Gunjingan Tetangga
Kalian tidak akan pernah tahu. Mengapa seseorang memilih jalan hidup yang kalian anggap salah. Kecuali jika kalian ikut merasakan penderitaan apa yang telah seseorang alami di dalam kehidupannya.
“Dasar kotor! Masih muda udah jadi pendosa. Harusnya Lo jalan make penutup di wajah. Tapi sayangnya, memang dasar nggak punya malu! Gimana rasanya ngasih makan adik-adikmu pakai uang haram!”
Seperti itulah setiap harinya. Beberapa wanita berkumpul hanya untuk memberikan sarapan berupa kata-kata makian untuk Renata. Ingin tidak peduli, namun mau bagaimana lagi, kata-kata mereka sangat mengganggu di indra pendengaran wanita bertubuh mungil itu.
Renata yang sudah berlalu, kini membalikkan tubuhnya kembali. Wanita berusia 25 tahun itu menatap nyalang kumpulan orang-orang yang baru saja mencemooh dirinya. Tahu apa mereka semua tentang hidupnya? Dia susah payah mencari uang sampai rela menjual diri agar tidak sampai menyusahkan orang lain.
“Tutup mulut busuk Lo, enak aja ngomong sembarangan. Gue ini mahal! klien Gue musti bayar 2 juta buat ngabisin satu malam bareng Gue,” balas Renata sembari menunjuk salah satu dari mereka dengan jari telunjuknya.
“Gue sama Lo pada, sama-sama kotor. Cuman beda letak aja. Noda Gue ada di tubuh, sedangkan noda Lo pada ada di mulut lancang kalian semua! Andai aja ada kompetisi antara Lo sama iblis, Gue yakin iblisnya juara dua,” lanjutnya.
Salah satu wanita yang paling gencar mengoloknya merasa tidak terima dengan perkataan Renata. Wanita itu menunjuk-nunjuk wajah Renata.
“nggak usah cari pembelaan, sekali murah tetap aja murah! Dasar nggak berharga, kotor! Nggak tahu malu, gimana kalau adikmu tahu pekerjaan kotor kakaknya ini?”
Selena mendorong bahu kanan Renata hingga tubuh wanita itu hampir terjatuh di sebelah kakinya. “Lihat kan? Lo pantesnya emang gini, keliatan cocok di samping kaki Gue!”
Mereka semua tertawa, seakan sedang menyaksikan sebuah lelucon yang memang dihadirkan untuk menghibur mereka.
Renata memejamkan matanya erat. Berusaha untuk mengontrol emosinya, ia tidak yakin jika tangannya akan diam saja saat emosi menguasai dirinya.
"Kalau sampai ada yang berani ngasih tahu adik-adik Gue. Gue pastiin, kalian bakal mati di tangan Gue!" ancak Renata.
Wanita itu berdiri lalu melenggang pergi, berusaha menutup telinga tentang apa pun yang mereka katakan tentang dirinya. Toh mereka juga tidak salah menyebut Renata kotor. Karena memang itu kenyataannya. Yang terpenting bagi dirinya saat ini, ia bisa menyekolahkan kedua adiknya dengan baik. Urusan mulut orang lain ia tak mau peduli lagi.
Renata berjalan ke arah taman bermain tempat ia menitipkan Sergio, adik laki-lakinya yang kini sudah menginjak usia 6 tahun. Anak yang pintar, sangat jarang sekali rewel. Dia cenderung menurut dan tak pernah menuntut, kecuali satu, ia selalu merengek ingin bertemu dengan ayah dan ibu. Tentu saja Renata tidak bisa mengabulkannya, karena dia saja tidak tahu di mana orang tuanya kini berada.
Setiap pertanyaan itu muncul, Renata hanya diam tak bisa berkutik. Ia hanya bisa mengalihkan pembicaraan mereka, namun jika Sergio mulai mendesak, maka Renata terpaksa harus membentak. Ia menangis setelah melakukannya, namun apa boleh buat, ia tidak memiliki jawaban untuk pertanyaan yang selalu adiknya itu ajukan.
Renata masih mengingat dengan jelas bagaimana tangisan pilu adik-adiknya saat ayah dan ibu bertengkar, saling melempar barang, hingga menyebabkan beberapa perabotan rumah menjadi rusak dan pecah.
Kasih sayang yang seharusnya mereka dapatkan, digantikan dengan k********r dan juga caci maki setiap harinya.
Karena keegoisan kedua orang tuanya. Setiap hari ia dan kedua adiknya sering merasa kelaparan, namun nasibnya sedikit beruntung karena tetangganya seorang nenek tua sering memberikan mereka makanan. Nenek itu yang selalu menemani dirinya setiap hari, menghibur Renata jika tetangga sudah mulai berkumpul menggunjingnya.
Nenek juga yang membantu mengasuh Sergio saat Renata bekerja. Namun dua tahun lalu beliau meninggal, membuat Renata harus merasakan lagi pahitnya hidup tanpa bisa mengeluhkan segala masalah yang ia pikul. Tidak ada siapa pun yang bisa ia jadikan tempat untuk bercerita, hingga membuat ia melampiaskan masalahnya dengan melukai dirinya sendiri menggunakan benda tajam.
Bunuh diri? Bukan, bukan itu maksudnya. Ia tidak pernah berpikir sampai sejauh itu, karena Sergio dan Cecylia masih membutuhkan dirinya. Kedua adiknya itu tidak memiliki siapa pun di dunia ini kecuali dirinya.
Ia melakukan hal itu hanya untuk membagi sakit yang dirasakan hatinya. Renata merasa lega saat menggores benda tajam itu di paha atau pergelangan tangannya, hal itu membuatnya ketagihan saat ia sedang berada dalam sebuah masalah.
Sergio sering menanyakan pada Renata, bagaimana luka itu bisa kakaknya dapatkan. Namun, tentu saja Renata akan membohongi adiknya, mengatakan bahwa ia tak sengaja terkena pisau saat memasak. Yang mana membuat Sergio sempat mogok makan karena melarang Renata untuk memasak agar wanita itu tidak lagi terluka.
“Kakak!” teriak Sergio dengan girang.
Renata merentangkan tangannya untuk menyambut pelukan adik manisnya. “Hai sayang, hari ini Kak Ren pulang cepet nih!”
Sergio mencubit kedua pipi Renata gemas. “Kakak, tadi Gio jatuh waktu main di luar, untung ada Om Lucas yang nolongin Gio. Om Lucas ganteng banget Kak, badannta tinggi lagi!”
Renata menatap mata Sergio lekat, “Om Lucas? Siapa? Bukannya Kakak udah pernah bilang, dilarang bawa orang asing ke rumah?” tanya Renata menyelidik.
“Dia temannya Kak Cecyl, Om Lucas baik Kak. Tadi Gio dibelikan makanan, terus disuapin juga.”
Renata paham, tidak masalah jika itu teman Cecyl. Sepertinya, kekhawatiran terhadap adik-adiknya sangat berlebihan akhir-akhir ini. Ia akan berusaha maklum dengan kehidupan remaja jaman sekarang, mungkin memang dirinya yang berpikiran terlalu kuno.
Renata menengok ke belakang, Cecylia pasti kembali ke kampusnya lagi, adiknya itu sedang sibuk-sibuknya menyelesaikan tugas kuliahnya. Renata tidak paham karena ia tidak pernah tahu bagaimana rasanya kuliah.
Renata dan Sergio masuk ke dalam untuk segera makan siang, wanita itu sudah kelaparan sedari tadi. Baru saja ia akan menikmati makanannya bersama Sergio, namun tiba-tiba saja ponselnya bergetar tanda masuknya sebuah pesan.
[Kak Ren, tolong besok siapin duit 3 juta. Cecyl butuh banget buat bayar iuran tugas, penting Kak.]
Renata terdiam, di dompetnya hanya sisa uang sebanyak 500 ribu rupiah saja. Wanita itu menghela nafas lelah, dengan sangat terpaksa nanti malam ia harus melakukan pekerjaannya lagi.
“Sampai kapan, Gue bakalan hidup kayak gini terus? Gimana caranya, Gue bersihin noda di tubuh Gue ini?” batinnya.
Sesungguhnya ia sangat jijik melakukan pekerjaannya, menjajakan diri demi uang. Namun, ia tidak memiliki cara lain untuk mendapatkan uang yang cepat dalam waktu singkat. Cecilia membutuhkan banyak uang untuk membayar kuliahnya.
"Bertahan sebentar lagi, Ren."