Chapter Dua Belas

1614 Kata
        Empat buah pesawat kecil melesat di udara Oakland. Masing-masing darinya mengangkut tiga sampai empat orang. Aster berada di dalam satu pesawat bersama Ethan dan Carles yang duduk di bangku pengemudi. Pesawatnya terbang di paling depan.         Sebuah tombol berwarna biru ditekannya. Kaca penutup pesawat terbuka, Aster merasakan terjangan angin segar pada wajahnya. Semua melakukan hal yang sama, mereka membuka tutup pesawat agar bisa sama-sama menghirup udara pagi.         Aster melambaikan tangan ke arah Bianca yang terbang bersama Erik dan Alby. Semua tampak menikmati awal perjalanan mereka itu. Meski belum tahu hal apa yang akan menyambutnya nanti.         “Woooohoooo!!!” Johan berteriak kegirangan. Dia berdiri sembari meluruskan kedua tangannya ke atas.         “Hati-hati, Jo! Jangan sampai jatuh karena terlalu senang!” teriak Aster.         “Apa? Aku tidak bisa mendengarmu!”         “Hati-hati terjatuh!” teriaknya lagi.         “Bicaralah lebih keras!”         Aster sedikit tertawa melihatnya. Dia ingat betul saat Simon dan Erik menolak saat Jo meminta naik di dalam pesawat mereka. Hingga pada akhirnya Alga yang harus mengalah dan membawanya serta. Sekarang Aster tahu kenapa mereka tidak mau terbang bersama lelaki sipit itu.         “Beruntung kita tidak satu pesawat dengannya,” ujar Carles.         “Ya, untung saja. Tapi aku jadi merasa kasihan kepada Okta dan Alga.” Aster memandangi wajah Alga yang terlihat kecut dari kejauhan.         “Semoga saja mereka tidak melempar Jo dari pesawatnya.”         Aster pun tidak bisa menahan tawa setelah mendengar kata-kata Carles.         ‘Pip-pip’ sebuah suara berbunyi dari microphone pesawat. Lampu kecilnya menyala. Hal tersebut menandakan bahwa pesawat lainnya sedang berusaha untuk saling berkomunikasi. Semua pilot dari tiap pesawat memakai sebuah helm yang terhubung dengan alat komunikasi antar pesawat. Memudahkan mereka untuk saling berbicara satu sama lain.         Carles menekan salah satu tombol yang ada di hadapannya. “Ya. Halo.”         “Apa suaraku terdengar jelas?”         “Tunggu sebentar, kucoba mengubah sedikit frekuensinya. Di sini suaramu terdengar sangat buruk.” Carles mengoperasikan tombol lainnya yang ada. “Alby, kamu masih di sana?”         “Ya.”         “Bagaimana dengan sekarang?”         “Sempurna. Bisa kamu hubungkan aku dengan Aster?”         “Ya, tunggu sebentar!” Carles berusaha tetap fokus ke arah depan. “Aster, ambil helmku! Alby ingin berbicara denganmu.”         Dengan hati-hati Aster mengambil alih helm yang semula bertengger pada kepala Carles, lalu memakainya.         “Ada apa, Alby?”         “Apa kita sudah menuju arah yang benar?”         “Aku yakin. Seharusnya tak lama lagi kita akan melewati Dione.”         “Kenapa, kau takut, Alby?” suara Tony turut terdengar dari dalam speaker.         Semua alat komunikasi terpasang paralel, sehingga semua bisa langsung mendengarkan siapapun yang berbicara.         “Diamlah, Tony!”         Tony hanya tertawa. “Oiya, bagaimana keadaan di dalam pesawat Okta? Kamu bisa mendengarku, Okta?”         “Ya. Sangat jelas.”         “Kalian baik-baik saja?”         “Sebenarnya aku baik-baik saja karena menggunakan headset. Mungkin Alga yang kurang baik. Sejak tadi temanmu yang satu ini tidak bisa berhenti bicara.”         “Tolong jangan lempar dia ke luar kapal! Meski begitu, dia aset yang bagus,” canda Aster.         “Sepertinya aku butuh satu orang untuk memastikan agar Alga tidak melakukannya.”         Sesaat kemudian, suara gaduh terdengar dari microphone milik Okta. Dia seakan mengalami sesuatu yang membuatnya berhenti bicara. “Okta?” tanya Tony. Tapi tidak ada balasan sama sekali.         “Halo? Halo? Hei, sedang apa kalian semua?” tampaknya Johan mengambil alih headset milik Okta. Semua orang yang mendengarkan bergegas menekan tombol untuk mengnonaktifkan alat komunikasi.         “Halo? Sepertinya alat ini mati.” Jo mengembalikan barang rampasan tersebut kepada Okta.         “Sepertinya ramai sekali.” Ethan merasa tertarik untuk mengetahui apa yang sedang terjadi setelah melihat Aster cekikikan seorang diri.         “Ya, Jo tidak mau diam sejak tadi.”         “Dia memang selalu bersemangat seperti itu, ya?”         “Begitulah, meski terkadang menjadi sangat menyebalkan. Bagaimana tanggapanmu mengenai teman-teman barumu?”         “Hmm... beberapa memang sudah ada yang kukenal. Mungkin selebihnya yang baru pertama kali kutemui... sangat unik. Sepertinya semua memiliki kelebihan masing-masing. Kamu beruntung bisa bertemu dengan mereka.”         “Ya, tentu saja! Mereka teman-teman terbaik yang pernah kupunya. David tidak salah memilihkan pasukan untukku.”         Aster terus berbincang bersama Ethan juga Carles, membuat perjalanan panjang terasa menyenangkan. Sampai-sampai dia tidak sadar bahwa kehadiran kota Dione sudah mulai terdeteksi. Meski bukan tempat tersebut yang menjadi tujuan mereka, tapi Aster sengaja melintas hanya sekedar untuk melihat keadaannya sekarang.         Berbagai benda mengambang di atas laut. Besi-besi besar, peralatan rumah tangga, pakaian dan sebagainya terkumpul di satu titik. Mereka semua terdiam, tidak menghiraukan gelombang laut yang bisa saja menghanyutkannya ke tempat lain. Sebuah kotak besi raksasa bertengger paling kokoh di sana. Satu-satunya tempat pijakan yang tersisa dari kota menakjubkan tersebut.         “Itukah sisa dari kota yang kamu ceritakan?” tanya Ethan.         “Iya. Selebihnya mungkin sudah tertelan di dalam lautan.”         “Sayang sekali harus berakhir seperti itu.”         Aster mengangguk-angguk. Matanya tidak berhenti menatap berbagai benda yang mengambang dari kejauhan. Tidak pernah disangka beberapa waktu ke belakang pernah ada peradaban di tempat itu. Kini hampir tidak terlihat lagi sebagai sesuatu yang bisa digunakan sebagai tempat tinggal.                                                                                                 ***                  Perjalanan mereka masih berlanjut. Kini Aster harus lebih cermat mengamati sekitar, karena tempat tujuannya seharusnya tidak akan terlalu jauh dari Dione. Dia memegangi peta dengan tangan kiri, dan sebuah kompas usang dengan tangan satunya. Memastikan agar laju pesawat tidak menuju ke arah yang salah.         “Menurutmu berapa lama lagi kita akan sampai?” Carles memastikan.         “Entahlah. Mungkin waktunya hampir sama dengan yang kita butuhkan jika pergi ke Nibbana dari Dione.”         “Hmm... Sepertinya tidak akan lama lagi, karena kita sudah berada cukup jauh dari Dione.”         Aster menolehkan kepalanya ke belakang. Dia melihat keberadaan kubus raksasa Dione yang sudah sangat kecil dan sebentar lagi akan menghilang. Itu berarti posisi mereka memang sudah sangat jauh dari sana.         Ethan yang duduk pada jok belakang pun turut memeriksa lautan yang ada di sekitar pesawat. Dia menyusuri genangan air raksasa itu, berharap tidak ada yang luput dari penglihatan. Sesaat dia tenggelam dalam keindahannya. Baru pertama kali dia menyaksikan gemerlapan dari lautan yang tersinari cahaya matahari. Ditambah lagi pemandangan menakjubkan tersebut dapat dia saksikan dengan sangat dekat.         Saat itu, Aster tengah sibuk melakukan sesuatu dengan pensil dan petanya. Dan di waktu yang bersamaan pula, Ethan tidak sengaja melihat gelagat aneh dari teman-teman yang berada di pesawat lainnya. Dia melihat Johan yang sepertinya sedang berteriak-teriak panik dari kejauhan. Awalnya Ethan menganggap temannya itu sedang bercanda, namun kondisi menjadi terasa berbeda saat Simon pun terlihat melakukan hal serupa.         “Aster! Sepertinya mereka ingin memberitahu sesuatu.” Ethan menepuk bahu Aster dan menunjuk ke arah Johan.         Pesawat mereka tidak bisa terbang terlalu berdekatan karena khawatir sayapnya akan saling berbenturan. Oleh karena itu, Aster harus memfokuskan pandangannya juga pendengarannya. “Apa?” tanyanya sejelas mungkin meski tanpa suara.         Johan dan yang lain masih tetap berekspresi penuh kepanikan. Pada akhirnya mereka melakukan sebuah gerakkan agar Aster bergegas berbicara melalui helm yang dikenakan Carles. Dia lupa karena beberapa saat lalu alat komunikasi pada pesawatnya terlanjur dimatikan dan belum sempat dinyalakan kembali.         “Maaf, Carles. Aku pinjam helmmu lagi.” Aster bergegas memasang benda tersebut pada kepalanya setelah menekan kembali tombol pada panel pengemudi.         Belum sempat dia bertanya, suara Tony terdengar sangat nyaring. “Pelankan pesawatmu! Di depan ada kaca besar!”         Aster melihat ke arah depan, namun dia tidak bisa melihat apapun. Hanya langit biru dan lautan yang setenang biasanya.         “Aku tidak bisa melihat apa-apa dari sini.”         “Yang pasti suruh Carles menurunkan kecepatannya! Sekarang Aster!” teriak Tony.         Gadis itu masih terlihat keheranan sembari terus memandang ke arah depan. Dia mengubah-ubah posisi kepalanya untuk mencari benda yang dimaksud. Sekilas Aster bisa menangkap kilatan cahaya yang sering dia dapatkan saat sinar mentari memantul pada kaca kamarnya di panti. Meski tidak terlihat dengan jelas, tapi kini dia percaya apa yang telah dikatakan oleh Tony. Kengerian pun dengan seketika menjalari tubuhnya. Dia tidak bisa membayangkan bagaimana jadinya jika pesawatnya menabrak dinding transparan yang entah setebal apa itu.         “Carles! Hentikan pesawat sekarang!”         “Ada apa?”         “Tidak ada waktu untuk menjelaskan!”         “Tungu sebentar, benda ini tidak bisa langsung berhenti begitu saja.” Carles mulai panik karena mendapatkan perintah secara tiba-tiba.         Perlahan kecepatan pesawat mulai melambat. Tapi, hal tersebut tidak akan bisa menghindarkan mereka dari tabrakan yang akan segera terjadi. Semakin lama, keberadaan benda transparan di depan Aster mulai tampak jelas.         “Apa itu?” tanya Carles yang mulai panik karena baru sadar akan keberadaan tembok kaca di depannya.         “Itu lempengan kaca! Sebentar lagi kita akan menabraknya, Carles! Cepat lakukan sesuatu!”         “Sebaiknya tutup atap pesawat ini! ” ujar Ethan sembari menekan salah satu yang ada.         “Injak remnya, Carles!” perintah Aster lagi, semakin menambah ketegangan di dalam pesawat mereka.         “Sudah aku lakukan!”         Mereka bertiga semakin merasa panik. Kecepatan pesawat turun dengan sangat lambat karena sejak awal mereka melaju terlalu cepat. Sementara itu, jaraknya dengan kaca hanya tinggal beberapa meter lagi.         “Belokkan saja pesawatnya!” perintah Ethan.         “Semoga ini akan berhasil!” peluh mulai mengalir pada wajah sang pilot.         Beberapa saat sebelum benturan terjadi, Carles membanting kemudi pesawatnya ke arah kanan. Sayap pesawat rusak karena bersentuhan dengan kaca yang ternyata sangat tebal. Tubuh Aster terbanting ke sebelah kiri. Kepalanya membentur langit-langit pesawat dengan sangat keras. Dengan sekejap dunianya mulai buram dan menghitam. Aster memegangi kepalanya yang sepertinya berdarah.         Pesawat yang ditumpangi Aster perlahan turun hingga ke permukaan laut. Mesinnya rusak akibat benturan. Meski masih bisa terbang, tapi kini pesawat tersebut hanya bisa terbang rendah di atas permukaan laut dan tentu saja sangat lambat. Carles menghentikan mesinnya tepat beberapa jengkal dari permukaan laut. Terdiam menenangkan debaran jantungnya. Meski kini tubuhnya terasa sangat lemas, setidaknya dia bersyukur karena setidaknya tabrakan tersebut tidak harus merengut nyawanya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN