Chapter 5 : Pengkhianatan

1619 Kata
    Kepedihan demi kepedihan datang padamu untuk mengajarkan banyak hal. Tentang bahagia yang kelak akan kau syukuri . Tentang banyaknya luka yang datang, namun tanpa sadar malah membuatmu lebih kuat dan kuat lagi dari sebelumnya.     “Lagi?!” ucap laki-laki yang seketika berdiri dari kursinya. Damian. Laki-laki itu meradang. Dia tak menyangka perempuan yang melamar sebagai salah satu staff marketing di perusahaanya adalah perempuan menyebalkan yang ia temui akhir-akhir ini. Kinan menunduk. Ingin sekali memukul kepalanya sendiri. Memaki dirinya dalam hati. Kenapa malah membuat kesalahan dari hari pertama mereka bertemu. Jika saja dia tahu bahwa laki-laki itu seseorang yang penting, mungkin dia akan sengaja mengalah dan meminta maaf dengan cepat. Namun kini terlambat. Apalagi janji interview yang tidak tepaat waktu hari ini. Belum lagi saat dia teringat bagaimana ia mengatai ibu Damian yang ternyata sudah meninggal. Kelebatan demi kelebatan bagaimana ia membuat kesalahan, ,membuat Kinan mulai pasrah. Dia benar-benar kehilangan harapannya hari ini.     “Oke! Kita kesampingkan masalah-masalah lain di luar pekerjaan. Sekarang, mari bersikap profesional,” ucap Damian sembari memilih duduk kembali. Lalu menyuruh Kinan untuk duduk di kursi yang tersedia di depan mejanya. Kinan bisa sedikit bernapas lega. Setidaknya laki-laki itu masih punya profesionalisme yang tinggi. Hampir saja ia menuruti otaknya untuk kembali pulang. Menyerah saja.  Setelah duduk, sambil menunggu Damian memulai percakapan, ia memerhatikan sebuah papan nama di meja yang diukir dengan sangat cantik. Mengeja nama laki-laki yang kini jadi sosok paling diseganinya. Da-mi-an.     “Jam berapa janji wawancara kita?” tanya Damian kemudian sambil menyimpan bolpoin berwarna keemasan di samping buku catatannya. “Jam tujuh, Pak!” jawab Kinan mencoba tetap tegas meski diliputi perasaan tak enak karna sudah sangat terlambat. Ia tetap duduk dengan penuh percaya diri. Menaikkan bahunya. “Kamu tahu ini sudah pukul berapa?” “Setengah delapan, Pak!” “Lalu?” “M-maaf, Pak. Tadi saya …,” suara Kinan tertahan. Tak mungkin memberi alasan bahwa Damian lah yang menyebabkan keterlambatannya hari ini. “Sudah. Interview selesai. Silakan Anda meninggalkan ruangan.” Kinan mematung sesaat. Tak berani menyimpulkan kata-kata yang keluar dari bibir Damian. Ia masih menunggu sebuah harapan. “Apa maksud Anda, Pak?” tanya Kinan meminta penjelasan. “Wawancara kamu sudah selesai. Dan silakan meninggalkan ruangan. Maaf. Sejak awal saya memang tidak berniat mempekerjakan kamu.” “Ta-tapi, Pak …,” “Tidak ada tapi-tapi. Saya tidak suka karyawan yang tidak disiplin. Sejak hari pertama saja, kamu sudah terlambat.” “Apa saya benar-benar tidak memiliki kesempatan, Pak? Atau Bapak tidak mau menerima saya karena kejadian di kafe kemarin, serta di lobi tadi?” “Sudah saya bilang sejak awal untuk mengesampingkan apa yang terjadi di luar konteks pekerjaan.” Damian menggeleng sambil membuka tangan menunjuk pintu. Memberi isyarat agar Kinan segera meninggalkan ruangan. Ia kembali mengambil bolpoin, mulai menuliskan sesuatu di buku catatan. Lalu membuka sebuah dokumen, memmbacanya dengan seksama sebelum di tandatangani. Dia tak menggubris kata-kata Kinan dan sibuk kembali pada rutinitasnya. “Tapi, Pak!” Damian mendengus. Mulai habis kesabaran. Ia berdiri dari kursinya dengan cepat. “Kamu masih cukup beruntung saya masih mau menemui kamu. Janji pertemuan saya batal tadi, makanya saya kembali. Tapi tidak untuk membuang waktu saya dengan berdiskusi dengan kamu ataupun membahas hal-hal yang tidak penting. Saya rasa sudah jelas. Saya masih banyak pekerjaan dan saya sibuk. Silakan tinggalkan tempat ini, atau saya panggilkan security!” Air di mata Kinan mengambang. Sebisa mungkin ia menahan tangisnya agar tak jatuh. Akhir-akhir ini mengapa dia begitu cengeng. Ia begitu membenci dirinya yang akhir-akhir ini mudah sekali menangis. Padahal selama ini, dia selalu kuat sekalipun ditimpa banyak masalah. Kali ini, kenapa tangisnya seolah lebih mudah tumpah tanpa terelakan.  Kinan melangkah gontai meninggalkan ruangan setelah tak mampu membantah apa-apa lagi. Ini memang jelas salahnya. Namun tetap, Kinan sedikit banyak menyalahkan Damian karena punya andil besar meghalangi jalannya saat di lobi tadi. Jika saja mereka tadi tidak bertemu, mungkin Kinan bisa sampai tepat waktu. Tapi Kinan sadar bahwa perdebatan tidak akan ada gunanya. Itu hanya akan memperparah kejengkelan Damian terhadapnya.  Ah, tidak. ini salahnya yang datang tanpa memprediksi apapun. Jika dia berangkat lebih pagi, mungkin dia lebih cepat sampai. Dan Damian pun pastilah masih duduk santai di ruangannya.  Kinan benar-benar menyerah kali ini. Meninggalkan ruangan dengan tubuh lunglai. ***     Matahari sudah condong ke barat. Semburat senja adalah hal mewah yang ingin dinikmati Kinan sangat lama. Sayangnya, senja cepat datang dan pergi. Dia hanya punya waktu sesaat menikmati hal yang paling disukainya itu. Tadi sepulang dari PT. Artha Park, perusahaan properti terbesar di Indonesia milik Damian, Kinan tidak langsung pulang ke kontrakannya. Dia memilih untuk mengunjungi panti asuhan yang sering dia datangi sejak dulu. Kinan meminta izin pada seorang pengurus di panti, menawarkan diri untuk menjadi salah satu relawan. Mengajarkan baca tulis serta menggambar pada para penghuninya satu minggu sekali. Tak lupa Kinan membelikan cemilan ringan sebagai hadiah untuk anak-anak panti yang hanya berjumlah sembilan orang. Panti yatim itu punya tempat kecil dan tak banyak diketahui orang. Tak heran hanya ada sedikit anak yang ditampung di sana. Belum lagi memang kondisi panti yang tidak memungkinkan menampung anak di luar kapasitas karena kendala masalah uang operasional.  Kinan sadar betul bagaimana rasanya menjadi seorang yang hidup tanpa orangtua utuh. Meski sebenarnya dia mempunyai seorang ayah-- yang baginya tak pantas dipanggil dengan sebutan ayah. Ah, Kinan menarik napas berat lalu mengembuskan perlahan. Dia sedang tak ingin mengingat ayahnya kali ini. Itu hanya akan membuat luka-luka masa kecilnya semakin terbuka.     Gelap mulai menyergap saat perempuan berlesung pipi itu pulang menyusuri jalanan kota. Melangkah di sepanjang trotoar tanpa antusias mengamati toko-toko di sepanjang jalan. Biasanya Kinan akan memerhatikan etalase-etalase toko dengan mata berbinar. Memandangi baju-baju yang dibalut dalam manekin bertubuh langsing. Atau tas-tas yang berkilauan dihiasi manik-manik mengkilat di bagian depan. Baginya, menikmati barang-barang mewah dari kejauhan saja sudah sangat cukup. Dia sadar diri bahwa barang-barang tersebut bukanlah untuknya. Namun, kali ini dia mengabaikan segala yang biasanya membuatnya bersemangat. Kinan hanya  berjalan dengan tatapan kosong. Langkah Kinan tiba-tiba terhenti saat sebuah pesan masuk ke dalam ponselnya. Tertera nama Diandra di keterangan pengirim. [ Bagaimana interviewnya hari ini? Lancar, kan? Maaf baru sempat kirim pesan. Hari ini aku sibuk sekali. Apalagi si Bos Botak minta pekerjaan selesai hari ini juga. Aku ingin pulang. Huhuhu …] Kinan membuka sesaat handphonenya dan menepi. Menyunggingkan senyum saat membaca pesan sahabatnya itu. Dia lalu memasukan benda pipih itu ke dalam tas tanpa membalas. Nanti saja setelah sampai di rumah, pikirnya.     Kinan menyandarkan tubuhnya pada tembok di samping toko baju. Ia baru sadar ketika rasa sakit menyergap tumitnya. Kinan melepas high heels lalu mengecek luka yang memang tak seberapa parah.  Begitu merepotkannya menjadi perempuan agar dipandang cantik oleh orang lain, gumamnya jengkel. Ia kemudian kembali berjalan dengan menenteng sepasang sepatunya di tangan kanan. Tak peduli beberapa pasang mata menatapnya sambil sesekali menertawai. Apa gunanya peduli tentang pemikiran orang lain,, sedang dirimu benar-benar merasa tak nyaman dengan apa yang kau lakukan, pekiknya lagi dalam hati.     Namun, langkahnya tiba-tiba terhenti lagi saat melihat seorang laki-laki yang ia kenal keluar dari sebuah taxi. Kavin. Laki-laki itu keluar tepat di depan sebuah hotel yang tidak terlalu mewah. Kinan segera menyembunyikan badannya. Melangkah mundur dan berlindung pada tembok salah satu toko.   Kinan merasa ini bukan waktu yang tepat untuk bertemu dengan mantan kekasihnya. Ia tak mau berpapasan dengan laki-laki yang sempat dicintainya dalam kondisi kacau seperti sekarang ini. Kepalanya menyembul. Memerhatikan Kavin diam-diam. Ia ingin tahu apa yang akan dilakukan laki-laki yang membuangnya beberapa hari lalu itu. Terlihat Kavin setengah berlari menuju pintu taxi di sebelahnya. Membukakan pintu. Lalu memasang senyum paling menawan dengan mengulurkan telapak tangan. Seorang perempuan menyambut hangat uluran Kavin. Perempuan dengan dress merah ketat setinggi  lutut yang membalut tubuh indahnya dengan sempurna. Mata mereka saling tatap dengan perasaan cinta yang sulit untuk disembunyikan.      Ada yang bergejolak hebat dalam hati Kinan saat sepasang manusia itu berjalan memasuki lobi hotel-- setelah perempuan yang bersama Kavin tadi membayar uang taxi. Jadi ini alasan Kavin meminta putus darinya? batin Kinan. Punggungnya bersandar ke tembok. Ia merasa seluruh bagian tubuhnya berat dan tak mampu menopang badannya sendiri. Ia benar-benar lemas melihat kenyataan pahit yang ada di depannya.  Perlahan tubuh Kinan meluruh. Ia terduduk ke lantai masih dengan memegangi high heelsnya. Kinan menatap kosong apapun yang ada di depannya. Dia benar-benar tak habis pikir jika orang yang paling dipercayainya, benar-benar pergi meninggalkannya karena perempuan lain. Sebenarnya Kinan sudah menebak alasan kenapa Kavin memutuskannya secara sepihak. Namun, tak pernah terpikirkankan olehnya untuk melihat perselingkuhan itu dengan mata kepala sendiri. Apalagi ketika masuk hotel tadi, Kavin menggandeng perempuan berambut lurus sebahu itu dengan sangat mesra. Tubuhnya yang sintal memang sangat mempesona. Dibanding dirinya yang terbilang kurus, perempuan itu jelas lebih baik dalam segala hal. Hal itulah yang membuat dadanya semakin sesak. Untungnya jalanan sudah mulai sepi. Tak ada orang yang begitu memerhatikannya. Hanya beberapa pasang mata dari dalam mobil yang secara kebetulan menangkapnya. Memandang nanar dari balik kaca mobil penuh rasa iba. Mengasihani Kinan yang kini terlihat seperti orang hilang. Kinan menelungkupkan kepala. Memeluk lututnya sendiri tanpa melepas sama sekali high heels yang masih digenggamnya. Hatinya benar-benar remuk saat ini. Meski dia sudah bersiap untuk segala skenario terburuk, ia tak menyangka rasanya dikhianati akan semenyaktkan ini.     “Kau baik-baik saja?” Suara laki-laki yang berdiri di depannya, membuat Kinan mengangkat kepala perlahan. Ia mendongak dengan mata merah. Genangan air di dalam matanya terus memaksa keluar. “Diandra?” ucapnya lemah. Laki-laki itu mengeluarkan sapu tangan dari saku belakang celana. Memberikannya pada Kinan. Namun, Kinan hanya diam tak bereaksi apa-apa. Diandra kemudian memasukan kembali sapu tangan itu ke dalam saku. Berganti menjulurkan tangan meminta Kinan agar bangkit. Kinan menatap lamat mata meneduhkan milik Diandra. Ia menyambut uluran tanganya. Lalu seketika menghambur dalam dekapan Diandra tanpa ragu.  Kinan lagi-lagi menangis hebat di dalamnya.  
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN