“Kamu bilang aku jadi pengasuh, ini malah jadi calon istri Ken.” Relisha tampak geram dengan apa yang dikatakan Ken.
Soraya mengedip-ngedipkan mata untuk menghindari semprotan air dari mulut Relisha. “Lho, masa sih, Rel?” Soraya mengernyitkan dahi bingung. Rambut curly merahnya berkibar-kibar diterpa angin.
“Iya, dan sehari itu Ken tidak menjelaskan apa pun. Dia kembali pergi ke kantor dan aku di rumah sama Poppy.” Mata Relisha berkilat-kilat membuat Soraya ngeri.
“Terus?”
“Poppy susah banget diatur. Dia cuma mengurung diri di dalam kamar. Anaknya emosian ya?”
“Poppy berubah sejak orang tuanya pisah. Dulu, dia anak yang manis dan tidak terlalu penurut sih.”
“Haduh! Kuliah belum beres suruh ngurusin anak orang.” Gerutu Relisha.
“Eh, tapi beneran si Ken ngomong kamu calon istrinya di depan Poppy?” Soraya bertanya dengan mata menggoda.
Relisha mengangguk.
“Kamu tidak menanyakan hal itu ke Ken?”
Relisha menggeleng.
“Aduh, kalo beneran itu tandanya rejeki nomplok, Rel. Ken itu tampan, kaya, dan dia itu maunya istrinya fokus sama keluarga makanya dia dan Olivia pisah, Olivia kan maunya jadi aktris. Dan sekarang dia menikah sama produser film.”
“Aku tidak kenal Ken, mau dia tampan, kaya atau pangeran sekalipun aku nggak peduli! Ini masalahnya aku nggak kenal dia—gimana kalau dia punya dua kepribadian?”
Soraya membelalak mendengar perkataan Relisha.
“Ken pas ketemu aku di kantor itu dingin dan angkuh banget. Pas ada putrinya dia lumayan ramah. Meskipun di dalam mobil kita semua cuma diem-dieman. Atau yang lebih parah Ken psikopat? Punya penyimpangan seksual kaya di film—“
“Rel, Ken itu sepupu aku. Aku kenal dia.” Soraya agak tersinggung juga mendengar perkataan negatif yang tidak-tidak dari Relisha. “Mending kita bicarakan soal ini di kantin kampus aja. Males lihat cewek-cewek sok kaya itu!” Soraya menunjuk ketiga wanita yang berpenampilan super modis. Rambutnya berkibar-kibar. Lipstiknya merah menyala.
Relisha menatap ketiga cewek itu sekilas. “Temen kelas kamu?”
Soraya mengangguk.
“Soraya,” seorang pria berwajah oriental dengan kelopak mata ganda, hidung bangir dan kulit seputih s**u menyapa Soraya.
“Hei, Daniel.”
Relisha dan pria itu saling pandang beberapa detik sebelum Daniel kembali memfokuskan diri pada Soraya.
“Aku titip ini ya,” Daniel memberikan sebuah buku tebal dengan isi halaman sekitar 700-an halaman yang membuat Soraya terkejut karena beratnya mungkin melebihi berat badan dirinya.
“Ini, boleh aku pinjem?”
Daniel mengangguk. “Dijaga jangan sampai rusak.” Kata Daniel sambil tersenyum.
Relisha tidak bisa mengedipkan matanya saat menatap pria muda dengan wajah dan style yang sangat-sangat cute. Dia tinggi dan lumayan berisi dengan rambut hitam model fringe. Ditambah lesung pipitnya yang sangat manis.
“Oke, aku duluan ya.” ujarnya pada Soraya.
Daniel sempat melirik ke arah Relisha dan tersenyum hingga lesung pipit itu terlihat jelas di mata Relisha. Relisha membalas senyum Daniel ala kadarnya sebelum pria muda itu pergi.
Ketiga wanita yang tampak bar-bar menatap sinis Soraya dan Relisha.
“Ayo pergi, Rel.” Soaraya menarik Relisha menuju kantin.
Sembari menghabiskan semangkuk bakso, Soraya terus mencerocos soal ketiga wanita gila itu.
“Dan yang paling parah mereka suka ngutang buat bisa beli gadget terbaru.” Katanya.
“Duh, aku nggak penasaran soal tiga cewek itu, Aya. Aku mau tahu Daniel itu temen sekelas kamu?”
Soraya mengangguk cepat. Daniel adalah salah satu topik pembicaraan favoritnya untuk dibahas dengan siapa pun.
“Dia itu pria paling favorit sepanjang masa di angkatan aku. Tampan, pinter, kalem dan pendiem. Nggak neko-neko. Asli! Favorit banget!” Soraya mengangkat kedua jempolnya.
“Awalnya aku cuma iseng lho nanyain soal buku dan pura-pura minjem, eh, dikasih beneran hehe.”
“Dasar!”
Soraya masih nyengir. “Kamu nggak kuliah, Rel?”
“Aku pindah ke kelas karyawan biar bisa full ngasuh Poppy.”
“Bagus!” Soraya kembali mengangkat kedua jempolnya ke atas. “Eh, tapi nanti kita jarang ketemu ya.”
“Waktu aku di kelas reguler juga kita emang jarang ketemu kan?”
“Hehe, iya sih. Jadi, gimana soal Ken? Apa perlu aku yang nanya?”
Relisha menggeleng. “Kayaknya dia itu Cuma...”
“Cuma apa?”
Relisha menarik napas perlahan. “Untuk menyenangkan Poppy. Jadi, aku nangkepnya, Poppy ingin ibu baru dan Ken Cuma pra-pura bilang kalau aku calon istrinya di depan Poppy.”
Ponsel Relisha berdering. Tertera nama di layar.
Bos Ken!
***
Poppy selalu suka karakter Hermonie Granger di film Harry Potter. Dia suka semua karakter film Harry Potter tapi yang paling jadi favoritnya adalah Harmoni Ganger. Dan Poppy memang agak mirip seperti Harmoni. Pintar, kritis dan menyebalkan bagi nyaris semua teman kelasnya dan gurunya. Saking kritis dan menyebalkannya Poppy, gurunya pernah sering menyuruh orang tuanya datang meskipun yang datang adalah pengasuh-pengasuh Poppy. Poppy selalu dicap sebagai anak yang berbeda. Berbeda karena ‘terlalu dewasa’. Ya, saat anak-anak seusianya tertarik menonton kartun, Poppy tertarik membaca novel-novel bergenre berat dan dewasa. Dia juga suka membaca berita dari yang berita ringan hingga tentang p*******a.
Relisha menarik napas panjang setelah mencerna semua perkataan wali kelas Poppy. Relisha memandang tumpukan kertas yang menggunung dan menghabiskan satu buku.
“Saya tahu Poppy ini temperament, tapi memukul seorang anak laki-laki sampai hidungnya berdarah hanya karena bukunya digunting itu keterlaluan.” Kata wali kelasnya yang seakan-akan anak laki-laki itu putranya yang lemah.
Relisha mengalihkan tatapannya ke arah Poppy dengan sangat marah. Poppy tampak acuh tak acuh. Dia menyilangkan tangannya di atas perut, menatap tajam wali kelasnya seperti ada dendam kesumat di antara keduanya.
“Buku itu penting bagiku. Buku itu memang jelek tapi pemberian almarhum kakek.” Poppy berkata dengan wajah angkuhnya.
“Kamu tidak mau meminta ma’af pada anak yang berdarah itu?” tanya wali kelas menatap jengkel Poppy.
Poppy menggeleng. wajahnya menampakan ketidaktakutannya pada wali kelasnya. Lebih ke menantang. Dia masih mengendalikan diri karena tahu kalau orang luar akan menyebutkan sinting kalau sampai mengajak wali kelasnya adu jotos di ring tinju.
“Lihat sendiri kan bagaimana anak ini bersikap dan bertindak. Tolong katakan pada ayah dan ibunya tentang putrinya ini. Saya tidak bisa mempertahankan anak yang terlalu nakal.”
“Saya bukan pengasuhnya.” Relisha berkata dengan nada yang terkendali meskipun dia ingin sekali menyemburkan semua amarahnya.
Ken memang benar-benar ayah yang tidak bertanggung jawab. Bagaimana bisa putrinya seliar ini? Dia menyerahkan semua tugasnya kepada pengasuhnya itulah sebabnya semua pengasuh Poppy memilih untuk mengundurkan diri.
Poppy tahu semua orang tidak akan mau membelanya kecuali ayahnya, almarhum kakeknya dan neneknya. Hanya tiga orang itu. Olivia pernah menghadap wali kelasnya karena masalah Poppy yang melempar tas seorang anak kecil yang membuang tas Poppy ke dalam tong sampah. Poppy tidak akan melakukan tindakan apa pun kalau tidak ada yang memulai.
“Saya calon ibunya.” Relisha memberitahu. Diam-diam dia menggigit bibir bagian bawah menimbang-nimbang apakah tepat apa yang dikatakannya. Padahal Ken jelas hanya memintanya mengasuh sang putri.
Sang wali kelas berkacamata itu menatap Relisha dengan tatapan menilai. “Oh, calon ibu. Syukurlah akhirnya anak nakal ini memiliki ibu lagi setelah ibunya saja menyerah akan kenakalannya.”
Relisha mengangkat sebelah sudut bibirnya ke atas.
“Nah, Poppy,” wali kelas itu mengarahkan tatapannya pada Poppy setelah puas menilai Relisha. “Kamu harus minta ma’af pada Aksan karena menyebabkan hidungnya berdarah.”
“Apa Aksan akan meminta ma’af padaku karena menggunting bukuku?” Poppy bertanya menantang.
Wali kelasnya membuang napas lelah. Dia mengangkat guntingan kertas itu dengan murka. “Ini hanya sebuah buku, Poppy!”
“Tapi, itu sangat berharga untukku!” Poppy membalas tak kalah murka.
“Lihat, kan, kelakuan anak tiri Anda.”
Relisha melirik Poppy. Dia ingin menyemburkan amarah yang sedari tadi ditahannya. Tapi sampai saat ini dia masih bisa mengendalikannya.
“Paksa anak tiri Anda untuk meminta ma’af pada Aksan.” Pinta wali kelas itu keukeuh.
“Apa luka di hidung Aksan parah?” tanya Relisha berusaha bersikap tenang.
“Darah dari lubang hidungnya keluar, apa Anda pikir itu tidak parah?”
“Darah dari lubang hidungnya keluar setelah dua menit aku memukulnya.” Sanggah Poppy.
“Jangan membela diri.” Kata wali kelas sengit.
“Dimana Aksan sekarang?”
“Dia pulang ke rumahnya dijemput ayahnya. Kenapa Anda menanyakan Aksan?”
“Lalu, maksud Anda Poppy harus meminta ma’af dengan mendatangi rumah Aksan?”
“Ya! Dengan saya.” Katanya. “Jadi, Poppy, sekarang juga kamu harus ikut ke rumah Aksan untuk meminta ma’af.”
Poppy kembali menggeleng.
“Lihat—“
“Kenapa Anda memaksa putri saya untuk meminta ma’af?!” Relisha memelotot tajam pada wali kelas yang terkejut akan nada amarah dari calon ibu tiri muridnya.
Poppy menoleh cepat saat nada tinggi bicara Relisha menyita perhatiannya. Bukan hanya itu, kalimat Relisha juga menghangatkan sudut hati Poppy yang terluka karena pemberian berharga dari almarhum kakeknya sebelum sang kakek meninggal hancur karena digunting Aksan.
“A-apa maksud Anda? Ini cara kami mendidik murid-murid—“
“Poppy tidak mau meminta ma’af tapi Anda memaksanya untuk meminta ma’af pada bocah lemah yang hanya karena pemukulan oleh seorang anak kecil perempuan bisa berdarah sedangkan Anda tidak menyuruh anak laki-laki itu untuk meminta ma’af pada Poppy!”
Sontak meja wali kelas berkacamata itu menjadi pusat perhatian para guru lainnya.
“Bagi Anda apa yang dilakukan Aksan itu sepele tapi apa yang dilakukan Poppy itu kesalahan besar begitu kan?” Relisha kali ini benar-benar marah. Ini semacam ketidakadilan bagi Poppy.
“Saya sudah mengenal Poppy sejak setahun yang lalu dan saya tahu bagaimana—“
“Anda membela diri Anda sendiri dan selalu menyalahkan putri saya.”
Kata ‘putri saya’ yang kembali terdengar oleh Poppy kembali menghangatkan sudut hatinya.
“Anda ini sebenarnya wali kelas atau ibunya Aksan sih?” Relisha kembali menghujani wali kelas Poppy dengan pertanyaan sarkastiknya.
“Anda!” dia menunjuk Relisha dengan telunjuknya. “Saya mengeluarkan Poppy dari sekolah ini.” katanya dengan mata memelotot tajam pada Relisha.
“Ya, silakan!” Relisha berkata tegas hingga membuat wali kelas itu menegang. “Poppy tidak layak sekolah di sekolah tempat dimana wali kelasnya tidak bisa berlaku adil!” Napas Relisha terengah-engah, dia tidak berkedip sekalipun pada wali kelas Poppy.
“Ayo, Poppy, kita pulang.” Kata Relisha sebeum mengangkat pantatnya dari kursi kayu.
Poppy memasukkan tumpukan kertas bekas guntingan dari atas meja ke tasnya sebelum berdiri.
“Oh ya, untuk urusan soal hidung berdarah Aksan akan kami ganti biaya pengobatannya.” Relisha menggandeng tangan Poppy dan membawanya keluar dari ruangan yang panas dan sumpek.
Poppy yang keras kepala merasa tersentuh akan sikap berani Relisha. Dia pikir Relisha tidak akan membelanya dan ikut memaksanya untuk meminta ma’af pada Aksan.
Dua anak laki-laki yang berjalan tertawa-tawa riang.
“Aksan memang payah. Aku pikir darahnya memang karena pukulan Poppy tapi ternyata dia memang lagi mimisan.” Anak laki-laki satunya berkata sambil menahan tawa.
Relisha dan Poppy berhenti sejenak. Mereka saling memandang satu sama lain setelah mendengar celotehan anak laki-laki itu.
***