuat nyaman maupun tidak nyaman karena memang ada cara yang paling efektif ketika merasa tidak nyaman, yaitu dengan cara memilih pergi dari tempat yang membuat tidak nyaman tersebut.
"Salah tuh, Zea, bukan seperti itu konsepnya!" Cletuk Nana.
"Terus bagaimana konsep yang benar?"
"Yang benar tuh seperti ini, kalau tidak kenal maka ta'arufan," jelas Nana.
Kedua mata Zea pun membulat sempurna dengan kedua alisnya yang mengernyit. Dia benar-benar terkejut mendengar pernyataan Nana, lalu dia pun berdecak dilanjut dengan menghela napas. Tujuannya sih hanya untuk menghindari rasa kesal dan emosi saja. Lagian mana mungkin jika Zea harus emosi karena hal yang tidak terlalu penting, apalagi hal ini terjadi di antara anggota dalam satu kelompok.
"Loh, itu kan sama saja, Nana," ucap Zea berusaha menahan emosi.
"Ya beda lah, kalau tidak kenal ya kenalan, bukan malah tidak sayang."
"Tapi kan tadi aku sudah bilang harus kenalan," ucap Zea tidak mau kalah karena memang tadi dirinya mengatakan hal tersebut.
"Apa iya?" Tanya Nana pura-pura lupa. Dia mengakui kepada dirinya sendiri bahwa dirinya memang salah dan dia belum mau mengakui kesalahannya tersebut di hadapan orang lain. Tentunya cukup aneh dan membuat dirinya malu.
"Iya, Nana. Kamu ini pelupa banget."
"Ya sudah kita langsung perkenalan saja ya."
"Oke," sahut anggota kelompok satu secara bersama.
"Kita kenalannya mulai dari mana?" Tanya Vita.
"Dari sebelah kiri Kak Vita saja, tadi kan mengisi biodatanya dari sebelah kanan Kak Vita. Biar gantian gitu loh, Kak," usul Elsa yang disetujui oleh anggota lain.
"Oke, kalau seperti itu, mulai dari kamu ya," ujar Vita menunjuk ke arah Elsa.
"Oke, Kak Vita. Aku mulai perkenalannya ya. Perkenalkan namaku Elsa Safira, biasa dipanggil Elsa."
"Eh gila, kalian pada sadar nggak sih kalau ternyata kelompok kita sudah seperti film Frozen saja, ada Elsa dan juga ada Ana, hahahaha," cletuk Sintia.