Chapter Tiga Belas

2392 Kata
        Ethan berusaha menghilangkan rasa pusing yang hinggap pada kepala. Tapi dia lebih khawatir dengan keadaan gadis di hadapannya yang tampak lebih kesakitan. “Kamu tidak apa-apa, Aster?”         Aster menoleh ke arah belakang dengan lemas. Tangannya memegangi kepala yang mulai mengeluarkan darah.         “Kamu berdarah!”         “Tidak apa-apa, Ethan. Aku hanya sedikit pusing.”         Lelaki itu mengeluarkan sapu tangan dari dalam saku celana. Memberikan benda tersebut kepada Aster untuk dijadikan sebagai penekan luka.         Pesawat lainnya mulai terbang rendah, menuju ke arah Aster. “Kalian tidak apa-apa?” tanya Erik memastikan.         “Ya. Hanya saja pesawatnya...”         “Sepertinya kalian harus pindah.”          Tapi, akan ada satu orang yang tidak bisa terangkut.          Aster terdiam. Dia tidak akan meninggalkan siapapun dan memilih untuk memikirkan cara lain. Tatapan matanya seakan menjelaskan semua itu pada Erik tanpa suara. Tentu saja rekannya itu mengerti, hanya saja memilih untuk diam agar tidak perlu memberikan kecemasan pada yang lain.         Sementara memikirkan cara untuk bisa mengangkut semua orang dengan pesawat yang tersisa, Aster mulai mengamati sekitar. Pandanganya beralih ke arah kaca tebal di hadapannya. Dia menyentuh benda tersebut untuk memeriksa. Memukul-mukulkan kepalan tangannya untuk mengetahui seberapa tebal benda bening tersebut. “Kenapa benda ini bisa ada di sini?”         “Sepertinya kaca ini membentuk sebuah penutup,” ujar Johan yang berada lebih atas daripada pesawat Aster. “Entah setinggi apa. Atau mungkin memang benar-benar berbentuk seperti setengah bola.”         Aster menengadahkan kepalanya ke atas. Kemudian mengalihkannya kembali ke secarik kertas pemberian Josh. “Mungkin benda ini maksud dari lingkaran besar yang ada dalam peta.”         “Itu berarti kita memang benar-benar sedang berada di dalam sebuah kurungan,” Ethan menambahkan.         “Ya. Kurungan yang sangat besar.”         “Apa yang harus kita lakukan sekarang, Aster?” Natasha berdiri di atas pesawatnya.         “Sekarang kita harus melewati kaca ini. Pasti ada sebuah gerbang yang tersembunyi di sekitar sini. Seperti apa yang dikatakan dalam peta.” Aster berbicara dengan nada yang lebih tinggi agar suaranya bisa didengar oleh semua orang. “Untuk sekarang, kita harus segera menemukan sebuah gerbang yang seharusnya ada di sekitar sini. Susuri dan periksa tiap bagian dari kaca ini. Jangan sampai ada yang terlewat!” kepalanya sedikit berdenyut akibatnya.         Tiga pesawat yang masih berfungsi terbang perlahan menyusuri dinding kaca. Mereka mengamati tiap jengkal dari kaca yang ada. Sementara Aster hanya bisa mengamati dari kejauhan karena pesawatnya tidak bisa lagi diharapkan.         Sesaat Aster merasa pesawatnya sedikit terhuyung. Sepertinya luka pada kepalanya semakin bertambah parah, pikirnya. Dia berpegangan agar tidak terjatuh, dan memilih untuk duduk pada bangkunya.         “Apa gerbang itu benar-benar ada?”         “Aku yakin pasti ada, Ethan. Tidak mungkin benda ini tiba-tiba terbentuk dengan sendirinya. Pasti ada yang membuat semua ini.”         “Orion?”         “Kemungkinan besar memang mereka.”         “Bagaimana jika ternyata mereka membuat kaca ini untuk melindungi kita dari ancaman yang ada di luar sana?”         Aster sedikit berpikir bahwa kata-kata Ethan bisa jadi benar. Tapi pikirannya masih memiliki pendapat lain. “Entah kenapa aku yakin mereka ada di luar sana. Karena…” kata-katanya mendadak terhenti karena bingung akan mengatakan apa.         Pesawat Tony menghentikan lajunya. Kini si pilot berdiri dan berusaha meraih sesuatu di permukaan laut dekat kaca. Aster tidak bisa melihat apa yang sedang lelaki itu ambil. “Apa yang kamu lakukan Tony?” dia berteriak karena jarak mereka berdua memang cukup jauh.         Sebelum sempat menjawab, sesuatu tampak muncul dari dalam laut. Sesaat yang lalu sebenarnya Tony telah menekan sebuah tombol yang sedikit tersembul pada permukaan air. Tombol tersebut menempel pada kaca, namun letaknya sejajar dengan permukaan laut. Membuat keberadaannya tidak mudah disadari.         Tony sedikit terkejut karena suara riakan air tiba-tiba terdengar di dekat kapalnya berada. Dia kira seekor monster laut baru saja terbangun berkat kegaduhan yang mereka buat. Tapi ternyata, benda yang berbentuk seperti lift besi menampakkan wujudnya. Luas permukaan benda tersebut hanya bekisar sekitar tiga ratus enam puluh meter persegi. Mungkin hanya dapat ditempati oleh satu atau dua orang saja. Selain itu, pada salah satu sisinya terdapat besi panjang yang menjadi tempat bertenggernya sebuah tombol misterius.         Tentu saja Tony yang merasa penasaran segera berniat untuk melakukan sesuatu. “Tolong pegangi ini!” Dia mengoper helm miliknya ke tangan Simon.         “Kau mau apa?”         “Harus ada yang mengecek benda itu.”         Mellisa memandangi sang suami dengan wajah khawatir. Namun, tentu saja dia tidak bisa untuk melarang. “Hati-hati!” ujarnya.         Tony menggulung lengan bajunya sebelum bergegas mengambil ancang-ancang. Setelah menghitung mundur, dia akhirnya melompat menuju benda besi tadi. Sesaat perasaannya cukup tegang karena khawatir benda tersebut tidak cukup kuat untuk menahan berat tubuhnya. Tapi nyatanya tidak seperti itu, bahkan benda tersebut tidak terasa bergeming sedikitpun.         “Benda apa itu, Tony?” tanya Aster yang merasa penasaran sedari tadi. Dia ingin sekali melompat keluar dari pesawat untuk turut memeriksa. Tapi tentu saja jarak menjadi satu-satunya masalah, mengingat dia tidak mungkin berenang untuk bisa sampai di tempat itu.         “Aku tidak tahu. Tapi ada sebuah tombol di sini. Mungkin ini kunci dari gerbang yang sedang kita cari.”         “Kamu yakin benda tersebut bukan jebakan atau semacamnya?”         “Kuharap bukan.” Tony menyentuh pinggiran dari tombol yang ada. “Aku akan mencoba menekannya sekarang.”         “Hati-hati, Tony!” Aster berdoa dalam hati. Dia sangat berharap tidak ada sesuatu yang buruk terjadi setelah tombol tersebut ditekan.         “Sudah kutekan!” Tony segera membalikkan badan untuk memperhatikan keadaan di belakangnya. Dia pun segera memasang telinga agar tidak melewatkan semua hal yang terjadi.         Dua puluh detik telah berlalu. Keadaaan menjadi sangat tenang. Semua orang masih menunggu sesuatu yang tidak kunjung muncul.         “Apa kalian mendapatkan sesuatu yang berubah?” tanya Tony sembari mengangkat sebelah alis.         Alby segera memutarkan kepala juga badannya. Memperhatikan ke semua titik yang ada di depan matanya. Tapi, selain air laut yang bergelombang dan awan yang berarak, tidak ada apapun yang terjadi. “Mungkin tombol itu rusak?” komentarnya.         Baru saja semua orang berpikiran sama dengan si lelaki berambut pirang itu, suara khas dari sesuatu yang bergerak terdengar. Air mulai beriak di salah satu permukaan kaca yang ada. Tepatnya di tengah-tengah antara posisi Aster dengan teman-temannya yang lain.         Sebuah gerbang besar muncul perlahan. Beberapa bagian dari dinding kaca tampak bergerak, masuk ke dalam laut. Menyisakan ruang yang dapat mereka gunakan untuk pergi dari dalam sana.         “Sepertinya benda ini tidak rusak, Alby,” jawab Tony meski sudah sangat terlambat.         “Kita berhasil menemukan gerbangnya!” Johan berseru senang.         Senyuman kepuasan pun langsung tercuat pada bibir semua orang. Mereka tidak pernah menyangka akan mendapatkan sesuatu yang menakjubkan seperti itu. Tapi, tentu saja yang paling merasa senang adalah sang ketua misi. Aster ingin sekali berteriak dan melompat-lompat kalau saja dia tidak sedang berada di tengah misi. Alhasil, dia hanya bisa turut tersenyum sembari melirik ke arah Ethan. “Kita berhasil, Ethan! Dunia yang luas menanti kita di luar sana!”         “Selamat, Aster!” ucap lelaki itu sembari tersenyum.         Rasa syukur yang dipanjatkan nampaknya belum cukup untuk membuat mereka bisa melewati gerbang begitu saja. Perjalanan kali ini tidak bisa memberikan sesuatu dengan terlalu mudah. Aster tidak pernah mengira harus melalui sebuah kesulitan hanya untuk melangkah keluar dari kurungan kaca tersebut.         Belum lama waktu berlalu, ada benda lain yang juga turut bangkit dari dalam air. Sesuatu yang sangat besar dan menyeramkan. Benda tersebut muncul dari balik lautan yang ada di belakang pesawat Aster.         Carles menjadi orang pertama yang sadar akan penampakan menyeramkan di belakangnya. Dia tertohok sesaat sebelum menepuk pundak Aster. “Ki-kita kedatangan tamu,” ucapnya pelan. Seekor belut raksasa berwarna hitam dengan garis kuning berteriak nyaring. Kumis panjangnya melambai-lambai di udara. Taringnya mengilat tersiram cahaya matahari. Sorotan matanya seakan menusuk tajam ke arah Aster. Sepertinya kehadiran mereka tidak sengaja mengusik persemayaman monster tersebut.         Semua orang tertohok menyaksikan sosok raksasa tersebut. Badan mereka seakan mendadak membeku, tak bisa digerakkan lagi. Mata Aster masih terbelalak sejak beberapa saat lalu. Dia ingin segera berlari, tapi di sekelilingnya hanya ada lautan dan pesawatnya sudah tidak bisa diandalkan lagi. Sementara dia sendiri tidak mungkin memaksakan diri untuk berenang, karena pasti akan langsung berakhir di dalam lautan.         Erik menjadi orang yang paling pertama tersadar dari lamunan. “Cepat, kita harus membawa mereka bertiga sebelum monster itu mengamuk!” Dia memerintahkan Alby untuk segera menerbangkan pesawatnya         Tony pun bergegas melompat masuk ke dalam pesawat setelah melihat pesawat Alby mulai bergerak. Dia segera duduk, memasang sabuk pengaman, lalu mulai mengemudikan pesawat menuju ke arah Aster.         Hewan raksasa yang ada pun mulai melancarkan serangan. Dia mengibaskan ekornya sehingga membuat pesawat Aster terbanting akibat hentakan air laut. Aster, Carles, dan Ethan berpegangan pada sisi pesawat agar tidak terjatuh ke dalam air. Namun, posisi mereka saat ini menjadi semakin jauh dari keberadaan rekannya yang lain.         “Terlalu beresiko jika kita langsung mendekat ke sana,” ucap Tony.         Hal tersebut membuat Simon berpikir sejenak. “Sepertinya kita perlu menarik perhatian monster itu.”         “Ya. Kita buat belut itu pergi ke arah lain.”         Simon hanya mengangguk sebelum akhirnya mulai berteriak. “Erik! Okta! Aku akan mengalihkan perhatian monster itu!”         Kedua lelaki yang namanya dipanggil menengokkan wajah sesaat. Mereka pun mengangguk seraya mengerti. “Berhati-hatilah!” sahut Erik.          Tony sedikit membelokkan arah laju pesawatnya sembari mulai berteriak-teriak ke arah si monster. Mellisa, Simon dan Natasha pun mengikutinya. Pesawat mereka terbang ke arah yang lebih jauh dari lokasi Aster berada.         “Hei, kemarilah, belut! Lihat kami, hei!” Simon berteriak dengan sekuat tenaga. Akan tetapi, belut raksasa tersebut seakan tidak tertarik sedikitpun. Dia justru kembali berenang, mendekat ke arah pesawat Aster. Tampaknya dia mengerti mana mangsa yang sudah tidak berdaya dan lebih mudah untuk didapatkan.         Mulut monster tersebut terbuka lebar. Deretan gigi tajam berbaris rapi di dalamnya. Ethan menjadi yang pertama kali sadar bahwa hewan tersebut akan memberikan serangan. “Lompat ke dalam air!” perintahnya dengan sedikit berteriak.         Mendengar kata-kata Ethan membuat Aster melompat spontan ke dalam air, begitu pula dengan Carles. Mereka bertiga berhasil menghindar tepat waktu, sebelum gigi tajam sang monster melubangi badan mereka.         Pesawat rusak mereka kini berada di dalam mulut si monster, yang masih berusaha mengunyah benda keras tersebut. Namun, hal tersebut justru memberikan keuntungan karena kini mereka memiliki waktu untuk melarikan diri.         Ethan membantu teman perempuannya yang tidak bisa berenang. Gadis itu terlihat kepayahan, berusaha untuk tidak menelan terlalu banyak air. Luka pada kepalanya terasa perih karena harus terbasahi oleh air garam.         “Apa dia belum menyadari keberadaan kita?” Carles menghentikan renangnya sesaat untuk memeriksa ke arah belakang.         “Jangan berhenti!” teriak Ethan. Dia sendiri hanya terfokus untuk berenang sejauh-jauhnya dari sumber masalah.         Akan tetapi, biar bagaimanapun gerakan mereka sangat lambat jika dibandingkan dengan belut itu. Setelah melemparkan benda keras yang tidak sengaja termakan, dia segera kembali berenang. Tampaknya keberadaan sang mangsa yang mulai menjauh berhasil dia sadari.         Sementara itu, Erik masih tetap mencari celah agar bisa menolong teman-temannya tanpa mengambil resiko yang besar. Dia mulai bingung karena pesawat yang dia tumpangi itu tidak bisa berhenti dan bergerak secara mendadak. Jika dia tidak memperhitungkan waktu berhenti, mungkin monster yang ada bisa dengan mudah menyerangnya. Namun, jika dia tidak segera bertindak, mungkin ketiga temannya itu tidak bisa diselamatkan.         “Bagaimana ini, Erik?” Alby mulai khawatir bercampur bingung. Tentu saja semua orang pun merasakan hal yang sama.         Aster mulai panik karena sebentar lagi si monster akan kembali menyerang mereka. Bahkan dia tidak yakin bisa menghindar untuk yang kedua kalinya. Saat itu, belut raksasa masih berenang dengan lincahnya. Saat keberadaannya sudah mulai dekat dengan santapan siangnya, dia menegakkan badan. Mulutnya terbuka lebar, siap menelan tiga orang yang bergerak terlalu lambat.         Saat menyadari serangan yang datang, Ethan menyuruh Aster untuk menahan napas dan membawanya menyelam ke dalam laut. Aster segera memejamkan mata, tangannya memeluk erat badan Ethan. Dia tidak bisa melihat apapun, hanya berusaha percaya pada lelaki yang seakan tengah memegang nyawanya.         Si monster yang merasa kehilangan dua mangsanya kini sibuk untuk mendapatkan satu mangsa yang tersisa. Carles berenang secepat mungkin untuk menghindar. Hanya saja dia tidak akan bisa mengalahkan kecepatan sang hewan yang lebih lama hidup di dalam air dibanding dirinya. Belut raksasa itu berkali-kali berusaha menangkapnya menggunakan gigi-gigi tajamnya. Beruntungnya, tiga kali serangan berhasil Carles hindari. Sayangnya dia gagal menghindari serangan selanjutnya. “Tolong!” teriak lelaki tersebut.         Kini gigi tajam belut raksasa menancap pada kaki Carles. Membuatnya terangkat dari dalam air. Dia terus berteriak ketakutan dan meminta tolong. Suara tersebut lekas menarik perhatian Aster yang baru saja keluar dari dalam air. Dia mencari-cari sumber suara yang ternyata ada di atas kepalanya. “Carles!” teriaknya ngeri saat mendapati lelaki tersebut berada dalam mulut si monster.         Hewan tersebut menggoyang-goyangkan kepalanya ke kiri dan ke kanan, entah untuk apa. Yang pasti hal tersebut membuat Carles semakin kesakitan.         Alby segera menginjak gas dalam-dalam saat mendapatkan kesempatan. Okta pun melakukan hal sama kepada kendaraan yang benar-benar sudah dikuasainya itu. “Cepat naik!” perintah saudara kembar Edy tersebut. Johan lekas menarik lengan Aster, sementara di pesawat satunya, Erik membantu Ethan.          “Kita harus menolong Carles!” ucap Aster pertama kali.         “Apa tidak ada benda yang dapat kita gunakan untuk melawan hewan itu?” tanya Johan.         “Lihat di balik jok belakang. Kalian akan menemukan senjata di dalam sana!”         Aster bergegas menyuruh Johan berdiri, lalu mengangkat jok yang semula didudukinya, sesuai dengan instruksi Okta. Berbagai macam senjata ada di dalam sana. Aster mengeluarkan semua satu persatu. Busur dan panah dia berikan kepada Alga, sementara dia mengambil sebilah pedang panjang.         Johan yang mendapatkan giliran memilih terakhir langsung meraih sebuah tombak. Masih banyak benda lainnya seperti pisau dan granat, tapi Aster berpikir benda tersebut tidak akan bisa digunakan dalam situasi sekarang.         Erik yang melihat hal tersebut turut memeriksa di balik jok pesawatnya. Dia segera meraih sebuah panah dan busur. Lalu, tanpa pikir panjang lagi, segera diarahkannya panah tersebut ke arah si monster yang masih memainkan Carles dengan gigi-giginya. Alga pun mulai menembakkan panah mengenai tubuh licin si belut raksasa. Monster tersebut meraung karena merasakan sakit, namun tetap tidak melepas buruannya.         “Keras kepala sekali dia!” Erik terlihat semakin kesal. Kali ini dia melepas anak panahnya hingga menancap tepat pada mata si monster. Dia menyuruh Alby bersiap agar bisa segera melakukan pertolongan pada saat Carles terjatuh ke dalam air. Akan tetapi, tanpa di sangka-sangka monster tersebut justru menelan temannya itu bulat-bulat sebagai ekspresi dari kemarahannya.         “Carles!” Erik berteriak penuh amarah. Dia tidak pernah berpikir akan menyaksikan pemandangan mengerikan seperti itu. Raungan dari sahabatnya pun kini sudah tidak terdengar lagi. “Sialan!”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN