Chapter Sebelas

1698 Kata
         'Teng-teng-teng-teng-teng-teng.’          Suara lonceng besi berkumandang membangunkan semua orang. Aster terperanjat mendengarnya. Dia terhentak dan langsung terjaga dari tidurnya. Matanya masih terasa mengantuk, tapi hatinya sedikit panik karena seharusnya dia sudah berada di tempat yang telah dijanjikan oleh walikota.             “Astaga! Aku kesiangan!” teriaknya.         Kemarin, Aster sempat menyetel alarmnya pada pukul lima agar tidak perlu panik seperti sekarang. Tapi, karena dia tidak sengaja tertidur di luar kamar, seperti ini lah hasilnya. Teriakan alarm yang berbunyi selama lima menit sama sekali tidak terdengar. Bahkan kalau saja tidak ada lonceng besi yang membangunkannya, entah pukul berapa gadis itu baru akan membuka mata.         Aster bergegas menuruni atap dengan hati-hati dan terburu-buru masuk ke dalam kamar mandi. Membersihkan diri seperlunya, menggunakan pakaian yang telah disiapkan, serta sepatu boots-nya. Untung saja semua perlengkapan sudah disiapkan sejak semalam, sehingga dia tidak perlu membuang waktu lagi hanya untuk menyiapkan barang-barangnya.         Aster bergegas berpamitan dengan Miss Belly dan tentu saja dengan Amanda juga. Mereka berdua memeluknya, mengantar kepergian dengan senyuman. Genta sepertinya masih terlelap, padahal Aster ingin bertemu dengan sahabat kecilnya itu untuk sesaat. Tapi hal itu sudah tidak mungkin dia lakukan mengingat kini waktu sudah menunjukkan pukul enam dua puluh.         Kakinya berlari secepat mungkin menuju gedung walikota. Di balik gerbangnya, David sudah bersiap bersama dua orang pengawal berpakaian polisi patroli. Dia melihat ke arah jam tangannya beberapa kali. “Terlambat dua puluh lima menit.” Lelaki itu menghembuskan napas panjang.         Tepat satu meter di depan David, Aster menghentikan langkah. Mengatur napasnya yang tersengal-sengal, memegangi lutut sembari terbatuk-batuk. “Ma-maaf. A-aku, kesiangan,” ucapnya terpatah-patah.         Meski jarang sekali bertegur sapa, selama di panti David selalu memperhatikan Aster secara diam-diam. Dia tahu bahwa anak perempuan itu memiliki bakat dalam menarik masalah untuk mendekatinya. Bahkan kegiatan terselubung Aster yang selalu naik ke atas atap panti pun sebenarnya sudah dia ketahui. Namun, selama tidak menimbulkan masalah apa-apa, lelaki itu hanya mengawasi dari kejauhan. Layaknya seorang ayah yang memang mencemaskan anak perempuannya.         Kali ini pun rasanya David sudah tidak aneh mendapati Aster yang kesiangan. Meskipun begitu, dia tetap harus memposisikan sebagai walikota yang sedang berhadapan dengan pimpinan dari misi kali ini. “Hampir saja izin misimu aku cabut jika kamu terlambat sepuluh menit lagi,” ucapnya dengan nada penuh ketegasan.         Aster hanya bisa memaksakan diri untuk tersenyum sembari memasang wajah bersalahnya.         “Semua yang kamu butuhkan sudah disiapkan. Begitu juga dengan pasukanmu,” tambah walikota lagi.         “Apa temanku yang bernama Ethan sudah sampai di sini?”         “Ya, dia sudah berkumpul bersama yang lainnya.”         David mulai melangkah, menyuruh Aster untuk bergegas mengikutinya. Mereka tidak berjalan ke arah gedung walikota, melainkan menuju gedung utama dari akademi militer. Rasanya sudah lama sekali sejak terakhir kalinya Aster berada di sana. Keadaan dalam bangunan tersebut masih saja sama dengan waktu itu. Dia pun masih hapal benar setiap lorong yang rutin dia lewati setiap hari. Bahkan, sekarang mereka berdua sedang menuju ke sebuah tempat yang Aster kenali dengan baik.         Di depan ruangan yang berada di ujung koridor, perjalanan kedua orang tersebut berakhir. Aster memandangi pintunya sembari tersenyum kecil. Dulu sebuah tulisan terpampang di depan pintunya, tapi sekarang sudah tidak terlihat lagi keberadaannya.         “Pasukanmu sudah ada di dalam sana. Aku akan meberimu waktu untuk berbincang dengan mereka semua. Sebelumnya aku sudah menjelaskan semua yang kutahu pada mereka, hanya saja kamu pasti perlu membahas hal lain seputar misi kali ini bersama pasukanmu.”         “Terima kasih,” ucap Aster. Matanya kembali memandangi pintu, kali ini dengan penuh ketegangan. Dia harus bersiap untuk menghadapi para anggota kelompoknya yang sebentar lagi akan menjalani misi bersama.         Ini adalah kali pertama Aster memimpin. Dia masih merasa khawatir tidak bisa menjadi ketua sebaik Edy. Tapi, setidaknya dia sadar harus mulai mencoba. Jika tidak, seumur hidup dia tidak akan pernah bisa merasakan kesempatan yang sama untuk kedua kalinya.         “Kalau begitu, aku akan menunggumu di dermaga. Pergunakan waktumu sebaik mungkin! Semakin cepat kalian berangkat akan semakin baik.” David menepuk pundak Aster. Gadis itu membalas dengan anggukan serta senyuman.         Langkah sang walikota terdengar semakin menjauh, Aster memegangi kenop pintu tanpa membukanya terlebih dahulu. Sedikit membayangkan harus melakukan dan berbicara seperti apa di depan orang-orang yang entah siapa.         Bagaimana jika mereka tidak menyukaiku? Apa mereka akan langsung pergi?         Aster menarik napas sebelum memasuki ruangan. “Baiklah! Aku siap!” ujarnya pelan.         Pintu dibuka pelan. Dapat terdengar hiruk pikuk dari keramaian yang terjadi di dalamnya. Aster mendapati banyak sekali orang yang ada di sana. Telah berseragam rapi dan sedang bersenda gurau bersama. Mereka menyadari sang pemimpin pasukan memasuki ruangan. Dengan seketika, situasi mulai terkendali. Mata semua orang tertuju pada Aster yang tengah memasuki ruangan.         Wajah gadis itu tertegun saat memandangi wajah para anggota kelompoknya. Semua wajah itu tidak ada yang tidak dia kenali. Bahkan memberikannya perasan nostalgia saat baru saja bergabung dalam kelompok junior tempo hari.         “Hai, komandan!” seru seorang lelaki sipit.         “Kami siap untuk menjalankan misi,” Alga menambahkan.         “Lagi-lagi kamu kesiangan.” Bianca menimpali sembari tersenyum mengejek.         Erik yang berada di sebelahnya turut berkomentar. “Mau jadi seperti apa kelompok ini kalau pemimpinnya masih saja terlambat?”         Aster hanya tertawa kecil mendengar semua itu. Dia mulai melangkah untuk menyapa satu persatu rekannya. “Hai, Carles,” sapanya pada lelaki yang duduk pada bangku paling kanan.          Mata gadis itu kini menyapu seisi ruangan. Dia kembali tersenyum saat menangkap sosok Okta yang seakan menggantikan keberadaan Edy. Bahkan lelaki tersebut kini tengah berkumpul bersama Alga, Simon, dan... Tony? Wajah Aster seketika berubah karena kehilangan senyumnya. Dia tidak menyangka akan mendapati sosok yang sejujurnya tidak dia harapkan berada di sana.         “Tony? Mellisa?” tanyanya dengan wajah serius setelah berjalan mendekat. “Apa yang kalian lakukan di sini?! Kalian kan baru saja...”         “Memangnya kenapa?” tanya Mellisa yang tengah menyandarkan kepalanya pada bahu suaminya.         “Kami ingin merasakan bulan madu yang lain daripada orang biasa,” ujar Tony. Pengantin baru itu pun tertawa. “Kami justru tidak akan bisa tenang jika tidak turut dalam petualangan ini.” Tony mengacak-acak rambut gadis di hadapannya yang kini mulai tersenyum kembali.         Di dalam hatinya, Aster merasa sangat senang melihat semua temannya berada di sana. Dapat kembali berkumpul setelah beberapa waktu sempat berpisah. Meskipun beberapa anggota memang sudah tidak bisa bersama mereka lagi. Selain itu juga, keberadaan si anak gemuk tidak terlihat di sana. Tapi tentu saja, karena David tidak mungkin mengirim Genta untuk terjun ke dalam misi yang mungkin akan berbahaya itu.         Aster kemudian berjalan ke arah Natasha, lalu memeluknya. “Akhirnya kita bisa berpetualang bersama lagi, ya,” ujar sahabatnya itu.         “Terima kasih sudah ikut bergabung.”         “Dengan senang hati.”         Orang selanjutnya yang didekati oleh Aster adalah si lelaki berambut pirang, bermata biru. Dia berdiri, bersiap mendapat pelukan dari gadis yang menghampirinya.         “Alby!”         Lelaki tersebut memeluk Aster erat, perasaan sayang yang dimilikinya tidak pernah berkurang sedikitpun.         “Aku senang kamu ikut!”         “Aku juga senang bisa kembali menemanimu kali ini.”         “Tidak akan ada pertengkaran kali ini.”         “Tidak akan ada!” Alby menegaskan. Mereka berdua tertawa bersama.         Aster berbalik ke dekat pintu. Di sana Ethan menatapnya yang tengah tersenyum bahagia. Ruang kelas masih berisik karena semua sibuk mengenang masa lalunya di tempat tersebut.         “Bagaimana perasaanmu?” tanya Ethan.         “Gugup!” jawab Aster meski wajahnya terlihat berseri-seri.         “Cepat berikan pidatomu, komandan!”         Aster mengangguk sembari tetap tersenyum. Dia berjalan ke depan kelas. Menarik napas dan menyimpan sesaat perasaan nostalgianya. Aster kini memasang ekspresi yang lebih serius. “Perhatian, pasukan! Silahkan duduk di bangku masing-masing!” perintahnya.         Semua orang bergegas menempati kursi kosong dan mulai fokus memandang ke arah ketua misinya. Mereka semua sama-sama memasang wajah serius. Perasaan senang bisa berkumpul setelah berpisah sangat lama tentu saja masih terasa, namun kali ini mereka harus bisa menempatkan diri sesuai keadaan.         “Sebelumnya, aku ucapkan terima kasih kepada kalian semua yang telah rela turut terjun ke dalam misi kali ini. Sepertinya walikota sudah menjelaskan semua yang perlu kalian ketahui sebelum kita berangkat. Untuk sekarang, apa ada yang ingin bertanya?”         Johan mengangkat tangannya. Aster mempersilahkan dia untuk berbicara.         “Sebenarnya aku hanya diberitahu bahwa kita akan menyelidiki sebuah tempat yang belum jelas keberadaanya. Juga hal lain seperti kertas berisi peta, serta tentang tetua Oakland yang memberikannya. Sepertinya yang lain pun sama.” Johan melirik ke arah teman-temannya yang mengangguk mengiyakan. “Jadi, apa tujuan misi kita kali ini hanya untuk menemukan tempat yang dimaksud?”         “Ya, itu salah satunya. Tapi masih ada hal lain yang akan kita selidiki, yang juga masih berkaitan dengan hal tersebut. Yaitu sebuah organisasi yang disebut Orion.”         Semua orang mulai berbisik satu sama lain. Telinga mereka tidak terasa familiar dengan kata tersebut. Namun, ada beberapa yang sepertinya pernah mendengarnya. “Tunggu dulu! Bukankah itu nama yang kita lihat pada pipa di atas Dione waktu itu, Erik?” tanya Simon.         “Kalian pernah melihatnya?” Aster tidak menyangka karena ternyata bukan hanya dia yang tahu akan nama tersebut.         “Ya. Pada bagian pipa Dione, tertulis bahwa property tersebut milik Orion.”         Penjelasan singkat Simon tersebut semakin meyakinkan Aster, bahwa yang membangun Dione atau mungkin Oakland adalah kelompok benama Orion.         “Jadi, kata tersebut merupakan nama dari sebuah organisasi?” sambung si lelaki beranting.         Aster mengangguk. “Begitulah ujar seseorang yang memberitahuku. Yang pasti keberadaan mereka sangat berhubungan dengan semua misteri ini. Juga, aku merasa akan sangat berpengaruh terhadap kehidupan semua orang yang ada di Nibbana maupun Oakland.”         “Kalau begitu ayo kita mulai misi kali ini!” sahut Johan penuh semangat. “Kelompok junior, beserta dua orang tambahan sudah siap untuk berpetualang!” Semua orang tersenyum melihatnya. Semangat mereka semua turut terpancing berkat kata-kata lelaki tersebut.         “Tapi satu hal yang harus kalian ingat.” Aster kembali memasang wajah seriusnya. “Aku sendiri tidak tahu apa yang akan menanti kita dalam misi kali ini.”         “Bukankah itu bagian serunya?” sahut Simon.         “Kami tidak akan ikut jika memang merasa tidak siap,” Alby menambahkan.         Sang ketua misi pun tersenyum setelah melihat ekspresi penuh keyakinan dari wajah teman-temannya itu. “Baiklah kalau begitu. Bianca, Mellisa, Natasha, Erik, Alby, Ethan, Alga, Charles, Johan, Tony, Simon, dan Okta,” Aster menyebut satu-persatu anggota kelompoknya. “Bersiaplah untuk berangkat!”         “Siap!” jawab mereka serempak.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN