Sebelum melaksanakan misi, Aster berpikir untuk menghabiskan waktu bersama ibunya tercinta. Mereka tinggal bersama di sebuah rumah kecil yang telah diberikan Nibbanian untuk Aster tempo hari. Yang ternyata, rumah itulah yang menjadi tempat tinggal Sheila sewaktu dia tinggal di Nibbana dulu. Entah sebuah kebetulan atau apa, Sheila pun tampaknya cukup terkejut saat mengetahui hal itu.
Wanita dengan rambut pirang bergelombang terlihat sedang sibuk di balik tempat cuci piring. Terdengar suara sikat yang digosokkan kepada sebuah katel. “Sedang apa, bu?” Aster memeluknya dari belakang secara diam-diam.
“Aster? Kapan kamu kembali?”
“Baru saja sampai. Kelihatannya ibu sibuk sekali.”
“Aku sedang membersihkan katel ini. Sepertinya masih bagus, tapi terlihat tidak pernah dipakai.”
“Ibu tahu sendiri aku tidak pernah menggunakan semua peralatan dapur itu.”
Sangat berbeda dengan Aster, Sheila justru sangat lihat dalam urusan memasak dan pekerjaan wanita lainnya. Entah kenapa kemampuan tersebut tidak bisa diturunkan kepada anaknya.
Semua peralatan yang pernah Sheila gunakan masih tersimpan pada tempatnya. Sama persis dengan yang dia ingat sebelum meninggalkan Nibbana. Kini hanya para laba-laba yang menggantikannya untuk menjaga semua barang itu hingga dia kembali.
Setiap hari Aster selalu membeli makanan di kedai atau warung dekat sana. Bahkan dia jarang sekali mengeluarkan uang karena orang-orang sering memberinya makanan. Mungkin hampir setiap hari selalu ada yang mengirim sesuatu, terutama Sarah. Oleh karena itu dia tidak pernah direpotkan dengan urusan makanan.
“Bagaimana Oakland?”
Aster berjalan ke arah meja untuk menaruh barang-barang bawaannya. “Masih sama seperti biasanya. Kapan ibu akan pergi ke sana?”
“Mungkin nanti. Aku masih rindu dengan tempat ini.”
“Oiya, ibu mendapat ucapan terima kasih dari Okta.”
“Oya? Apa si anak tampan itu baik-baik saja?”
“Kulihat seperti itu. Ditambah lagi sifatnya entah kenapa berubah drastis. Dia jadi jauh lebih lembut.”
Sheila tertawa kecil mendengar kata-kata Aster. “Kamu tahu, dia memang anak yang baik.”
Kini Aster yang tertawa mendengar penjelasan ibunya. “Mustahil. Ibu tidak tahu apa yang dilakukannya tempo hari.”
Sembari meneruskan pekerjaan mencucinya, Sheila mulai menceritakan hal yang tidak Aster ketahui. “Dia seperti itu karena didikan yang salah dari ibunya. Sebenarnya Okta memutuskan untuk pergi dari istana karena tidak menyukai ibunya. Meski aku tahu sebenarnya dia sangat sayang kepada Sasha.”
“Pantas saja aku tidak pernah melihatnya di istana. Lalu dimana dia tinggal?”
“Di rumahku.”
Aster sedikit tersentak karena terkejut. “Aku menemukannya yang berjalan luntang lantung di tengah keramaian. Semua orang mengenalnya sebagai anak ratu, dan hal itu membuat dirinya semakin merasa terasingkan. Saat itu aku tahu dia sedang memiliki masalah. Awalnya anak itu menolak saat kuajak untuk datang ke rumah. Tapi, pada akhirnya dia menurut dan dari sanalah aku mengetahui semuanya. Okta meminta untuk diperbolehkan tinggal bersama denganku, bahkan meminta untuk kujadikan seorang anak.”
Itu kenapa sebenarnya Okta senang memanggil Aster dengan sebuatan adik. Bukan semata untuk mengejeknya karena sempat percaya bahwa Sasha adalah ibu kandungnya.
“Dia merasa Sasha menganggapnya tidak berguna. Oleh karena itu, Okta sempat melakukan hal yang salah hanya untuk dipandang oleh ibu kandungnya itu. Sebenarnya Okta anak yang baik dan manis. Tadinya aku ingin mengajaknya tinggal bersama di sini. Tapi ternyata ayah kandungnya ada di Oakland,” sambung Sheila lagi.
Aku bersyukur David masih ada. Karena jika tidak, Aster harus tinggal bersama lelaki itu dengan terpaksa. Selalu dibayang-bayangi oleh sosok Edy pasti tidak akan membuatnya nyaman.
Aster terdiam cukup lama. Dia tidak hanya memikirkan persoalan Okta, melainkan hal lainnya yang berdatangan. Dia bahkan belum memberitahu Sheila mengenai misi yang akan dijalaninya. Entah akan seperti apa tanggapan dari ibunya itu. Sebenarnya Aster berpikir tidak perlu ibunya mengetahui hal tersebut agar dia tidak perlu merasa khawatir. Tapi Aster juga merasa dia harus memberitahukan rencananya itu.
Sheila selesai dengan pekerjaannya di dapur. Dia mengelap tangannya yang basah dan berjalan mendekati Aster. Dia menangkap ekspresi aneh dari gadis yang sedang duduk di atas kasurnya. “Ada yang belum kamu ceritakan padaku?” tanya Sheila sembari mengangkat dagu anaknya itu. Dia menyeret sebuah kursi lalu duduk di hadapan Aster.
“Sebenarnya... seminggu lagi aku harus pergi.”
“Pergi ke mana?” tanya Sheila karena Aster menggantung kata-katanya.
“Aku mendapatkan sebuah misi.” Sebenarnya aku yang membuat misi itu. “Aku akan pergi ke sebuah tempat untuk menyelidiki sesuatu.”
“Apa tempat itu jauh?”
“Bisa jadi begitu. Lokasinya lebih jauh dari Dione.”
Sheila terdiam. Aster berpikir pasti ibunya itu ingin sekali melarangnya pergi. Wajar bagi setiap orang tua untuk mencemaskan anaknya, terutama anak perempuan semata wayangnya.
“Dengan siapa kamu akan pergi?”
“Tenang saja bu, aku tidak akan sendiri. Walikota akan membentuk pasukan untuk menyertaiku dalam perjalanan. Misi ini sangat penting bagiku, bu. Jadi, meski aku tahu ibu pasti ingin aku tidak pergi, tapi keputusanku sudah bulat.”
Sheila mengelus pipi Aster. Memandangi sepasang mata yang benar-benar mirip dengannya. “Pergilah, kalau memang itu keinginanmu, ibu tidak akan melarangnya. Aku pasti merasa khawatir, tidak bisa untuk tidak merasa seperti itu. Tapi aku lebih khawatir jika kamu tidak bisa mewujudkan keinginanmu sendiri. Hanya saja, aku ingin kamu berhati-hati.” Sheila melihat kemiripan akan dirinya dan anak perempuannya itu. Dia mengerti benar seperti apa perasaan yang Aster rasakan. Jika dia berada pada posisi gadis itu pun, tentu hal sama akan dia lakukan.
“Pasti, bu. Terima kasih.” Aster memeluk ibunya dengan tiba-tiba. Membuat kursi yang diduduki Sheila sedikit terdorong ke belakang.
Aster sangat bersyukur memiliki ibu yang perhatian. Sepertinya dia orang satu-satunya yang mengerti benar bagaimana perasaannya. Tentu saja karena Sheila adalah ibu kandungnya.
“Kamu ingin apa untuk makan malam?” tanya Sheila.
“Sepertinya omelet enak.”
“Baiklah, ibu akan mulai memasak. Kamu juga ikut ya!”
“Oke.”
***
Aster melingkari hari pelaksanaan misi pada kalender dalam buku sakunya. Dia rutin mencoret hari demi hari sebelum keberangkatan. Mempersiapkan semua hal yang dia rasa akan dibutuhkan dalam perjalanan. Aster tidak ingin ada satu barang pun yang luput dan menyebabkan hal fatal baginya. Jadi, dibuatlah sebuah daftar perlengkapan yang akan disiapkannya dari jauh-jauh hari.
Enam hari sebelum keberangkatan, Aster selalu berada di luar rumah dengan seragam olahraganya tiap pagi. Mulai berlari pelan mengelilingi Nibbana. Suara derap dari langkahnya mewarnai kesunyian di pagi hari. Bahkan ayam-ayam pun masih terlelap dalam kandangnya. Tapi Aster sudah lebih dulu memulai aktivitasnya di pagi buta.
Gadis itu tidak ingin kondisi tubuhnya menurun saat melaksanakan misi. Bagaimanapun dia harus siap menghadapi kondisi terburuk yang tidak mustahil sedang menunggunya. Sesaat langkahnya terhenti di dekat makam Edy. Dia beristirahat sejenak sembari sedikit mencurahkan perasaannya kepada semua bunga aster yang ada.
Kira-kira apa yang nanti akan kudapatkan di sana? Jujur, sebenarnya aku merasa sedikit takut jika tidak mendapatkan apapun dibanding harus menghadapi sebuah bahaya. Bagaimana jadinya jika misi ini tidak membuahkan hasil? David pasti merasa kecewa. Aku sendiri pun pasti akan merasa kecewa kepada diri sendiri.
Apa aku batalkan saja? Itu gila, Aster! Rasa kecewanya pasti akan jauh lebih menyiksa. Aku harus optimis. Pasti ada sesuatu di sana!
Hari-hari berikutnya Aster tidak berlari mengelilingi Nibbana. Dia memilih untuk berlari di sekitar ladang bunga saja. Tempat tersebut cukup luas untuk dijadikan area jogging. Terlebih lagi, dia merasa tidak pernah sendirian jika lari pagi di sana. Seakan Edy selalu turut menyertai larinya dan memperhatikan dari belakang. Oleh karena itu Aster sangat senang melakukan aktivitasnya di sana.
Tiga hari sebelum pelaksanaan misi, Aster meminta izin Sheila untuk pergi ke Oakland. Mereka melakukan perpisahan yang mengharukan, karena Aster tidak akan kembali ke Nibbana sebelum misinya selesai. Sheila melepas kepergiannya dengan berat hari. Baru saja mereka bersama beberapa bulan, tapi hari-hari itu terasa sangat singkat.
Tunggulah aku, bu! Aku pasti bisa membawa pulang ayah juga Chrystal.
***
Yang dilakukan Aster pertama kali setelah sampai di Oakland adalah mengunjungi bagasi tempat penyimpanan pesawat. Para teknisi sedang bekerja, mengecek dan memperbaiki pesawat agar bisa bekerja maksimal. Aster semakin tidak sabar menanti petualangan barunya saat menyaksikan semua itu.
Meski berada di Oakland, Aster tidak menghentikan kegiatan olah raganya. Dia tetap melakukan lari pagi, meski kali ini benar-benar tidak sendiri. Ethan selalu menemaninya karena dia juga akan menyertai Aster dalam misi.
Mereka berdua berlari beriringan menyusuri jalanan besi yang ada. Dentangannya terdengar beriringan dan konstan. Terkadang mereka sengaja membuat bunyi-bunyian yang membisingkan. Penduduk Oakland yang masih tertidur saat itu kadang merasa terganggu dan harus beranjak dari tempat tidurnya hanya untuk menegur mereka. Saat itu Aster dan Ethan akan mengucapkan kata maaf dan bergegas melanjutkan larinya sembari tertawa-tawa.
Setelah merasa cukup, mereka berdua berhenti di halaman sekolah. Aster memperlambat larinya. Dia terengah-engah sambil tetap tertawa.
“Kamu lihat tadi? Pria berkumis itu? Bahkan dia lupa memakai rambut palsunya.”
“Pantas saja semula aku merasa tidak asing dengan wajahnya. Ternyata... dia si pedangang berambut keriting.”
“Tapi kali ini tanpa rambut keritingnya.”
Mereka berdua tertawa sambil mengatur napas. Aster memberikan sebuah botol minum kepada Ethan setelah lebih dulu meminum sedikit isinya.
“Aku ingin kamu mengajariku sesuatu,” pinta Aster.
Ethan hanya melirik dengan alis terangkat.
“Tolong latih aku bela diri.” Aster meminta bantuan untuk mengasah kemampuan bela dirinya. Sudah lama dia tidak pernah berlatih lagi sejak di akademi. Bahkan pada waktu kejadian di Dione, tubuhnya tidak bisa bergerak dengan luwes akibat jarang sekali latihan. Berbeda dengan Ethan, lelaki tampan itu masih rutin berlatih bela diri meski seorang diri.
Ethan dengan senang hati memberikan pelajaran. Karena ini kali pertamanya dapat berlatih bersama teman sebaya. Tidak bersama anak-anak kecil yang sangat sulit sekali diatur.
“Tidak, bukan seperti itu. Coba berilah ruang di antar kakimu. Jika seperti itu keseimbanganmu tidak akan terjaga. Saat ada orang yang tiba-tiba menyerang,” Ethan melayangkan sebuah pukulan dekat sekali dengan wajah Aster, tapi dia menjaga agar tidak perlu mengenainya. Aster berusaha menghindar hingga terjatuh dibuatnya. “Lihat! Kamu akan dengan mudah kehilangan keseimbangan dan terjatuh.”
“Setidaknya aku bisa menghindari seranganmu, master.”
Ethan membantu Aster berdiri.
“Itu karena aku sengaja tidak mengenakan pukulanku.”
Aster tertawa.
“Kalau begitu, tolong ajari aku!”
“Baiklah prajurit. Aku akan mengajar dengan keras. Tidak ada kata ampun saat latihan. Jangan sampai kamu merengek memaksaku menghentikan latihan. Karena itu tidak akan pernah terjadi,” ucap Ethan sembari berlagak sebagai seorang komandan. Tangannya di simpan di belakang badan dan berjalan di hadapan Aster dengan pelan.
“Anda tidak akan pernah mendengar semua itu keluar dari mulut saya, Tuan!” jawab Aster.
“Kalau begitu bersiap dalam kuda-kudamu! Kita lihat, siapa yang lebih dulu mengalah.”
“Yang pasti itu bukan aku!”
Aster memulai serangannya terlebih dahulu. Mereka berdua mulai berkelahi. Meski latihan, tetapi Aster dan Ethan tetap melakukannya dengan sungguh-sungguh, yang pastinya dengan sangat hati-hati agar tidak perlu melukai satu sama lain.
Kemampuan Aster terbilang lumayan, dia bisa mengimbangi Ethan yang tentu saja jauh lebih handal dibanding dirinya. Tapi Aster tidak pernah mau mengalah. Karena sejak dulu mereka berdua masih tetap menjadi sepasang rival.
Malam hari sebelum hari yang dimaksud tiba. Aster tidak bisa tidur karena membayangkan hari esok. Dia menatap langit-langit kamar sembari berusaha membayangkan seperti apa petualangannya kali ini. Apa yang akan dia dapatkan? Apakah semua akan berbuah manis, sebanding dengan yang telah dikorbankannya sejak dulu?
Aster mengubah posisi tidurnya. Wajahnya kini menghadap ke tembok panti. Sesekali dia membenamkan wajah pada bantal empuknya. Tapi tetap saja semua itu tidak kunjung membuat matanya terlelap.
Waktu menunjukkan pukul dua. Padahal Aster sudah harus pergi menuju gedung walikota pukul enam. Sebenarnya dia cukup lelah berkat latihan kemarin. Tapi matanya seakan enggan bekerjasama. Alhasil, dia menyerah dan memilih untuk bangkit dari tempat tidur.
Aster berjalan menuju beranda kamar. Memanjat ke arah atapnya seperti yang bisa dilakukan saat masih tinggal di panti. Bintang-bintang tampak bertaburan indah sekali di atas sana. Salah satunya bersinar sangat terang, menarik perhatiannya. Aster merebahkan diri senyaman mungkin, sembari tetap memperhatikan semua benda angkasa yang indah di atasnya.
Kenapa kalian tampak ceria sekali? Apa kalian ingin memberitahuku bahwa akan ada sesuatu yang baik menantiku? Sayang sekali kalian tidak bisa bicara. Padahal hanya kalian yang bisa menemaniku di saat seperti ini. Apa kalian sama-sama tidak bisa tidur? Ataukah kalian memang tetap bersinar meski kini sebenarnya tengah terlelap di atas sana? Ayolah bicara padaku!
Bagaimana rasanya berada di atas sana? Apa kalian melihat sesuatu yang tidak bisa kulihat dari sini? Sepertinya nyaman sekali di atas sana ya. Kalau saja aku diberikan kesempatan, aku ingin menjadi bintang. Bertengger di atas langit bersama kalian semua. Apa mungkin sebenarnya kalian adalah penjelmaan dari orang-orang yang sudah tiada? Kalau begitu, seharusnya Edy merupakan salah satu dari kalian.
Pasti itu kamu ya Edy, si bintang yang bersinar paling cerah! Apa yang ingin kamu coba katakan? Aku pasti berhati-hati dan kembali membawa kabar baik. Tolong ceritakan sesuatu! Aku tidak ingin terus terjaga sementara sebentar lagi harus segera pergi menjalankan misi. Ceritakan cerita apa saja yang kamu tahu!
Aster memejamkan matanya, berharap Edy benar-benar ada untuk menceritakan sebuah dongeng pengantar tidur untuknya. Dia merasa hal itu bisa dengan mudah membuat dirinya terlelap. Hanya saja, sebenarnya tanpa hal tersebut mata Aster sudah bisa mulai terpejam. Angin malam membuatnya nyaman dan tenang. Tanpa sadar dia tengah tertidur di atas atap kamarnya. Diselimuti oleh langit malam yang berhiaskan kelap-kelip bintang.