"Iya juga ya," sahut Zea.
"Nah, maka dari itu, mantap nih pasti si Elsa punya kekuatan es, nggak bisa ngebayangin bagaimana suasana salju dan bermain salju," kata Sintia ngasal hanya untuk bahan candaan saja.
"Kekuatan bapak kau. Kalian pikir aku ini kartun? Aku hanya manusia biasa!" Ketus Elsa tidak mau jika dirinya disamakan dengan kartun yang ada di film Frozen, sedangkan Ana sih biasa saja karena dia seringkali disamakan dengan orang lain maupun kartun, meskipun dirinya benar-benar tidak mirip. Dia hanya menganggap bahwa hal tersebut hanya sebuah candaan saja. Lagian kalau jadi orang mudah baper maka mudah sakit hati juga.
"Sudah-sudah, kita lanjutkan perkenalan nanti keburu waktunya tidak cukup karena setelah ini akan ada hal yang harus disampaikan," lerai Vita tidak ingin ada keributan.
"Oke, lanjut!" Kata Sintia.
Kini giliran sebelah Elsa, yaitu gadis berambut pendek dengan bandana sebagai hiasan rambutnya. Dia pun tersenyum lalu memperkenalkan diri. "Perkenalan nama saya Gladisa Kainuna, biasa dipanggil Gladis. Salam kenal semua!"
"Salam kenal Gladis," sahut anggota kelompok satu secara bersamaan.
"Lanjut langsung saja ya, jangan berhenti biar cepat selesai, kurang delapan anak lagi."
"Siap, Kak!"
"Perkenalkan nama saya Zea Arsyila, biasa dipanggil Zea."
"Lanjut!" Suruh Vita.
"Perkenalkan nama saya Nana Aprilia, biasa dipanggil Nana."
"Lanjut lagi!"
"Perkenalkan nama saya Dinda Kalila, biasa dipanggil Dinda, boleh dipanggil cantik, tapi jangan panggil sayang karena kita sama-sama perempuan."
Dinda memperkenalkan diri membuat anggota kelompok satu tertawa bersama. "Hahaha."
"Lawak banget sih kamu, Din, biasa minum kopi lawak ya makanya suka ngelawak gitu, hahahaha," kata Zea.
"Itu kopi luwak, Zea, bukan kopi lawak, huft dasar!" Sintia membenarkan ucapan Zea.
"Oh iya itu kopi luwak," ucap Zea lalu tertawa terpingkal-pingkal sampai dia menepuk-nepuk punggung Gladis sangat gemas, padahal yang membuat dirinya tertawa adalah Dinda. Biasalah perempuan suka asal pukul saja di saat dirinya merasa gemas.
"Zea! Sakit tahu!" Ketus Gladis mendelik kesal dengan tangannya sambil memegang bagian yang dipukul Zea.
"Yaelah gitu saja sakit, lebay banget sih lo!" Ejek Zea, dia kalau ngomong memang suka asal ceplos, sehingga bagi orang yang suka lurusan saja akan mudah sakit hati karena ucapan Zea seringkali di batin. Namun, bagi orang yang memang suka bercanda maka akan merasa nyaman ketika main bersama Zea karena menganggap bahwa selera humor Zea sangat receh.
"Lebay bapak kau! Sini mau aku geplak biar kamu bisa ngerasain apa yang aku rasain juga, hah?" Tawar Gladis dengan matanya membulat sempurna.
"Kebiasaan deh kalian berdua sukanya gitu, dari tadi apa pun dipermasalahkan, macam nggak ada hal lain saja yang bisa dibahas!" Cletuk Sintia jengah melihat keributan di antara mereka.
"Diam kamu! Sewot mulu dari tadi, huft!" Zea menghela napas, dia sedikit kesal saja terhadap ucapan Sintia, padahal tadi dia ikut tertawa.
"Sudah-sudah lebih baik lanjut lagi," lerai Vita. Dia tidak ingin kalau anggota kelompoknya akan mengalami perselisihan yang bisa menyebabkan nanti tidak kompak dalam menjalankan setiap aktivitas yang ada. Mau bagaimanapun keadaannya yang namanya satu tim tentunya ingin sekali kompak dalam melaksanakan sesuatu, baik itu susah maupun senang.
"Ayo, lanjut setelah Dinda!" Suruh Elsa.
Sintia pun senyum lalu sedikit membenarkan gaya rambut dan seragamnya. Setelah merasa beres, dia memperkenalkan diri. "Oke, tanpa salam, perkenalkan nama saya Sintia Amalia, biasa dipanggil Sintia."
"Mau kenalan saja banyak gaya banget kamu, Sin!" Cletuk Elsa lalu tersenyum getir.
"Biar anti mainstream gitu loh," sahut Sintia.
"Lanjut!" Suruh Vita.
"Perkenalkan nama saya Dewi Agustin, biasa dipanggil Dewi."
"Hah, ini nih aku ngerti banget. Pasti kamu anak kedua dan lahirnya di bulan Agustus ya?" Tebak Zea sok tahu. Gayanya itu berlagak seperti peramal yang seakan-akan tahu keadaan, padahal sih dia hanya ngasal saja. Apalagi tatapan wajahnya itu seperti orang yang terlihat paling oke.
Bukannya menjawab, Dewi malah tanya balik. "Kok kamu tahu?"
"Tahu lah!" Zea membanggakan diri, terlihat dari gaya senyum miringnya.
"Memangnya tahu dari mana?"
"Tercium dari nama kamu sendiri lah. Sudahlah lanjut perkenalannya biar aku kenal sama kalian," ujar Zea menatap anggota kelompok satu yang duduk di sebelah Dewi.
"Silahkan, selanjutnya." Vita mempersilahkan dengan ramah.
"Perkenalkan nama saya Ola Marsela, biasa dipanggil Ola."
"Lanjut!" Cletuk Zea menyela Vita dengan rasa percaya diri tanpa sedikitpun memiliki rasa bersalah.
"Perkenalkan nama saya Amelia Putri biasa dipanggil Amel."
"Nah, ini nih yang ditunggu-tunggu, artisnya SMA Garuda yang menjadi idaman banyak pria," kata Zea membuat beberapa orang menatapnya aneh. Suaranya memang cukup keras sehingga menjadi pusat perhatian.
Semua tatapan mata menatap Ana agak aneh, dia sangat merasakan hal itu. Entahlah padahal Ana tidak mencari gara-gara maupun masalah kepada mereka, akan tetapi dirinya malah menjadi pusat perhatian lagi. Rasanya Ana ingin menghilang begitu saja di keramaian ini, ternyata bukan hanya teman-teman barunya saja, kini beberapa panitia pendamping dan anggota OSIS pun menatapnya. Ada tatapan tidak suka dan ada pula tatapan hangat. Ana yang tadinya masa bodoh kini menjadi merasa sedikit keanehan, curiga, dan sedikit tidak percaya diri. Dia yakin bahwa yang membuat dirinya seperti ini adalah Zea. Andai saja Zea tidak mengatakan hal tadi maka kemungkinan besar dirinya saat ini masih santai seperti sebelumnya. Menjadi pusat perhatian membuat dirinya kali ini merasa sedikit grogi. Tangannya gatal ingin mencubit mulut Zea yang sejak tadi banyak berbicara, akan tetapi Ana sadar bahwa tanpa Zea berbicara pun memang sejak kemarin dirinya seringkali menjadi pusat perhatian secara tiba-tiba.
"Loh, kenapa malah bengong seperti itu, Ana? Aku kan sudah bilang jangan suka bengong!" Tegur Elsa. Sudah kedua kalinya Elsa menegur Ana untuk mengingatkan hal tersebut.
"Ah, nggak kok, aku hanya sedikit bingung saja," ujar Ana sedikit gelagapan, dia menutupinya dengan cara menggaruk pelipisnya yang tidak gatal.
"Bingung kenapa?"
"Nggak apa-apa, lupakan saja. Sekarang giliran aku untuk memperkenalkan diri kan ya?" Tanya Ana mengalihkan pembicaraan.
"Iya, silahkan perkenalan diri kamu," jawab Vita.
"Perkenalkan nama saya Analita Putri, biasa dipanggil Ana."
"Kita sudah kenal, Ana," jawab teman-temannya secara kompak. Entahlah Ana juga bingung mau jawab apa, sehingga dia hanya cengengesan saja. Senyumnya Ana itu memang terlihat manis dan tidak membosankan. Wajar kalau banyak orang yang suka menatapnya. Bayangkan saja, perempuan saja suka ketika memandang paras wajah Ana, apalagi laki-laki.
"Ya nih, Ana, sejak kemarin jadi bahan perbincangan mulu sama Kak Dafa. Bahkan dikabarkan bahwa katanya Kak Dafa suka sama kamu," kata Gladis.
"Nggak kok, itu nggak mungkin. Lagian aku lagi belum siap buat memikirkan dunia percintaan, hati ini belum siap menerima dan menghadapi segala rintangan percintaan yang ada. Bukan hal yang mudah karena di luar sana banyak orang yang sakit hati karena permasalahan cinta saja."
"Iya juga sih, tapi jika dilihat dari sorot mata Kak Dafa sepertinya gitu kok, dia seperti tertarik sama kamu," ujar Zea.
Ana pun tersenyum tipis lalu berkata, "Nggak mungkin lah, Zea, mana mungkin tertarik. Memangnya aku ini medan magnet yang bisa menarik dia begitu saja. Memiliki sedikit magnet saja nggak punya. Paling beli di toko mainan, itu pun daya tariknya kecil, sehingga mustahil kalau sampai Kak Dafa tertarik."
"Kamu ini malah mengalihkan pembicaraan. Lagian mana mungkin kamu tahu isi hati Kak Dafa."
"Tahu kok," jawab Ana singkat, padat, dan jelas sekaligus penuh dengan keyakinan seakan dia merasa paling tahu banyak soal Dafa.
Zea mengerutkan kedua alisnya hingga membuat dahinya membentuk gelombang-gelombang kecil. Dia pun memutuskan untuk bertanya dari pada bingung sendirian. "Memangnya apa isi hati Kak Dafa, palingan sekarang ini pasti kamu."
"Nggak kok, isi hati Kak Dafa masih sama seperti yang dulu."
"Hah? Serius yang dulu? Siapa-siapa, ayo cepat katakan!" Pinta Nana sangat penasaran karena dia sudah mengenal Dafa sejak lama, ya meskipun hanya mengenal sebatas media sosial saja. Itu pun tidak mendapatkan follback. Dia mengetahui tentang Dafa juga karena tiap harinya suka stalking status Dafa. Apa pun tentang Dafa, dia tidak pernah ketinggalan, meskipun itu tidak sangat detail. Hanya sesuatu yang diupload oleh Dafa saja, entah itu di saat dia jalan-jalan maupun kegiatan lainnya.
"Iya, masih sama seperti yang dulu kok," jawab Ana.
"Memangnya apa, Ana? Ayo, cepat katakan!" Pinta Nana, dia sangat begitu tertarik oleh bahan pembicaraan kali ini.
"Loh kamu kok terlihat seperti tertarik banget, pasti ada sesuatu ya?" Tebak Dewi curiga karena sejak tadi Nana terlihat tidak begitu semangat. Rasanya aneh saja kalau semangat hanya karena Dafa.
"Ya ada, aku kan penggemar dia, ngefans banget kalau sama dia. Apalagi gayanya itu loh bikin gemas."
"Huft, dasar cewek!" Cletuk Amel.
Di lain sisi Vita hanya menggelengkan kepala saja karena tidak menyangka kalau Dafa sebegitu menariknya untuk dijadikan sebagai bahan pembicaraan. Padahal di luar sana masih banyak hal yang memang harus dirinya selesaikan, sehingga dia cuek saja dan memilih untuk fokus beberapa lembar kertas yang harus dirinya selesaikan. Dia memang terlihat sibuk karena ingin cepat selesai dan nanti akan santai di waktu akhiran daripada saat ini terlihat santai, tapi beberapa hari kemudian bingung dengan ini itu, apalagi kalau sudah mepet hari-H, bisa-bisa kacau urusannya.
"Ayo, katakan yang aku mau tadi, Ana! Gara-gara kamu, aku jadi ikut penasaran banget nih," ujar Zea sedikit mendekat.
"Tunggu-tunggu, jawabnya jangan keras-keras ya, Ana!" Pinta Nana karena dia tidak ingin ada kelompok lain yang mendengar berita ini.
"Tentang isi hati Kak Dafa yang dulu sampai saat ini kan?" Tanya Ana.
"Iya," jawab teman-temannya secara kompak.
"Sini maju sedikit, aku bisikkin saja!" Ana pun ikut maju dan kini jarak mereka sangat dekat. Ana memang sengaja membuat teman-temannya terlihat penasaran. Setelah cukup puas Ana pun mengatakan jawabannya. "Isi hati Kak Dafa sejak dulu adalah darah."
"Kurang ajar kamu, Na!" Umpat Nana kesal.
"Hahahaha." Ana tertawa terpingkal-pingkal sampai wajahnya memerah. Dia tidak menyangka kalau jawabannya itu akan membuat beberapa temannya kesal, terutama Nana.
"Jawaban kamu bikin orang naik darah!" Ketus Zea.
Mereka berdua yang sejak tadi memang sangat penasaran, sehingga mereka berdua pula yang paling kesal. Itu pun karena mereka berharap jawabannya sangat bagus. Itulah mengapa sebabnya tidak boleh terlalu berharap karena akan mudah sakit hati.
"Tolong suaranya dikecilkan ya, jangan suka tertawa terbahak-bahak, hargai ketenangan orang lain!" Tegur Dafa ketika tidak sengaja melihat Ana tertawa.
Lagi-lagi Ana mendapatkan teguran dari Dafa. Rasanya Ana seperti ingin menampar mulut Dafa, tapi sayangnya dia tidak sanggup melakukan hal itu. Dia tidak ingin kalau nanti dirinya malah terlihat sakit hati di mata orang lain, sehingga dia diam saja tanpa sedikitpun menggubris ucapan Dafa karena lama-lama malah bikin sakit hati saja.
"Tuh kan makannya jangan keras-keras kalau mau bercanda," kata Vita sedikit berbisik.
"Iya, Kak," sahut anggota kelompok satu secara bersamaan.
"Kita lanjut pembahasan selanjutnya ya. Kita ini disuruh memilih ketua dan wakil ketua diantara kalian, lalu lanjut dengan jabatan yang lainnya. Kita fokuskan ketua dan wakil dulu. Kira-kira siapa yang mau jadi ketua dan wakil?" Tanya Vita.
Tidak ada satu orang pun yang mau mencalonkan diri. Hal itu membuat Vita kebingungan. Padahal tadi suasananya cukup berisik dan sekarang ini malah hening. Cukup aneh saja.
"Kenapa nggak ada yang mau?" Tanya Vita.
"Ada yang mau kok, Kak, itu si Elsa sama Ana. Elsa sebagai ketua dan Ana sebagai wakil ketua. Biar cocok tuh, jadi mudah diingat karena mereka itu kan Frozen. Jadi, nanti kita bisa dikenal sebagai kelompok Frozen," usul Zea dengan alasan yang tidak masuk akal.
"Nggak, aku nggak setuju kalau aku yang jadi ketua," ujar Elsa tidak terima.
"Aku juga nggak setuju kalau aku jadi wakil ketua, kalian kan masih ada. Kenapa main tunjuk begitu saja? Kita ini kan kelompok bisa dimusyawarahkan bersama, apalagi ini sebuah keputusan, siapa tahu ada yang tidak setuju karena ingin menjadi ketua, tapi malu untuk mengatakan hal itu," jelas Ana.
"Kata siapa? Kita semua setuju kok. Ya nggak teman-teman?" Tanya Sintia.
"Setuju banget dong!" Jawab mereka kompak, tidak ada satu orang pun yang terlihat tidak suka, mereka malah terlihat bahagia.
"Kurang ajar kalian! Dasar teman laknat!" Umpat Elsa kesal.