Part 31

1839 Kata
"Kurang ajar bagaimana sih, El? Kita ini kan setuju dan sepakat, anggap saja kita sudah melakukan musyawarah dan kalian berdua memang sudah ditunjuk menjadi ketua dan wakil ketua," jelas Zea. "Idih, apaan coba, bagaimana kalau kita tukar posisi saja biar kamu tahu jika berada di posisi aku. Kamu pasti tahu kan kalau jadi ketua itu harus ekstra siap, bagaimana keadaannya kelompok kita kalau kita malah nggak kompak macam ini? Huft, heran banget deh dan aku juga malas," ujar Elsa lesu. Dia tidak bisa membayangkan bagaimana nanti nasib dirinya ketika sudah menjadi ketua yang tentunya amat sibuk dan capek. Namun, disisi lain dia juga ingin menjadi seorang pemimpin karena jika menjadi pemimpin itu kesannya memang seperti terpandang dan dihormati, ya bisa dikatakan kalau Elsa gila jabatan. Jabatan memang seringkali diinginkan oleh hampir setiap orang dan bahkan sampai terjadi persaingan menggunakan uang, siapa yang bisa memberi banyak maka dia lah yang menang. Sudah tidak asing lagi dengan hal buruk tersebut yang menjadi kebiasaan. Sayangnya bahwa Elsa malu untuk mengungkapkan jika dirinya ingin sekali menjadi ketua, dia hanya takut jika nanti dirinya dianggap sebagai wanita yang gila jabatan dan sombong. Selain itu, dia juga sedikit takut jika dirinyalah tidak menjadi pemimpin yang baik karena yang namanya orang itu ada kalanya berbuat kesalahan tanpa disengaja. Jadi, dia takut kalau nanti dirinya berbuat kesalahan yang tidak disengaja dan juga bisa jadi berakibat fatal. Oleh karena itu, senyuman Elsa hanya di batin saja, apa yang dirinya katakan tidak sesuai dengan apa yang diinginkan. Hal itu hanya sebagai pemanis saja. "Ya ngapain harus di posisi kamu kalau di posisi aku sekarang saja lebih enak. Sudah deh lebih baik kamu dan Ana saja yang jadi ketua dan wakil ketua, aku yakin bakal berjalan dengan baik. Jadi, kamu harus siap ya," ujar Zea diakhiri dengan senyum manis seakan hal itu sebagai pemikat Elsa agar dia mau melakukan apa yang Zea mau. Dia seperti itu karena dirinya tidak ingin terlihat dalam hal jabatan, dia hanya ingin menjadi anggota saja agar hidupnya terasa tenang. Sebab, menjadi anggota saja sama halnya netral dalam segala sesuatu yang ada. Bisa sih ikut campur, tapi Zea tidak ingin melakukan hal itu, kecuali jika keadaannya benar-benar kepepet. Apa pun yang terjadi pasti nantinya akan ada hal yang hak dan wajib, sehingga dia berpikir tidak perlu susah payah untuk ikut campur. Jika memang haknya pasti akan dirinya dapatkan ketika sudah melaksanakan kewajiban. Sebenarnya itu saja sih prinsip hidup Zea, dia memang tidak suka hal-hal yang ribet, seperti hal nya dalam pemilihan ketua dan wakil ketua saat ini dan sebuah keberuntungan juga sedang berpihak kepada dirinya bahwa teman-temannya ikut menyetujui usulannya. "Jadi, gimana ini?" Tanya Vita. Bukannya menjawab, Elsa malah tanya balik. "Gimana apanya, Kak?" "Soal pemilihan ketua dan wakil ketua," jawab Vita. "Ya sudah lah aku pasrah saja," Ujar Elsa sangat lesu. "Jadi, bagaimana dengan kamu, Ana?" Tanya Vita untuk meminta kepastian. "Gimana ya, sebenarnya aku sangat nggak minat, Kak. Aku nggak mau capek," jawab Ana. "Terus?" "Ya pilih yang lain saja." "Hah? Pilih yang lain?" Dewi mengerutkan keningnya membentuk gelombang-gelombang kecil. "Ya, mungkin kamu jika mau, kalau aku sih nggak minat sama sekali," ujar Ana. Kali ini dia juga terlihat lesu. Dia paling tidak suka dengan hal-hal yang berkaitan dengan pemaksaan. Mau bagaimana pun keadaannya yang dirinya harapkan hanyalah rasa nyaman dan tenang. "Ayo, dong kamu yang semangat, Ana! Jangan sampai kendor seperti itu, kita ini kelompok loh harus kompak agar melakukan segala sesuatu dengan kompak juga. Bayangkan saja kalau satu kelompok tidak kompak, maka entahlah apa yang akan terjadi. Aku yakin kamu ini memiliki bakat menjadi seorang pemimpin. Jadi, kami mohon supaya kamu mau jadi wakil ketua ya," pinta Gladis memasang wajah sedih dengan penuh harap. Sebenarnya dia itu takut kalau nanti dirinya dijadikan sebagai bahan umpan menjadi ketua maupun wakil ketua ketika Elsa dan Ana tidak mau. Dia sadar diri sih bahwa apa yang dirinya dan teman-temannya lakukan itu memang sedikit ada unsur pemaksaan, sehingga dia pun sedikit merasa bersalah. "Aku masih belum yakin." "Mau diyakinkan sama kita? Tuh si Elsa saja sudah mau kok." "Bukan gitu, tapi--" "Tapi apalagi, Ana?" Tukas Amel. "Tenang saja, Ana, kita akan bantu kamu kok karena kita ini kelompok," kata Dewi berusaha untuk meyakinkan diri Ana. Tidak semudah apa yang dibayangkan karena Ana itu orangnya cukup jeli, sehingga dia tidak mudah terpengaruh oleh ucapan orang lain. "Nggak tahu lagi deh aku mau jawab apa." Ana menggembungkan kedua pipinya lalu menghembuskannya secara perlahan. Otak dia berputar-putar memikirkan nasib dirinya sendiri. Rasanya cukup aneh saja ketika dirinya yang tidak tahu apa-apa justru malah menjadi wakil ketua. Padahal Ana sendiri paling malas kalau acara yang berkaitan dengan kemah, dia selalu menganggap bahwa kemah itu ribet dimana segala sesuatunya harus mengantri yang artinya butuh ekstra kesabaran. Ana menatap temannya satu persatu, dia melihat ada suatu harapan di wajah mereka. Ada sedikit rasa iba dalam diri Ana, akan tetapi kembali lagi bahwa dia tidak suka mengenai hal-hal yang berkaitan dengan unsur pemaksaan. Oleh karena itu, saat ini pun dirinya harus berperang diri melawan keinginan dan kenyataan yang sulit untuk menyatu. Satu hal yang Ana tahu bahwa menyelesaikan konflik batin hanyalah dengan kesabaran ketika melepaskan salah satu pilihan. Di antara dua pilihan tentunya pasti ada salah satu yang harus dilepaskan. Entah itu hal baik maupun hal buruk. Memang cukup berat sih, tapi mau bagaimana lagi jika hal itu menjadi sebuah keputusan yang sulit untuk dikendalikan. "Kenapa malah bingung seperti itu sih, Na? Ayo, dong kita harus kompak," kata Nana. "Jadi, untuk Elsa sudah oke menjadi ketua kan?" Tanya Amel untuk memastikan jawaban Elsa yang tadi. "Ya, aku siap!" Jawab Elsa membuat teman-temannya bahagia. Mereka saling bertos ria guna merayakan kebahagiaan terlepas dari satu beban yang cukup berat. Andai saja tidak ada Elsa maka mereka pun akan sedikit tegang, meskipun pada kenyataannya mereka terlihat begitu tenang. Biasalah namanya juga sandiwara yang tentunya bukan hal yang mudah untuk melakukan hal tersebut. Semakin bertambahnya waktu, Ana semakin merasakan berat dan bimbang dalam sebuah keputusan tersebut. Kini jantungnya ikut berdebar hingga membuat telapak tangannya berkeringat dingin. Dia hanya takut jika semua yang dirinya lakukan itu ternyata tidak sesuai dengan apa yang telah diharapkan maka tentunya hal itu sangat membuatnya sakit hati. Terasa sesak banget dan tak mudah bagi mereka yang tahu akan hal tersebut. "Tuh kan, Na, Elsa saja sudah siap maka seharusnya kamu juga sudah siap dong!" Cletuk Sintia. Ana menghela napas, lalu menjawab, "Hm, baiklah aku mau jadi wakil ketua." "Yeay!" Sorak anggota kelompok satu sangat kompak. Mereka terlihat bahagia seperti orang yang terlepas dari beban hutang. Lagi-lagi mereka bertos ria guna merayakan rasa bahagia perkumpulan kali ini, pun pada diri Elsa yang diam-diam sangat bangga dan tenang, sedangkan Ana sedang menyesuaikan diri agar bisa sabar dalam menerima kenyataan. Di lain sisi, Ana ikut senang melihat teman-temannya bahagia daripada ekspresi wajah yang sebelumnya. Mau bagaimanapun keadaannya maka Ana harus bisa menyesuaikan diri, entah itu baik maupun buruk. Di waktu selanjutnya Ana sangat yakin bahwa di luar sana masih banyak lagi hal yang bisa membuat dirinya merasakan bimbang karena banyak hal-hal maupun pendapat yang terkadang tidak masuk akal bercampur dengan hal yang masuk akal. "Nah, gitu dong kompak baru hebat. Terima kasih buat Elsa dan Ana yang mau menjadi ketua dan wakil ketua. Memang sih apa yang dikatakan Zea ada benarnya juga bahwa kalian seperti Frozen, yaitu nama tokoh yang sama," ujar Vita. "Iya Kak Vita. Ini semua kan juga karena Kak Vita," sahut Ana lalu tersenyum manis, senyuman itulah yang membuat candu. Aneh saja sih, karena suka kok hanya karena senyumnya, padahal kalau senyumnya saja bisa dilihat di media sosial, khususnya i********: yang memang seringkali postingannya bagus- bagus seperti memakai kamera dan efek editing yang sudah ahli. "Oh iya, Kak. Aku mau tanya kok lupa dan ini baru ingat," kata Dewi dengan suaranya yang cukup pelan karena dia tidak ingin ada orang yang mendengarnya. "Tanya apa, Dewi?" Tanya Vita. Dewi pun mendekatkan wajahnya lalu berkata, "Untuk masalah nama kelompok nggak ada gitu? Biasanya kan dinamakan dengan nama sangga apa gitu, Kak." "Iya, kalau masalah nama sangga sudah ada kok. Jadi, tetap selow dan diam saja tanpa banyak keluyuran dan bingung." "Heh, siapa juga yang mau keluyuran, paling kalau bingung ya itu sangat jelas dan sulit untuk dikatakan dan dipahami bagi orang awam macam kita. Eh, tapi teknis mengenai nama sangga bagaimana, Kak? "Kalau masalah soal sangga kan sudah ada, kita disuruh pakai nama-nama kerajaan. Oh itu, untuk hal ini jangan katakan kepada siapa pun karena memang belum pada waktunya dan nunggu waktu yang tepat," jelas Vita. Mau bagaimana pun keputusan yang dirinya ambil juga harus berdasarkan pendapat orang lain guna untuk tolak ukur. "Loh kenapa nggak boleh?" Tanya Amel bingung. Wajah dia sejak tadi yang terlihat paling lesu seorang banyak memikirkan masalah. Sangat nampak dari sorot matanya yang seperti sedang bingung. "Karena kan memang kegiatan ini memang ada peraturannya, sehingga saya nggak bisa asal gunakan semau saya sendiri dan hal ini saya beritahukan terlebih dahulu karena agar nantinya kalian tidak gugup ketika sudah mendekati hari H," jawab Ana. "Oh gitu," sahut anggota kelompok satu secara bersamaan. Tak lama kemudian, suasana di lapangan pun hening. Mereka banyak yang diam dan sibuk dengan kelompoknya masing-masing. Sama halnya kelompok satu, mereka diskusi sesuai dengan apa yang di arahkan panitianya pendamping. Rasanya aneh saja ketika dalam sebuah diskusi malah hening, justru yang namanya diskusi identik dengan beberapa pendapat yang menyebabkan sedikit ada keributan. Bukan keributan tentang permasalahan, tapi keributan soal jawaban yang terkadang sependapat maupun tidak. Ana sedikit melirik beberapa keadaan lingkungan sekitar, dia berusaha untuk tenang, tapi lagi-lagi digagalkan oleh konsentrasinya yang pikirannya sibuk memikirkan banyak hal. Bahkan tatapan di matanya itu seperti ada sesuatu yang terbang mengotori mata dan dia tidak tahu mengapa hal itu bisa terjadi. Sejak kemarin dia juga merasakan hal aneh terhadap dirinya sendiri, seakan benda tersebut mengajaknya untuk termenung dalam keadaan tidur yang tak sadarkan diri. Bulu kuduk Ana saja sampai merinding. Dia mengusap masing-masing tangannya untuk membantu menutup pori-pori yang membuka akibat rasa dingin yang menusuk ke setiap pori-porinya. "Kamu kenapa, Ana?" Tanya Zea yang merasa bahwa Ana sedikit aneh. "Nggak apa-apa kok," jawab Ana. "Ya sudah kita lanjut diskusi lagi. Kalau ada apa-apa ngomong sama kita ya, jangan sungkan-sungkan, Ana." "Iya siap." Tak lama kemudian Dafa datang dengan memberikan kabar dan perintah. "Halo semuanya! Berhubung waktu kita masih sisa sepuluh menit, kita gunakan sebagai hal perkenalan masing-masing ketua dan wakil ketua kelompok ya agar kalian bisa saling kenal." Deg! Rasanya seperti mau pingsan. Jantung Ana langsung berdebar hingga membuat telapak tangannya terasa dingin. Dia bingung mengapa hal tersebut harus dilakukan, semacam tidak ada hal lain saja. Ana yakin bahwa kali ini dirinya akan menjadi pusat perhatian kembali. Di saat waktu yang tepat dia gerogi, dia melihat ada makhluk gaib yang juga sedang menatap dirinya. Entahlah matanya itu tidak bisa diajak kompromi. Oleh karena itu, dia semakin merasa ketakutan. "Ana!" Panggil seseorang yang tidak Ana kenal. Suara tersebut justru terasa bising di telinganya. Dia pun menutup kedua telinganya menggunakan telapak tangannya sendiri. "Tidak!" Ana menggelengkan kepala seperti orang ketakutan. Tingkah Ana semakin menjadi-jadi. Elsa yang menyadari keadaan Ana pun langsung panik. "Ana!"
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN