Hari Minggu pagi datang dengan cahaya keemasan yang menyusup lewat tirai tipis kamar Yena. Jam dinding menunjukkan pukul tujuh lewat lima belas. Udara masih sejuk, tapi bau keringat semalam masih menempel di sprei putih yang sudah kusut. Yena meringkuk di dalam bedcover, tubuh mungilnya terasa seperti terjepit karena digempur semalaman. Hao sudah bangun, rambut gondrongnya acak-acakan. Dia membawa nampan sarapan yang dibuatkan dirinya sendiri—roti bakar selai kacang, telur orak-arik, jus mangga dingin. “Sayang, bangun. Makan dulu yuk,” katanya lembut, duduk di pinggir. Dia suapin Yena pelan, seperti pasangan suami dan istri yang baru nikah. Yena membuka mulut lemah, hanya bisa komplain sambil menelan pelan. “Badanku sakit banget, Hao...” Hao menghapus remah di bibir Yena. “Kita kaya pa

