Part 35

1789 Kata
Kring… kring… kring… Bel tanda pulang berbunyi. Semua peserta MPLS bersorak gembira karena kegiatan ini telah berakhir. Untungnya sesi perkenalan selesai tepat waktu. Memang setelah Ana dan Elsa mereka memperkenalkan diri sangat cepat karena tidak ada yang menggoda. Ya bisa dikatakan lurusan saja. Mungkin karena tidak ada daya tarik seperti Elsa dan Ana tadi. "Teman-teman, akhirnya kita mau pulang ya," kata Gladis. "Iya, nih," sahut Zea. "Kapan-kapan kita main bareng dong!" Ajak Dewi sangat semangat. Dia memang paling suka kalau terhadap hal yang berurusan dengan jalan-jalan maupun nongkrong, ya bisa dikatakan sih sedikit foya-foya. Tanpa kegiatan tersebut maka Dewi akan cepat bosan. Biasalah hal yang sepele pun juga akan menjadi suatu hal kebiasaan dalam kehidupan sehari-hari. "Boleh, tapi jangan sekarang ya karena aku capek banget ingin istirahat," sahut Zea. Bisa dikatakan sih bawa mereka berdua memiliki kegiatan yang hampir sama. Andai saja mereka bisa saling mengenal dan saling memahami, jika tidak entahlah bagaimana perasaannya. Satu hal yang sebenarnya tidak Zea suka adalah penolakan, akan tetapi dia berani menolak ajakan Dewi secara halus. Padahal jika dia sendiri pasti akan sedikit diam dan merasakan hal tersebut atau bahkan sampai mengucapkan bahwa dirinya sangatlah tidak suka. Itulah mengapa sebabnya bahwa memahami itu cukup sulit karena tingkat memahami lebih tinggi dibandingkan dengan mengerti. Dewi hanya bisa menghela napas. Dia sadar diri juga bahwa ajakannya itu memang terlalu dadakan, lagi pula dia sadar bahwa mengikuti kegiatan MPLS di hari kedua ini cukup melelahkan karena ditambah kegiatan persiapan KBO. Andai saja tidak ada kegiatan campuran maka masih ada kemungkinan sedikit ingin mengikuti hal lain. Hanya sebuah senyuman tipis yang bisa Dewi lakukan. Ana yang melihat perubahan dalam diri Dewi pun ikut menghela napas. Dia tahu kok bagaimana perasaan Dewi pada saat ini. Namun, mau bagaimana lagi karena memang itulah yang dirasakan oleh beberapa peserta, termasuk Ana. Dia pun sengaja tidak mau ikut campur dan membiarkan Dewi begitu saja. Satu hal yang ada di dalam pikiran Ana adalah bahwa waktu masih ada, sehingga ajakan Dewi bisa dilakukan di lain waktu. Apalagi saat ini tidak ada satu pun peserta MPLS yang diperbolehkan membawa kendaraan bermotor sendiri ke sekolah. Mereka hanya diperbolehkan setelah kegiatan MPLS Selesai. Hal tersebut bertujuan untuk menghindari hal-hal bahaya yang terjadi di jalanan, baik diduga maupun tanpa diduga "Teman-teman, aku pulang dulu ya, sepertinya aku sudah ditunggu orang tua di depan," pamit Ana "Iya, Ana, hati-hati di jalan ya!" Sahut teman anggota kelompoknya dengan sangat kompak. "Ayo, ke depannya bareng sama aku saja, Na, aku juga mau pulang nih!" Ajak Zea langsung menggandeng tangan Ana tanpa memperdulikan teman-temannya. Dia langsung berjalan begitu saja dengan langkah cukup lebar membuat Ana yang sedikit terseok-seok karena Ana memang belum siap untuk melangkahkan kaki. Saat ini, Ana hanya bisa pasrah saja. Dia tidak ingin kalau nanti malah ribut dengan temannya. Lagi pula dirinya memang mau menuju ke pintu gerbang sekolah menunggu jemputan. Andai saja dalam kegiatan MPLS ini diperbolehkan membawa handphone maka Ana dengan mudah mengabari sopir pribadinya tanpa menunggu lama seperti ini karena terkadang Pak Tarjo sibuk dengan urusan pekerjaannya sendiri, yaitu mengantarkan Mama Anai belanja maupun urusan pekerjaan. Setelah sampai di depan pintu gerbang, banyak beberapa teman sebayanya yang menatap dirinya aneh. Bukan hanya dengan tatapan itu saja, Ana juga sadar diri bahwa dirinya juga merasakan hal aneh. Semenjak tadi Ana juga merasa bahwa dirinya tidak percaya diri dan entahlah apa itu penyebabnya. "Hai, Ana!" Sapa anak perempuan yang juga mengenakan seragam MPLS seperti dirinya, tapi entahlah lagi-lagi Ana tidak mengenal nama temannya. Ana hanya menanggapinya dengan sebutan senyuman sebagai rasa menghormati orang lain. Senyum, sapa, salam adalah salah satu kebiasaan di keluarga Ana, sehingga dia tidak pernah lupa akan hal itu. Bahkan beberapa orang pun ada yang menganggap bahwa Ana terlalu ramah. Sebenarnya bukan karena itu sih kunci perbuatannya, hanya saja Ana lebih senang dan nyaman dalam sebuah hubungan yang harmonis. Di mana hubungan tersebut didapat berdasarkan rasa saling menghormati dan menghargai. Satu hal yang Ana pikirkan kali ini adalah bertapa terkenalnya dirinya ketika berada di lingkungan baru. Selama dia sekolah jarang sekali minta kenalan terlebih dahulu kepada orang lain, yang ada malah beberapa temannya yang minta kenalan terlebih dahulu. Bisa dikatakan bahwa Ana orangnya sedikit sulit berbaur jika berada di lingkungan baru, sehingga untuk mendapatkan teman maka dia butuh waktu yang cukup lama untuk proses membiasakan diri. Maklum sih karena tidak semua orang memiliki kadar jiwa sosial yang mudah dan tinggi, bahkan jika dipikir dan dicari tahu masih ada hal yang lebih parah dari Ana. Oleh karena itu, salah satu jalan keluarnya dalam menghadapi hal tersebut adalah dengan cara sabar dan senyuman. Senyuman palsu memang menyakitkan, tapi senyuman palsu secara tidak langsung dapat menyadarkan dirinya dari beberapa orang yang memang sengaja untuk menjatuhkan. Kedua hal tadi hanya sebagai formalitas saja dan untuk selanjutnya dianggap sebagai hal yang cukup mudah untuk untuk dilakukan. Lagian banyak hal yang memang harus dirinya lakukan agar hal buruk pun tidak terjadi pada dirinya. "Ana!" Panggilan Zea sambil mengibaskan tangan kanannya di depan wajah Ana. Tidak mendapatkan jawaban membuat Zea sedikit kesal. Akhirnya dia pun mendengus lalu membuang napasnya kasar. "Huft!" "Zea!" Panggil seseorang dari belakang Zea. Sama seperti apa yang dirasakan oleh Zea bahwa dirinya tidak kenal dengan orang tersebut, sehingga responnya pun cukup sedikit kaku. "Iya?" Sahut Ana sedikit ogah-ogahan. Dia seperti terlihat sangat terpaksa. Ya mungkin karena mood nya yang tidak bagus. Andai saja mood dia bagus maka dia akan ramah terhadap orang lain. Bagi Zea, berpura-pura baik-baik saja di depan orang lain adalah hal yang cukup sulit untuk dilakukan. "Lagi nunggu jemputan ya?" Tanya perempuan tersebut. "Iya nih." "Ya sudah aku duluan ya karena sudah ditunggu tuh di depan," pamit perempuan tersebut. "Iya, hati-hati di jalan ya," sahut Zea dan Ana secara bersamaan. Ini lah keanehan yang dirasakan oleh Zea, perubahan Ana itu seperti tidak normal. Dia terkadang berubah semuanya dan kini dia telah berhasil membuat dirinya merasakan apa arti kebingungan yang sebenarnya. Jika mau dibahas sih bisa, hanya saja Zea sedikit tidak yakin kalau nanti dirinya bisa memecahkan masalah ini. "Na!" Panggil Zea mencoba untuk memastikan apa yang ada dipikirannya. "Iya, ada apa?" Sahut Ana. "Nggak ada apa-apa, cuma sedikit bingung saja kalau tadi diri kamu terlihat bengong seperti banyak masalah," jelas Zea. Padahal lebih tepatnya sih kalau kedua mata Ana itu terlihat seperti orang yang mau ngajak berantem. Dia terlalu menutupi apa yang terjadi kepada dirinya karena dia masih ingat bahwa hal yang tadi bisa menyinggung perasaan orang lain. Ya cukup di batin saja. Belum sempat Ana menjawab, tiba-tiba sopir pribadinya sampai untuk menjemput dirinya pulang. Ana pun sangat bahagia, akhirnya dia bisa merebahkan dirinya di rumah karena kegiatan pada hari ini cukup melelahkan. Hal yang menjadi tujuannya sekarang ini adalah kamar, dia ingin merebahkan tubuhnya di atas kasur melepas penat selama kegiatan di hari ini. Lagi pula dia seringkali bingung akan melakukan aktivitas apa setelah pulang sekolah. Kalau biasanya sih diisi dengan acara tidur karena dia seringkali bosan ketika sendirian. Tin… tin… Suara klakson mobil cukup keras, mobil berhenti tepat di depan Ana dan Zea berdiri. Tak lama kemudian kaca mobil pun bergerak ke bawah. Benar dugaan Ana, bahwa saat ini dirinya telah dijemput oleh sopir pribadinya. "Hati-hati di jalan, Ana!" Kata Zea sambil melambaikan tangan. Ana pun melakukan hal yang sama sebelum masuk ke dalam mobil. "Sampai jumpa besok, Zea. Aku pulang dulu ya." Jari telunjuk dan jempol Zea saling bertautan membentuk huruf O dengan jari tengah, manis, dan kelingking yang berdiri lalu dia pun menjawab, "Oke." Bukan hanya itu saja, Zea pun mengerlingkan mata. Bahan dia terlihat seperti orang yang genit, hanya saja tidak dilakukan secara langsung dan dilakukan kepada Ana. Tidak kebayang saja bagaimana perasaan orang lain ketika mendapatkan perlakuan tersebut dari Zea, khususnya bagi para laki-laki. Memang sih kalau dibayangkan memang cukup rumit, tapi kembali lagi bagaimana seseorang dalam melakukan pilihannya dan yang merasakan adalah diri sendiri bukan orang lain. Kini mobil Ana pun melaju meninggalkan halaman sekolah. Dalam perjalanan, Ana hanya diam saja dengan kepalanya disandarkan ke jendela. Sebenarnya terasa agak sakit sih karena beberapa kali kepalanya terbentur disaat ada jalan yang tidak halus. Namun, entahlah Ana memang lebih suka dalam posisi hal tersebut, bukan malah senderan di kursi penumpang. Sopir pribadinya pun tidak mempermasalahkan hal tersebut karena memang sudah mengerti sebuah kebiasaan bagi Ana. Akhirnya mereka pun tiba di rumah. Ana segera keluar dari mobil dan langsung masuk ke dalam tanpa mengucapkan sepatah kata pun. Biasanya sih Ana akan mengucapkan salam, tapi kali ini dirinya memang sudah sengaja untuk terlihat semakin lelah seakan seperti tidak memiliki tenaga lagi. Sedikit lucu sih, itu sih hanya sebuah perasaan saja karena buktinya sampai saat ini Ana masih bisa melangkahkan kaki. Ceklek! Suara pintu kamar dibuka. Nampaknya kasur dengan lapisan sprei berwarna putih, yaitu warna kesukaan Ana. Bisa dikatakan sih, Ana menganggap bahwa hal tersebut seperti sprei di hotel. Lagian kalau warna putih itu akan terlihat jika kotor, sehingga sprei tersebut seringkali diganti. "Ana!" Baru saja Ana akan memejamkan mata, sekarang dia terpaksalah membuka kedua matanya karena ada orang yang memanggil namanya, dia sangat yakin bahwa orang tersebut adalah neneknya, yaitu Tumi. Dia memang sengaja melakukan hal tersebut karena memiliki rasa khawatir terhadap diri Ana. Maklumlah karena Ana adalah anak dan cucu semata wayang. "Iya, Nenek!" Sahut Ana ketika akan turun dari ranjang. Mau tidak mau maka Ana harus membukakan pintu kamar. Dia berjalan dengan sangat lemas. Tenaganya kali ini lebih banyak dikeluarkan daripada di hari sebelum. Akhir-akhir ini tubuh Ana memang sering kali lemas. Dapat dilihat dari tatapannya yang seringkali terlihat kosong seakan dia butuh tempat untuk mencurahkan isi hatinya. Setelah pintu kamar dibuka, tampak lah nenek membawa beberapa bungkus plastik yang entah isinya beberapa macam hal. Salah satunya dia menyodorkan plastik yang didalamnya terdapat sebuah kotak. Baunya pun sangat tidak familiar, yaitu bau kesukaan Ana. Hanya dengan bau itu saja membuat Ana kembali semangat dalam mencari sebuah keamanan dan kesempatan. "Baunya seperti martabak, Nek," kata Ana memejamkan mata menikmati bau tersebut. "Sesuai dengan favorit kamu. Itu sangat spesial loh," ujar Tumi menjelaskan. Ana pun mencium kedua pipi Tumi secara bergantian lalu memeluknya sambil berkata, "Terima kasih, Nenek. Dari dulu Nenek paling tahu apa yang aku suka." "Sama-sama, Nenek kan sayang banget sama kamu. Jadi, nenek juga tahu apa yang kamu mau tanpa kamu meminta." "Ah Nenek macam anak muda yang suka gombal, ini pasti alasan kenapa Kakek selalu manja sama Nenek," goda Ana. "Kamu bisa saja, eh tapi jangan keras-keras, takutnya nanti Kakek kamu malah dengar." Ana pun tertawa mendengar pernyataan Tumi. Jawaban dari dia memang selalu transparan, sehingga Ana sedikit tahu bagaimana hubungan kakek dan neneknya. Selain itu, gaya Tumi yang selalu mirip anak muda juga sedikit membuat Ana merasa bahwa Tumi adalah teman dekatnya. "Ana, Nenek punya sesuatu loh," kata Tumi dengan raut wajahnya yang terlihat misteri. "Apa tuh, Nek?" Tanya Ana.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN