Chapter 6 : Simpati

1623 Kata
    Malam itu Kinan pulang diantar Diandra. Dia menggendong tubuh kecil Kinan di punggung, sembari menenteng high heels Kinan juga. Awalnya Kinan menolak. Namun, Diandra memaksa dengan alasan melihat tumit Kinan yang lecet. Kinan pasrah. Karena sebenarnya dia tidak ingin melakukan atau berdebat soal apapun untuk saat ini. Mereka juga tak banyak bicara selama perjalanan. Diandra tak berani bertanya banyak hal tentang kejadian yang menimpa Kinan.       Ada sebuah taman di dekat kontrakan Kinan. Diandra menurunkan Kinan di kursi taman yang terbuat dari besi memanjang. Bagi Kinan, taman adalah salah satu tempat untuk menumpahkan segala kesedihannya. Dan Diandra tahu itu.     “Tunggu sebentar! Aku belikan antiseptic dan plester,” ucap Diandra yang meninggalkan Kinan tanpa menunggu persetujuan. Kinan mengangguk meski matanya kini menatap dedaunan di sebrang taman dengan pikiran  kosong.     Tak menunggu lama, Diandra sudah kembali dengan sebuah plastik putih di tangannya. Tanpa aba-aba, Diandra  berlutut di hadapan Kinan. Mengoleskan antiseptic ke tumit Kinan yang terluka. Lalu memasang plester dengan sangat hati-hati. Kinan tak berontak. Biasanya dia akan pura-pura mengaduh kesakitan ketika Diandra memakaikan antiseptic. Disadari atau tidak, Diandra adalah orang yang akan selalu siap mengobati saat Kinan terluka. Kini, Kinan hanya membeku. Tak bereaksi apa-apa. Hatinya lebih sakit dibandingkan tumitnya yang sesungguhnya hanya luka kecil. “Minum dulu!” Diandra menyerahkan sebotol air mineral yang sudah ia bukakan tutupnya. Kinan menerima dan meneguknya sedikit. Menyerahkannya kembali pada Diandra. Diandra menutup botol sambil beralih duduk di samping Kinan. Memerhatikan Kinan yang menatap kosong apapun yang ada di depannya. “Aku tahu seberapa dalamnya lukamu saat ini,” ucap Diandra memulai percakapan. “Menangislah jika ingin menangis lagi. Tumpahkan semua. Lalu besok, kamu harus bangun dengan hati yang baru.” “Rasanya sudah cukup aku menangis, Dra,” timpal Kinan tanpa menatap Diandra sedikitpun. “Yang perlu kamu ingat, menangis tidak menandakan bahwa kamu lemah, Nan!” “Aku bukan takut terlihat lemah. Aku hanya tak ingin menangis untuk seseorang yang tidak pantas ditangisi,” jawab Kinan mulai banyak merespon. “Kamu bukan menangisi seseorang. Kamu hanya menangis karena rasa sakit di hatimu. Layaknya anak kecil yang terjatuh, mereka menangis hanya karena perasaan sakit yang mereka derita. Tak peduli seberapapun kuatnya mereka. Percayalah! Setelah tangis itu pecah, maka semuanya akan terasa lega. Aku tahu kamu kuat. Tapi kadang-kadang manusia juga butuh menangis lebih banyak.” Kinan menggeleng. “Aku sudah kehabisan air mata untuk menangis. Ayo pulang, Dra!” ucap Kinan sambil menghela napas. Kemudian menatap Diandra dengan merekahkan senyum. Sebagai pertanda agar Diandra tidak perlu khawatir karna kini dia sudah baik-baik saja. Raut wajah Diandra berubah khawatir. Ia jelas menangkap banyak kebohongan di wajah Kinan. ***     Diandra pamit saat tiba di depan kontrakan Kinan. Berdalih bahwa ia harus pulang lebih cepat karena harus menyelesaikan laporan yang dikejar deadline. Jelas kini Diandra tengah membual. Dia hanya ingin memberi banyak waktu untuk Kinan. Baginya, Kinan lebih butuh waktu sendiri  untuk sekarang daripada ditemani seseorang. “Kamu yakin baik-baik saja?” tanya Diandra sekali lagi sebelum pergi. Kinan hanya mengangguk penuh arti. Meyakinkan Diandra. “Baiklah! Kalau ada apa-apa hubungi aku atau Tasya!” Kinan kembali melempar senyum dan mengangguk kuat sekali lagi. “Naiklah!” perintah Diandra. Kinan melambaikan tangan sebagai salam perpisahan pada Diandra. Lalu menaiki tangga satu per satu ditemani tatapan Diandra yang masih belum beranjak dari tempatnya.     Sampai di depan pintu kontrakan, Bu Cindy sedang menanti Kinan dengan wajah merah padam. Ini sudah hari ketiga dan Kinan berjanji bahwa hari ini dia akan melunasi tunggakan kontrakannya. Ia mewanti-wanti Kinan bahwa besok tenggat terakhir dimana Kinan harus membayar uang kontrakan. Jika tidak, maka mau tak mau dia harus meninggalkan tempat ini. Kinan menyanggupi meski dengan perasaan bingung akan bagaimana dia membayar. Rasanya sudah tak mungkin menagih upah kerjanya selama bekerja dengan Kavin. Kenyataan yang ia hadapi hari ini semakin membuatnya tak ingin bertemu lagi dengan laki-laki berkacamata itu. Sedang saat ini, dia hanya pengangguran yang sisa uang tabungannya hanya cukup untuk makan beberapa hari ke depan.     [Selamat malam. Perkenalkan aku Damian. Mulai besok,  kamu sudah bisa bekerja di perusahaan sebagai staff kantor pemasaran. Untuk gaji, akan dibayar dimuka dan aku transferkan hari ini juga. Jangan salah paham. Ini agar kamu tidak kabur saat bekerja denganku nanti.] Kinan membaca pesan itu berkali-kali seolah tak percaya. Sebuah pesan tanpa nama dari nomor yang tidak ia kenal. Kinan kebingungan, Kenapa atasannya bisa berubah padahal belum ada hitungan 24 jam Damian menolak untuk menerimanya bekerja.  Rasanya tak mungkin juga jika ini pesan spam. Siapa yang tahu hari ini dia melamar kerja di Artha Park? Handphone Kinan berbunyi sekali lagi. Sebuah pesan masuk untuk ke dua kali. Sebuah notifikasi dari internet banking yang memberitahukan bahwa ada sejumlah saldo masuk ke rekeningnya. Tujuh juta. Nominal ini cukup besar untuk dirinya yang selama ini bekerja dengan upah minimum karyawan. Apalagi dia hanya kuliah diploma tiga.. [ Jangan terlalu ge-er. Aku melihat nomor telepon dan rekeningmu di dalam CV yang kamu kirimkan. Soal kartu nama yang kamu berikan padaku tadi siang, itu  sudah kubuang.]     Kinan mancoba mencerna rentetan peristiwa yang terjadi padanya seharian ini. Kesakitan serta kebahagiaan kadang memang tak bisa diprediksi dan datang di saat yang bersamaan. Dia tak menyangka bahwa kesialan-kesialan yang datang akan mengantarnya pada keberuntungan-keberuntungan lain. Dia tak pernah membayangkan bisa bekerja di perusahaan besar dengan gaji yang mumpuni! Tapi, tunggu! Kinan seketika berpikir ulang tentang bagaimana ia akan menghadapi dan bertenu Damian setiap hari. Bagaimana bisa dia masih punya muka untuk berbicara atau bahkan hanya bertatap mata di kantor? Pikiran itu membuat Kinan membeku. Rasanya tak mungkin menghadapi kegilaan bosnya yang kadang memperlakukan orang seenak jidat.     Kinan kemudian menggeleng pasti. Setidaknya dia bisa membayar uang kontrakan selama tiga bulan. Juga untuk satu bulan ke depan saat ini. Dia bisa menahan amukan demi amukan atasannya dibanding bertemu Bu Cindy yang selalu lebih menakutkan dari monster-monster yang ia lihat dalam serial televisi.  Kinan begidig. Lalu membalas pesan Damian dengan mengucap terima kasih yang sangat singkat.     ***     Damian mematung di depan sebuah rumah dengan hanphone yang terus diperiksanya,. Memastikan bahwa alamat yang tertera menurut petunjuk GPS sudah benar. Tadi sepulang kerja, tepat di saat mobilnya berhenti karena lampu merah di perempatan, dia melihat Chasta. Perempuan yang dipacarinya tiga tahun lalu itu, masuk ke dalam sebuah hotel bersama seorang pria berkacamata. Damian hendak marah besar dan memarkirkan mobilnya ke tepi jalan. Namun, tiba-tiba matanya menangkap seseorang di sudut lain. Ia melihat Kinan sedang bersembunyi di balik tembok. Tepat di samping toko pakaian-- yang temboknya lebih maju beberapa senti sehingga menutupi tubuhnya sempurna. Ia melihat Kinan yang tak henti mengamati gerak-gerik sepasang kekasih yang memasuki hotel tadi. Damian memerhatikannya sangat lama hingga tak sadar beberapa mobil di belakang membunyikan klakson. Meminta agar mobilnya segera melaju karena lampu merah sudah berganti hijau.     Sepanjang  perjalanan dia berpikir akan sesuatu. Dia sadar bahwa Kinan telah menangisi laki-laki yang bersama Chasta tadi. Ia yakin dari wajah Kinan yang penuh kekecewaan bercampur marah.Ia bisa menebak jika laki-laki itu adalah kekasih Kinan. Dan Damian tahu betul luka itu. Luka yang sama seperti miliknya kini. Pengkhianatan.     Untuk pertama kali dalam hidup, dia dikhianati oleh orang yang paling dicintainya. Padahal Chasta baginya adalah orang pertama yang mampu membuat dia percaya bagaimana rasanya dicintai dan mencintai.     Damian pun berkeliling mencari alamat Kinan dan berhenti di sebuat kontrakan sederhana. Namun, dia kembali ke dalam mobil saat dari kejauhan melihat Kinan datang dengan seorang laki-laki yang ia kenal sebagai manager keuangan di perusahaannya. Tak heran saat lowongan sebagai editor di bagian marketing dibuka, Diandra membujuknya untuk tak merekrut orang lain karena ia punya seseorang yang ingin direkomendasikan. Yang ternyata Kinan adalah calonnya. Damian memerhatikan keduanya dari dalam mobil. Dan saat Diandra sudah pergi, Damian malah melihat Kinan tengah diomeli habis-habisan oleh seorang wanita paruh baya betubuh tambun. Bu Cindy. Meski percakapan tak begitu jelas, namun samar-samar dia bisa mendengar teriakan Bu Cindy dibalik jendela mobilnya yang dibiarkan terbuka. Damian memang membenci kemiskinan. Tapi dia sangat tidak suka ketika seseorang ditindas. Apalagi saat itu dia tahu Kinan sudah mendapatkan kesakitan yang luar biasa karena sebuah penghianatan. Baginya sudah cukup. Dia seperti tak menginginkan perempuan yang awalnya paling tak mau ditemuinya itu, mendapat perasaan sakit yang tak henti dan bertubi-tubi. Damian merasakan ada sayatan dalam hatinya. Ia teringat masa kecilnya dulu. Saat ia dan ibunya diusir dari kontrakan karena telat membayar uang sewa.    Kelebatan tentang Kinan membayang terus di kepalanya. Ia terus saja memikirkan bagaimana nasib perempuan itu kini. Tanpa sadar Damian menaruh simpati lebih karena sebuah keterikatan perasaan dan nasib yang sama. Dia meyakinkan diri berkali-kali bahwa perlakuannya pada Kinan hanya sebatas bagaimana ia membantu bawahan-bawahan lainnya di kantor. Sampai akhirnya,  Damian pun ingin memberi kesempatan Kinan untuk bekerja. Tidak ada salahnya membantu, pikirnya. Damian membuka kotak email. Mencari CV Kinan yang bertumpuk dengan email lain. Ia kemudian mengirim pesan pada Kinan yang berisi bahwa dia telah diterima di perusahaan. Juga tanpa segan mentransfer sejumlah upah di muka. Selesai mendapat balasan ucapan terima kasih yang singkat dari Kinan, Damian memutuskan kembali ke apartemennya. Ia begitu memuji dirinya sendiri yang mau menolong Kinan-- yang saat ini memang butuh bantuan. Ia merasa jika apa yang dilakukannya pada Kinan adalah keputusan yang tepat.     Damian mengambil smartphone yang tergeletak sembarang di tempat tidur seusai mandi dan berganti baju. Ia mengetik sebuah pesan baru untuk seorang perempuan yang menjadi belahan jiwanya tiga tahun belakangan ini. Perempuan yang membuat ia menjaga kesetiaan untuk satu-satunya orang. [ Mulai hari ini, hubungan kita selesai. Tidak perlu bertanya apa alasannya. Aku yang membuangmu.] Damian menyimpan handphonenya di atas meja kaca berbentuk bundar. Ia melihat keluar jendela apartemen yang setinggi badannya. Menatap kosong kerlap-kerlip lampu malam dari lantai delapan. Wine di dalam gelas yang hanya diisinya seperempat, ia goyang-goyangkan sebelum menengguknya perlahan. Malam ini, dia ingin tidur dengan tenang tanpa memikirkan banyak hal. Apalagi memikirkan Chasta. Tidak untuk malam ini dan malam-malam berikutnya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN