Hujan di Pagi Hari

847 Kata
Aku terbangun dari tidur lelap ku. Gemercik air hujan terdengar jelas di indera pendengaran ku. "Pagi-pagi hujan. Buat malas saja." Ucap ku sambil merenggangkan otot-otot ku. Aku sangat malas hari ini, tetapi hari ini aku harus ke sekolah untuk menuntaskan semua nilai ku yang masih kosong. Dengan tenaga yang belum sepenuhnya ada, aku bangkit dari tidur ku lalu membersihkan badan ku dan pergi ke sekolah. Setelah semuanya siap, Mama memanggil ku untuk sarapan. Aku menghela nafas, aku tahu dia pasti akan menanyakan apa yang aku tidak ingin jawab, tetapi aku salah. Dia tidak menanyakan apa pun. Aku sudah cukup malas dengan semua yang telah terjadi jika di bahas. Aku sudah tidak ingin ambil pusing. Aku ingin fokus pada masa depan ku sekarang. Di dalam kamus ku tidak ada kata terlambat untuk mencapai kesuksesan. *** Aku mengehala nafas lega ketika semua nilai ku sudah rampung semua. Saatnya aku pulang dan tidur sampai pengumuman kelulusan keluar. Anehnya, daritadi aku tidak melihat para sahabat ku disini. Aku tidak ambil pusing, lalu aku menuju ke parkiran. Saat aku sampai di parkiran, aku menoleh saat ada seseorang yang menepuk pundak ku. Aku mematung. Wajah yang sudah ku lupakan, nama yang sudah hilang dari hati ku dan salah satu sebab aku menjadi orang tidsk waras beberapa waktu lalu, kini kembali muncul di hadapan ku. Dia tersengum kaku saat menatap ku, sedangkan aku sama sekali tidak tahu harua bersikap apa. Rasanya marah mulai menjalar ke seluruh tubuh ku, tetapi aku bisa menahannya. "Hai." Sapanya. Senyumannya hilang saat aku hanya menatap wajahnya datar dan sama sekali tidak mengubrisnya. "A-aku ingin minta maaf." Lanjutnya. Aku masih terdiam. Dia mencoba untuk kembali tersenyum. "Aku ingin mengembalikan uang yang pernah kamu pinjam kan ke aku buat bayar ujian semester kuliahan ku waktu itu." Ucapnya sambil menyodorkan 2 lembar uang seratus ribu kepada ku. Aku mengernyitkan dahi. "Ambil saja." Ucap ku. "Ti-tidak. Ini uang mu." Ucapnya sambil memegang tangan ku. Aku melepas genggaman tangannya. "Ambil saja. Aku ikhlas." Ucap ku yang seketika membuat raut wajahnya berubah. Tiba-tiba hujan turun dengan lebatnya. Aku membatin karena aku harus masuk ke sekolah lagi. Amarah ku meledak sekarang karena perempuan keras kepala ini. Aku menghela nafas ku kasar ketika dia kembali memegang pundak ku. Aku membalikkan tubuh ku. "Sudah ku bilangkan, uangnya kau ambil saja. Kau bisa tabung uang itu." Ucap ku dengan nada tinggi. Dia menatap ku dengan tajam. Rahangnya juga mulai ikut mengeras. "AKU BUKAN PENGEMIS! Aku hanya ingin mengembalikan uang ini. Itu saja." Ucapnya. Aku menatapnya dengan tatapan emosi lalu memegang tangannya dengan keras, spontan dia meringis kesakitan. Emosi dan amarah ku meledak sekarang karena kalimatnya yang seperti sampah. "Pengemis? Kau yang bilang diri mu pengemis! Apa kau tuli hm? Apa aku harus pakai cara kasar biar kau bisa mendengar apa yang aku bilang hm? UANG ITU KAU AMBIL SAJA. Kau pikir dengan uang 200 ribu itu dan dengan cara bicara mu itu aku akan mengambilnya? Tidak akan! Jangan membuat ku kasar kepada mu. Kau bisa menabung uang itu. Pergi kau dari sini. Kau benar-benar mengganggu kenyamanan hidup ku dan kau berhasil membuat rencana ku hari ini berantakan. Sial." Aku menghempaskan tangannya. Dia masih meringis kesakitan. "WOY!" Alfian berteriak dengan sangat keras. Dia, Dani, Andre, dan Bule berjalan cepat ke arah kami. Aku menghela nafas ku yang kesekian kalinya. Masalah ini tambah panjang jika mereka hadir dan ikut campur. "Heh kau ngapain disini?" Tanya Bule dingin. "Kamu belum puas hah?" Dengan suara yang gemulainya Dani ikut bertanya. "A-aku cuma mau kembalikan uang yang aku pinjam dari Leo waktu itu, tetapi dia nolak. Dia menyuruh ku untuk menabung uang ini tetapi aku juga menolaknya." Jawabnya takut sambil menahan sakit di tangannya akibat ulah ku tadi. Dani menghela nafasnya dengan kasar. "Via... Kalau Leo sudah jawab seperti itu, ya kamu lakuin saja. Toh kamu tidak suka DI PAKSA juga. Jadi, tolong hargai dia." Ucap Dani sembari menekan kata 'Di paksa'. Aku menghela nafas. Aku sudah sangat pusing. "Sudah-sudah! Diam! Aku mau pulang. Untuk kamu Via lebih baik kamu pergi dari sini setelah hujan ini reda. Untuk kalian berempat aku pamit pulang, kalau ada apa-apa kalian telpon aku." Ucap ku. Ketika aku hendak jalan, Bule menahan ku. "Hujan bodoh." Ucapnya, tetapi aku sama sekali tidak mengubrisnya. Aku terus melangkahkan kaki ku menuju parkiran, memakai jas hujan, dan pulang ke rumah. Sesampainya di rumah, aku membuang diri ku di ranjang. Aku menghela nafas ku dan mengusap wajah ku. Aku tidak menyangka bahwa dia aku akan melihatnya lagi dan aku tidak menyangka emosi ku meledak karena perbuatannya. Aku bahkan sudah susah payah untuk melupakannya bahkan tidak ingin melihatnya lagi. Aku berpikir dan yakin bahwa hujan di pagi hari dan sampai sekarang ini sebagai bentuk tanda hati ku yang kembali berkecamuk. Aku tidur sampai sore hari. Masih terdengar suara hujan di luar. Hujan bahkan tidak ingin berhenti. Mungkin hujan ingin menghapus air mata orang yang sedang berpatah hati saat ini. Lalu ketika hujan ini sudah tergantikan oleh matahari, mereka yang sedang berpatah hati akan menjadi lebih lega hatinya, lebih kuat hatinya, lebih semangat menjalani hari-harinya. Termasuk aku.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN