Sinar mentari menelusup lewat celah-celah tirai yang sedikit tersingkap. Kinan tahu bahwa ini sudah sangat siang dan dia harus segera bangun untuk mencuci baju-baju kerjanya ataupun membereskan rumah yang rutin dilakukannya setiap pagi. Namun, dia memilih kembali menarik diri. Menutupi kepala dengan selimut tipisnya.
Bukan karena ini hari Minggu maka dia boleh malas-malasan. Penyebabnya adalah hatinya kini. Kinan sebenarnya perempuan yang cukup kuat dalam menghadapi masalah. Buktinya dia masih bisa bertahan sampai saat ini dengan masalah-masalah yang menghampirinya. Tapi di sisi lain, dia hanya perempuan biasa yang ketika dikecewakan, tetap butuh waktu untuk menyembuhkan luka-luka menganga dalam hatinya.
Kinan selalu berharap kejadian-kejadian buruk yang menimpanya hanyalah sebuah mimpi buruk di siang hari. Namun, dia pun sadar jika kenyataan pahit harus tetap dihadapi sekalipun menyakitkan.
Dulu, dia tak pernah percaya pada mahluk bernama laki-laki. Sejak kecil, Kinan dibesarkan dalam keluarga miskin dan jauh dari kata harmonis. Setiap malam, ayahnya selalu pulang dalam keadaan mabuk. Tanpa ampun, Ayah menyiksa Ibu di depannya hanya karena makanan yang tersaji di meja bukan lauk kesukaan Ayah.
Ayah sering memukuli Ibu atas kesalahan-kesalahannya yang sebenarnya sepele. Suatu hari, saat Ibu hamil anak kedua, Ayah memukulinya dengan membabi buta hanya karena Ayah cemburu dengan kedatangan seorang tetangga laki-laki-- yang sebenarnya hanya meminta Ibu untuk menjadi buruh cuci di rumahnya.
Ibu tersungkur tak berdaya. Usia kehamilan yang saat itu memasuki bulan ke enam, membuat Ibu harus dilarikan ke rumah sakit karena pendarahan yang hebat. Dan saat itu, Ibu kehilangan putra keduanya. Saat kehilangan itulah, merupakan hal paling menyakitkan bagi Ibu dan Kinan.
Kinan membayangkan. Jika masih hidup, mungkin adiknya yang berjenis kelamin laki-laki itu akan jadi teman bercerita Kinan. Adiknya akan jadi orang pertama yang marah dan melindunginya ketika ia disakiti. Adiknya akan jadi seorang laki-laki tangguh yang penuh tanggung jawab. Kinan tak akan membiarkan adik laki-lakinya tumbuh seperti Ayah.
Harapannya harus pupus ketika adiknya kembali ke pangkuan Tuhan setelah satu jam dilahirkan ke dunia.
Keyakinan tentang rumah tangga yang ia jalani nantinya tak akan membahagiakan, membuat Kinan tak ingin mengenal laki-laki apalagi pacaran. Dan, tiba-tiba Kavin datang begitu saja dalam kehidupan Kinan. Dia berusaha meyakinkan perempuan yang saat itu berusia dua puluh empat, untuk menerimanya sebagai kekasih dan mengajaknya berkomitmen untuk saling mencintai.
Kavin berulang kali menjanjikan kebahagiaan untuk Kinan. Dia bahkan rela berkorban banyak hal. Terutama waktu dan tenaga agar Kinan percaya bahwa dia bukanlah laki-laki yang akan memperlakukannnya dengan kurang ajar, seperti Ayah. Satu tahun berlalu, ucapan Kavin tak bisa dipercaya. Ternyata Kavin sama saja. Dia memang tak menyakiti Kinan seperti Ayah yang menyiksa Ibu. Namun, Kavin menyakiti Kinan lewat hal yang lebih menyakitkan lagi.
Sejak kejadian kemarin yang ia saksikan dengan mata kepalanya sendiri-- tentang Kavin yang berselingkuh, Kinan semakin memantapkan hati untuk tak mempercayai lagi laki-laki. Baginya, membahagiakan Ibu adalah prioritasnya untuk saat ini. Bahkan jika perlu, Kinan tak perlu menikah saja. Ia akan hidup bersama Ibu sampai masa tuanya tiba, batinnya dalam hati.
Suara pintu kontrakan diketuk seseorang. Dari gayanya mengetuk saja, Kinan sudah tahu siapa yang datang. Kinan menyibak selimut lalu dengan enggan berjalan menuju pintu. Tasya sudah siap memasang senyum saat pintu dibuka. Lengkap dengan bungkusan plastik yang diangkatnya tinggi-tinggi tepat di depan muka Kinan. Tanpa membuka isi plastik, Kinan bisa mencium aroma ayam bakar menerobos hidungnya.
“Tadaaa …,” ucap Tasya dengan nada gembira.
Seperti kebiasannya, ia masuk ke dalam kontrakan begitu saja. Melewati Kinan yang masih berdiri di ambang pintu. Kinan hanya bisa menggeleng melihat kelakuan sahabatnya yang satu itu. Sedang di belakang Tasya, Diandra sudah berdiri memakai topi hitam dengan memasukan kedua tangannya ke dalam saku hoodie.
“Masuk, Dra!” pinta Kinan.
Tanpa menunggu lama, Diandra masuk dan duduk di sebuah kursi plastik yang terletak di dekat kamar mandi. Kamar berukuran 3x4 itu benar-benar sempit ketika kedatangan dua pengunjung.
“Sudah makan?” tanya Tasya sambil mengambil tiga piring juga tiga sendok di lemari gantung kecil di atas kompor. Tasya sudah tahu betul segala hal yang terletak di kamar kontrakan kecil Kinan. Bahkan selotip, gunting, gula, atau apapun itu yang Kinan pun sering lupa dimana menaruhnya, Tasya hapal betul.
“Lihat saja masih ileran. Baru bangun dia. Mana mungkin sudah makan!” timpal Diandra dengan santai. Masih menyembunyikan tangan-tangannya di dalam hoodie. Menunjuk Kinan dengan dagunya.
Diandra selalu berpenampilan berbeda ketika di kantor dan sehari-hari. Jika di kantor dia mengenakan setelan kemeja rapi lengkap dengan dasi, maka dalam kegiatan sehari-harinya dia seperti anak muda kebanyakan. Umurnya memang terbilang masih sangat muda. Namun, otaknya yang pintar membuat Diandra lulus setahun lebih cepat dari teman-temannya. Tak heran jika ia diterima di perusahaan besar dengan jabatan yang lumayan. Juga kenaikan jabatan yang sangat signifikan.
“Yuk, makan!” ajak Tasya sembari meletakkan bungkusan nasi ke dalam piring.
“Aku belum laper, Sya! Kalian duluan saja!”
Tasya melotot. Sembari menggertakan gigi menunjukkan jika ia marah kalau Kinan menolak makan.
“Kamu tahu? Aku dan Diandra dateng ke sini tuh biar kamu makin sehat, Nan!” ucap Tasya sembari menggetok pelan kepala Kinan dengan sendok.
Kinan mengaduh. Memegangi kepala lalu mengusap-usapnya.
“Pasti kamu kan yang bilang sama Nona Kaya ini, Dra!” tuduh Kinan menatap Diandra.
“Soal apa? Soal kamu nangis kemarin di jalan?” Diandra mengangkat bahu.
“Tuuuh, kaaan! Kamu, kan, embernya. “ Kinan mengambil sebuah guling lalu melemparnya pada Diandra yang terkekeh. Diandra berusaha menghindar namun ujung guling tetap mengenai wajahnya yang oval.
“Lagian kenapa, sih, Nan? Pakai nangis segala?” tanya Tasya penasaran. “Kamu belum siap cerita, ya?”
Kinan menghela napas. Lalu mengambil piring yang sudah diisi lengkap dengan paha ayam, juga sambal. Tasya sengaja menyiapkannya karena tahu jika bagian paha adalah kesukaan Kinan.
“Makan aja mending, yuk!” ajak Kinan sambil menyuapkan potongan ayam dan nasi ke mulutnya.
“Iyuh, jorok kamu, Nan. Belum cuci muka, cuci tangan.” Tasya begidig melihat tingkah sahabatnya itu.
Sedang Diandra memajukan kursinya mendekat,. Mengambil piring satunya, yang juga sudah berisi nasi dan lauk. Siap untuk disantap.
“Konon katanya, kalau orang cantik ya memang jorok!” belanya dengan nasi penuh di mulut. Membuat Tasya makin geleng-geleng kepala dibuatnya.
“Selera makanku hilang!” dengus Tasya sembari naik ke tempat tidur dan memainkan benda pipih sambil merebahkan badan.
Kinan tertawa tak peduli jika sahabatnya itu tak jadi makan.
Disusul Diandra yang tertawa lebar mengamati tingkah sahabat-sahabatnya yang ajaib.
Tasya membuang muka. Sebenarnya dia tak serius. Karena tujuan Tasya dan Diandra datang ke kontrakan Kinan untuk memanglah untuk menghiburnya. Diandra memberitahu Tasya tentang Kinan yang menangis semalam. Hingga membuat sahabat telminya itu khawatir. Apalagi Kinan memang jarang sekali menangis. Tangisan pertama yang Tasya lihat adalah di kafe saat Kinan diputuskan Kavin. Dan yang kedua, saat tadi malam. Itupun dari cerita Diandra yang mendapati Kinan menangis di depan emperan toko.
Hal yang mampu membuat Kinan menangis, pastinya hal yang teramat menyakitkan untuknya, pikir Tasya.
Tiga puluh menit berlalu setelah sarapan yang kesiangan usai. Tasya meletakkan handphonenya di kasur sembarang. Dia melihat gerak-gerik Kinan yang kini sudah mulai siap untuk bercerita. Kinan duduk di tepian kasur, sedang Diandra kembali ke tempatnya semula di samping toilet. Tasya memasang wajah penuh khidmat. Siap mendengarkan tanpa diminta.
“Sebenarnya kemarin aku lihat Kavin di depan hotel.” Kinan memulai percakapan.
“Terus?” tanya Tasya tak sabar menunggu cerita selanjutnya.
“Dia masuk ke dalam hotel dengan seorang perempuan. Perempuan cantik, juga berpenampilan sangat seksi," ucap Kinan yang sedang membayangkan kembali bagaimana perempuan yang ia lihat bersama Kavin kemarin. "Bisa dipastikan perempuan itu bukan perempuan sembarangan. Tas yang dipakainya, bajunya, lalu sepatu hak tingginya, semua terlihat sangat mahal. Bahkan perempuan itu juga yang membayar uang taxi.”
“Hah? Serius?” Mulut Tasya membuka. Rasanya dia pun tak percaya jika Kavin melakukan hal yang tak bermoral seperti itu. Selama satu tahun berhubungan dengan Kinan, Tasya tahu jika Kavin adalah orang yang sangat baik. Soal beberapa hari lalu, tentang Kavin yang meminta putus lewat sambungan telepon, Tasya menganggapnya adalah hal yang wajar. Namanya hubungan, pasti akan tiba di fase menemukan kebosanan. Dan ia pikir, Kavin dan Kinan sedang menghadapi fase itu.
“Kamu sudah pastikan perempuan itu siapa?” tanya Diandra kemudian.
Kinan menggeleng. Namun dari instingnya, dia tahu bahwa perempuan itu adalah kekasih Kavin. Apalagi dilihat dari cara bagaimana mereka berdua turun dari taxi, lalu berjalan mesra masuk ke dalam hotel. Jika bukan pacar baru Kavin, lantas apa? Apalagi tempat yang mereka tuju adalah sebuah hotel. Apa yang akan seorang laki-laki dan perempuan lakukan sampai harus check in di hotel? Tidak mungkin jika hanya bercakap ringan sambil menikmati segelas kopi di dalam kamar.
“Kamu harus minta penjelasan, Nan!” Tasya memberi saran pada Kinan dengan menggebu-gebu.
“Entahlah, Sya. Aku rasanya tidak siap menghadapi kenyataan-kenyataan yang harus aku terima. Yang penting aku sudah tidak berhubungan lagi dengannya, bagiku itu sudah cukup. Aku sudah lepas dari laki-laki yang tak baik saja, aku sudah merasa bersyukur. Aku tak bisa membayangkan jika aku tahu semua ini saat kami sudah menikah,” jelas Tasya dengan wajah muram. Ia tetap tak bisa membohongi hatinya yang terluka. Namun, di sisi lain, dia benar-benar merasa bersyukur.
“Lalu bagaimana upahmu? Kavin juga sempat meminjam uang yang tak sedikit padamu, kan? Dia harus membayarnya, Nan. Enak saja dia mau lari begitu saja. Dasar laki-laki tak tahu diri,” umpat Tasya tak bisa menyembunyikan kemarahannya.
Kinan menarik napas. Menggeleng. Ia sebenarnya paling tak mau memperkarakan soal uang. Tapi, kenyataannya dia pun butuh uang itu.
Diandra yang duduk tiba-tiba saja bangkit. Ia meraih pergelangan Kinan, memintanya untuk segera berdiri.
“Kamu harus meminta hak-mu. Bukan masalah uang saja, kamu harus meminta penjelasan tentang hubungan ini. Kamu yang harus memutuskannya, Nan. Bukan dia. “ Meski marah, intonasi Diandra masih sangat terkendali. Begitulah. Diandra memang sudah sangat dewasa di umurnya yang baru saja menginjak dua puluh enam.
Tasya yang juga bangkit dari duduknya mengangguk setuju.
“Jika perlu, ajak dia ketemu di kafe. Aku pesankan racun untuk ditaruh di dalam kopinya. Biar dia mati sekalian! Laki-laki macam begitu harus musnah dari muka bumi,” celetuk Tasya dengan berapi-api, sambil mengepal-ngepalkan tangan ke udara.
Keadaan yang tadinya tegang, berubah jadi gelak tawa saat kelemotan dan kepolosan Tasya kambuh.
Diandra melepas genggamannya dari Kinan lalu mengusap d**a. Rasanya hanya dialah satu-satunya manusia yang normal di sini.
Tasya hanya menggaruk kepalanya yang tak gatal. Lalu menyeringai. Menunjukan behel-behelnya yang baru saja diganti warna merah muda.
“Kamu benar-benar harus selesaikan ini, Nan!” ucap Diandra seserius mungkin. “Jika perlu, aku temani.”
“Aku yang akan selesaikan ini, Dra. Sore ini aku akan memintanya bertemu. Biar aku sendiri yang menyelesaikannya.”
“Kamu yakin?” Diandra lagi-lagi menghela napas pasrah. Menyayangkan kebodohan Kinan yang mau saja dimanfaatkan seorang Kavin.
Kinan mengangguk pasti meski pelan. Ia pikir, ia sendiri yang harus menuntaskan ini dengan Kavin.
Diandra menoleh ke arah Tasya yang masih memasang wajah penuh amarah, “Jangan lupa racunnya segera dipesan, Sya! Yang paling ampuh.”
Tasya menjawab dengan anggukan kuat, sembari mengacungkan jempol ke arah diandra.
Kinan tertawa melihat tingkah dua sahabatnya itu. Baginya, tidak ada yang lebih membahagiakan selain memiliki mereka. Bahkan masalah yang paling rumit sekalipun, dapat ia lalui asal sahabatnya selalu ada di samping Kinan.
Itu sudah lebih dari cukup.