Chapter Empat Belas

2245 Kata
        Badan Aster bergetar hebat saat melihat tubuh Carles yang masuk ke dalam tubuh belut raksasa di hadapannya. Tentu saja dia merasa takut, tapi amarah yang muncul jauh lebih besar dari semua itu. Kini dia bertekad untuk membunuh monster yang menghalangi perjalanannya tersebut. Begitu pula dengan Erik yang merasa harus membalaskan dendam sang sahabat.         Erik meminta Alby mengendarai pesawatnya ke arah yang berlawanan dengan posisinya sekarang. Dia bermaksud menjadikan mata kiri belut tersebut sebagai sasaran dari anak panahnya. Dalam sekali percobaan, lagi-lagi anak panah Erik tertancap sempurna, tepat pada mata monster yang kini sudah tidak bisa melihat lagi.         “Bagus, Erik!” ucap Aster pelan. Dia memandangi pedangnya yang memantulkan bayangan dirinya. Beberapa saat dia berpikir dan segera menyimpan benda tersebut kembali ke dalam tempatnya. Aster memilih untuk menggunakan benda lain yang ada. Dua buah granat dikeluarkan dari dalam kotak. “Okta, apa kamu bisa membawaku ke dekat mulut monster itu?”         “Bisa saja, tapi itu sama dengan bunuh diri,” komentar Okta setelah mendengar sebuah pertanyaan gila baginya.         “Lakukan saja!”         Kali ini Okta baru sadar kalau ternyata Aster tidak sedang main-main. “Baiklah,” jawabnya singkat. Dia langsung mengerti bahwa perkataan gadis tersebut tidak akan bisa dibantah.         Monster di hadapan Aster kini hanya bisa menggeliat-geliat kesakitan. Dia sudah tidak bisa melakukan apa-apa lagi selain meronta tak karuan. Gerakannya tidak dapat diprediksi. Jika pesawat terbang terlalu dekat, bisa saja langsung terkena hantaman belut raksasa itu tanpa sempat menghindar.         Raungan yang sangat nyaring terdengar menggema di udara, sedikit membuat kaca di sekelilingnya bergetar. Johan mengorek-ngorek lubang telinganya yang berdenging karenanya. Aster terlihat waspada, tidak terlihat takut pada apapun, kecuali terhadap satu hal. Dia sedikit khawatir akan ada monster lain yang terpanggil akibat teriakan kawannya itu.         Air laut beriak seiring dengan gerakan makhluk yang meronta di dalamnya. Sesekali si belut melayangkan serangan menggunakan ekornya. Okta harus berkonsentrasi menghindari serangan tersebut. Untung saja dia seorang pilot yang handal, serangan seperti apapun dapat dia hindari dengan mudah.         Sedikit demi sedikit, posisi pesawat dan kepala si monster semakin berdekatan. Keringat mulai membasahi tubuh Okta meski angin di sekitar terasa sejuk. Sehebat apapun dia mengemudikan kapal, tapi tetap saja dia tidak bisa bertindak terlalu nekat. Menghabiskan waktu terlalu lama di dekat sang monster sama saja dengan memeluk sebuah bom yang dapat meledak kapan saja, pikirnya. “Aku tidak bisa bertahan terlalu lama.”         “Tidak apa-apa. Aku hanya memerlukan waktu tiga detik,” sahut Aster mantap.         Posisi pesawat kini sudah sangat dekat dengan lubang mulut sang monster. Aster bersiap menarik katup dari kedua granat dalam genggaman. Lalu melemparkan keduanya ke dalam mulut si monster. Hampir saja dia ikut masuk ke dalam sana kalau Johan tidak dengan cepat menarik badannya ke belakang.         “Mundur!” teriak Aster.         Okta bergegas menambah kecepatan pesawat, menjauh dari mara bahaya. Sekaligus menghindari ledakan yang sesaat lagi akan terjadi. Beberapa detik kemudian, terdengar dentuman dari dalam perut si belut. Ledakan kedua membuat perutnya hancur. Monster tersebut meraung dengan sangat keras untuk terakhir kalinya, lalu terkapar, tenggelam perlahan ke dalam air. Lautan menelan tubuh besarnya dengan cepat. Hanya menyisakan warna kemerahan yang membaur di tengah airnya.         Aster terduduk lemas di atas bangku pesawat yang sudah tidak bergerak. Sang pilot butuh waktu untuk menghilangkan ketegangan yang sempat menjalari tubuhnya. Dalam seketika, keadaan menjadi begitu tenang. Sangat berbeda dengan beberapa saat sebelumnya. Permukaan laut sudah mulai mengalun pelan seperti biasanya. Tapi perasaan mereka semua tidak bisa menjadi setenang itu, karena ada hal yang tidak akan pernah bisa kembali lagi.         Erik terduduk dengan kasar ke atas kursinya. Menunduk sembari memegangi kepala dengan kedua tangan. Dia merasakan kekesalan dan kesedihan karena merasa tidak bisa melindungi temannya. Padahal dia sudah tidak ingin lagi merasakan kepedihan saat harus melepas kepergian seorang teman seperti tempo hari.         Tentu saja bukan hanya orang, semua orang, terutama Aster sendiri merasakan kepedihan yang sama. Mereka ingin sekali menangis dan sangat marah meski tidak tahu harus dilampiaskan kepada siapa.         Warna kemerahan pada permukaan laut perlahan menghilang. Tapi, kini rona kemerahan yang hampir serupa semakin terlihat jelas pada wajah Aster.         “Kamu baik-baik saja?” tanya Okta dengan hati-hati. Meski dia tidak tahu seperti apa perasaan yang saat ini sedang dirasakan oleh gadis tersebut, tapi dia berusaha memahaminya.         Aster tetap diam tanpa bersuara sedikitpun.         Waktu terus berjalan, namun keadaan masih sehening sebelumnya. Tidak ada satupun yang berani berbicara, terutama pada Aster yang begitu jelas sedang merasakan keterpukulan yang dahsyat. Bianca mengelus punggung Erik pelan, lelaki itu menanggahkan wajahnya setelah menelan dalam-dalam kesedihan dalam hatinya. Dia menoleh, sedikit tersenyum kepada sang kekasih yang terlihat ingin menyampaikan sesuatu. Tentu saja dia langsung mengerti setelah melihat Bianca yang menoleh ke arah di mana Aster berada. Wajah gadis tersebut masih terus memancarkan aura kepedihan. Kehilangan seorang teman bukanlah hal kecil yang dapat dilupakan begitu saja. Namun, di satu sisi Erik tahu resiko yang harus ditelan saat menjalankan misi seperti ini.         Pesawat Erik datang mendekat ke arah Aster. Gadis itu menoleh dengan mata berkaca-kaca. “Bukankah lebih baik jika kita bergegas melanjutkan perjalanan?” ucap Erik.         Aster mengangkat wajah, melihat ke arah lelaki tersebut dengan sorot wajah penuh rasa bersalah. “Erik, maaf...”         Erik hanya menghela napas panjang, seakan berkata ‘sudah kuduga,’ dalam hati. “Dengar, kami ada di sini untuk melaksakan misi bersamamu! Semua sudah tahu resiko seperti apa yang mungkin ada. Jika kita tidak siap untuk menghadapinya, saat ini kamu hanya akan pergi seorang diri. Kami sudah siap dengan semua kemungkinan yang bisa saja terjadi, begitu juga dengan Carles. Jadi, kamu tidak perlu menyalahkan dirimu sendiri.”         “Jangan menghakimi dirimu sendiri, Aster,” tambah Bianca sembari tersenyum.         Aster memandangi wajah teman-temannya yang lain. Mereka semua mulai  tersenyum satu persatu. Mulai sadar bahwa perjalanan mereka mungkin masih panjang. Dan waktu yang ada terlalu sayang jika digunakan hanya untuk bersedih.         “Senyum!” Ethan berkata tanpa bersuara, membuat Aster terpancing untuk turut menebar senyuman manisnya.         “Siap berangkat, komandan?” Johan menepuk pundak gadis di sampingnya.         Aster diam beberapa saat untuk menenangkan perasaan dan mengembalikan semua semangat berpetualangnya yang sempat hilang.         “Semua bersiap dalam kapal masing-masing. Kita lanjutkan perjalanan!”         “Aye!”         Pesawat yang ditumpangi Aster melaju paling awal. Melewati gerbang lebar yang berjarak sekitar sepuluh meter dari tombol pembukanya. Entah kenapa benda tersebut disimpan begitu jauh, mungkin si pencipta memiliki masksud tersendiri.         Masing-masing pesawat mulai menaikkan kecepatan. Melesat pada langit di luar sangkar kaca. Bentangan lagit biru serta hamparan lautan yang mengalun pelan masih sama indahnya dengan sebelumnya. Tapi, Aster merasa cakrawalanya terbentang tanpa ada yang menghalangi. Pantas saja selama ini dia selalu merasa terkurung di dalam sesuatu. Kini dia sudah mengetahui penyebab dari timbulnya perasaan itu.         Setelah diperhatikan, ternyata memang benar, tempat tinggal mereka berada di dalam sebuah kaca tebal yang berbentuk setelah bola. Semakin meyakinkan setelah benda transparan tersebut bergeming akibat tabrakan monster tadi. ‘Mungkinkah benda itu dibuat untuk melindungi tempat di dalamnya?’ pikir Aster. Akan tetapi, sejauh mata memandang, langit di luar sana tampak sangat cerah. Tidak nampak tanda-tanda bekas dilanda bencana ataupun ancaman apapun.         Tapi, setidaknya Aster merasa lega. Dia bersyukur karena sepertinya bumi sudah mulai kembali seperti semula. Mungkin waktu telah berhasil melenyapkan sisa-sisa hasil kejadian menyeramkan dahulu. Menyembuhkan luka yang sempat ditorehkan oleh para manusia tidak bertanggung jawab. Kini, dia semakin bertekad untuk bisa menjaga keindahan tersebut agar anak cucunya kelak masih dapat merasakan hal serupa.         Andai kamu dapat merasakan semua ini Edy. Atau justru kamu sudah tahu lebih dulu daripada aku?         Aster terlena pada kenikmatannya sendiri. Memejamkan mata sembari merasakan elusan angin pada rambut panjangnya yang berkibar. Menikmati angin segar yang ampuh mengusir kegundahan dalam hatinya.         Di saat yang sama, Johan berbicara dengan nada penuh keseriusan. “Kamu pasti ingin melihat ini, Aster,” katanya.         Gadis yang namanya disebut langsung menolehkan kepala ke samping. Dilihatnya si lelaki bermata sipit tengah berdiri di atas lututnya, memandang ke arah belakang. Mata Jo terfokus kepada satu titik, bibirnya tersenyum entah karena apa. Dia tampak terkesima karena sesuatu yang entah apa.         “Ada apa, Jo?” tanya Aster heran.         “Kau harus melihatnya sendiri!”         Rasa penasaran tidak pernah gagal untuk menyuruh Aster melakukan apa saja. Tanpa pikir panjang lagi, dia bergegas menoleh ke belakang. Ke arah yang sedang dipandangi oleh Johan. Tentu saja dia pun ingin mengetahui hal apa yang membuat temannya itu seakan berubah menjadi patung. Dan kini, ekspresi yang sama turut muncul dari wajah Aster. “Hah?” Dia tertawa seakan tidak percaya. “Tidak mungkin!”         Kini matanya turut terbelalak. Dia terkesima kepada sesuatu yang tidak ada. Ya, dia dikejutkan oleh sesuatu yang seharusnya ada, tapi kini menghilang di depan matanya.         ‘Bagaimana mungkin kaca sebesar itu bisa menghilang begitu saja?’ pikir Aster dalam hati.         Aster mengucek matanya pelan menggunakan jari telunjuk. Hampir merasa khawatir bahwa ada sesuatu yang salah dengan matanya. Semua tampak seperti mimpi. “Astaga... tolong pukul aku!” ucapnya pada diri sendiri.         Tiba-tiba, Johan melayangkan pukulan ada lengan Aster. Tidak keras, namun cukup membuatnya mengaduh. “Apa yang kamu lakukan, Jo?” bentaknya sambil mengelus lengan yang sedikit sakit.         “Bukankah kamu sendiri yang memintanya?”         “Aku hanya sedang bergumam, dipukulnya pelan lengan kanan Johan karena merasa gemas. “Berharap tidak sedang berhalusinasi,” sekali lagi pukulan mengenai punggung. “Bukan benar-benar meminta dipukul!” dan terakhir mengenai bahu si lelaki sipit itu.         Kedua orang tersebut tertawa bersama. Kemudian kembali memandang ke arah semula. Memperhatikan benda yang sebenarnya tidak menghilang, melainkan tetap ada namun tidak dapat dilihat.         Sebuah hologram membuat semua tempat yang ada di dalam ruangan kaca menjadi tidak tampak. Kini seakan tidak pernah ada apapun di sana. Sejauh mata memandang hanya hamparan laut membirulah yang terlihat.         Aster sangat yakin dengan teori mengenai hologram tersebut. Karena dia masih bisa melihat pemandangan sebenarnya melalui gerbang yang perlahan makin mengecil. Tampak sedikit berbeda dengan yang ada di luarnya.         “Ada sesuatu?”         Aster membenarkan posisi duduknya, menghadap ke arah semula. “Tidak ada,” jawabnya pada Okta.         “Tidak ada? Kedengarannya kalian antusias sekali di belakang sana.”         “Maksudku benar-benar tidak ada.”         Okta mengerutkan alis pertanda tidak mengerti. “Maksudnya?”         Aster sedikit memajukan duduknya. Kedua sikutnya bertopang pada bangku di bagian depan pesawat. Bersiap untuk menjelaskan sesuatu yang begitu menakjubkan baginya.“Kamu tahu, seharusnya kita masih bisa melihat kepingan dari Dione bukan? Ya, meskipun pasti akan sangat kecil. Tapi, ternyata kurungan kaca itu kini membuatnya tidak nampak! Kita tidak bisa melihat apapun dari sini!”         “Kenapa bisa seperti itu?”         “Mungkin ada sesuatu yang belum kita mengerti.” Perasaan antusias seketika berubah menjadi perasaan kecewa.         “Sepertinya kaca itu memiliki sebuah hologram yang hanya merefleksikan pemandangan laut tanpa kota-kota yang ada di atasnya. Seperti... sengaja disembunyikan,” Johan menambahkan.         “Disembunyikan untuk apa?” Okta kembali bertanya untuk kesekian kalinya.         “Kenapa tidak kamu tanyakan saja nanti pada orang-orang dari Orion itu?”         Aster terdiam sesaat mendengar nama tersebut disebut. Dia mulai merasa khawatir untuk melanjutkan misi kali ini. Rasa takut akan keberadaan sesuatu bernama Orion seakan mulai membesar. Aster berpikir, jika mereka bisa menciptakan sesuatu yang sangat canggih, itu berarti kemampuan orang-orang itu tentu jauh lebih tinggi dibandingkan orang terpintar di Oakland sekalipun.         Ingin rasanya dia memerintahkan Okta untuk berbalik arah dan pulang. Tapi, hal tersebut mustahil dilakukan. Selain akan mengundang kemarahan banyak orang, tentu saja bisa membuatnya merasakan sesal seumur hidup.         “Ngomong-ngomong,” Alga membuyarkan lamunannya. “Sejauh apa kamu mengenal sesuatu bernama Orion itu?”         “Umm, tidak banyak. Hanya sebatas yang kamu tahu. Sebatas itu juga yang aku tahu.”         “Lantas, apa rencanamu setelah menemukannya?”         Apa yang akan kulakukan... apa yang akan kulakukan? Kenapa aku sama sekali tidak bisa menjawab  pertanyaan itu? Kenapa juga Alga harus menanyakannya. Tapi, memang benar, siapapun pasti akan penasaran kenapa aku sangat ingin mengungkap mengenai hal ini.         “Sejujurnya, aku sama sekali belum memikirkannya.” Kegalauan turut menyeruak dari dalam hati Aster.         “Mungkin kamu harus segera mengambil keputusan, karena hal itu berkaitan dengan tujuan dari misi ini.”         “Iya...”         “Tapi,” Okta turut bersuara dalam diskusi mereka. “Jika aku menjadi kamu, memang tidak akan bisa mengambil keputusan sebelum mendapatkan kejelasan mengenai Orion, atau apalah itu. Jadi, tenanglah dulu untuk sementara ini, komandan. Tidak perlu memaksakan otakmu untuk bekerja keras memikirkan hal yang belum jelas.”         Aster tersenyum mendengar penjelasan yang lebih terasa seperti sebuah pembelaan. Mungkin Okta sadar perkataan Alga sedikit mengintimidasi Aster, meski dia tidak bermaksud seperti itu tentunya.         “Ya... aku hanya memberi saran,” timpal lelaki yang duduk di samping pilot itu.         Okta tertawa kecil. “Tapi tetap, kamu harus bersiap dengan segala hal yang mungkin sedang menanti kita sekarang. Seorang pemimpin harus bisa mengambil keputusan yang cepat.”         Sepertinya, semakin lama Okta semakin tidak memiliki perbedaan dengan saudara kembarnya. Tak lama lagi mungkin saja bisa membuat Aster benar-benar percaya bahwa dia adalah Edy yang sedang berpura-pura menjadi orang lain. Tersenyum kepadanya, padahal dalam hatinya tertawa karena berhasil membodoh-bodohi Aster.         “Iya, tentu saja.” Aster membuang napas dengan keras. Menyandarkan punggungnya pada kursi. “Sepertinya aku masih belum bisa menjadi pemimpin yang baik seperti Edy,” ucapnya spontan.         “Siapa yang bisa mengimbangi orang itu?” sahut Alga.         Aster tertawa. “Kamu benar. Aku pernah berpikir bahwa dia memang terlahir untuk menjadi seorang pemimpin.”         “Sosok pemimpin yang sangat aku kagumi,” Johan turut berbicara.         Mereka bertiga terlena dalam suasana saat membicarakan ketua kelompok junior tersebut. Rasanya tidak pernah bosan mereka membicarakannya. Mungkin karena Edy merupakan sebuah sosok yang sangat disukai banyak orang, sehingga keberadaannya tak akan pernah terlupakan begitu saja oleh siapapun.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN