“Jadi.. kemarin kita udah survey…”
Rapat kali ini langsung dibuka oleh Farez seperti biasa, mereka rapat di Teory Café lagi karena memang hanya café tersebut yang dianggap sebagai tempat ideal untuk rapat. Sabrina mendengarkan disamping pemuda itu dengan seksama, meskipun kegundahan hatinya belum bisa dia redakan dari kemarin. Ada sesuatu yang membuat Sabrina salah dan itu terus mengganggu pikirannya. Dia terus menatap Fahreza yang berbicara tanpa mengalihkan pada siapapun.
“Buat tempat nginap kita gimana, Sab?” tiba-tiba saja Farez bertanya padanya. Sabrina benar-benar terkesiap, dia hampir saja terlonjak dan terlihat gugup.
“Duh Sab, jangan dipandangin terus Fareznya” goda Tasya yang duduk tepat di depan Farez. Membuat pipi Sabrina tiba-tiba merah karena menahan malu.
“Tadi gimana rez?” tanyanya lagi pada Farez, mencoba mengabaikan tawa teman-temannya yang sudah membahana karena ucapan Tasya. Sabrina melirik ke arah Tasya dengan tatapan membunuh. Mumun! Bisa bisanya dia berkata seperti itu.
“Buat tempat tinggal kita gimana? Kamu yang ngomong”
Sabrina menghela nafas dan mengangguk. “Sorry, tadi nggak fokus” yang langsung kembali riuh oleh tawa teman-temannya.
“Nggak fokus karena kemaren gue boncengan sama Farez ya, Sab?” goda Lilian lagi. Sabrina menggembungkan pipinya.
“Ihh kalian, fokus dong”
Farez yang ada di sebelahnya tertawa geli mendengarnya. “Udah udah yuk, fokus dulu”
Sabrina menghela nafas dalam. “Jadi kemarin itu kita udah survey buat tempat tinggal juga. Biasanya kan anak-anak yang KKN disana itu tinggal di balai desa. Kemarin aku sama lian sempat nanya rumah penduduk aja. Nah, kebetulan banget nggak disaranin sama kepala desanya karena jauh. Jadi kita tetap tinggal di balai desa” jelasnya mengingat-ngingat calon tempat tinggal mereka selama empat puluh hari tersebut.
“Gimana Sab? Nggak jorok kan?” Tanya Annisa antusias dari ujung meja, Sabrina langsung menggeleng menanggapi pertanyaan gadis tersebut.
“Udah aku kirim fotonya di grup, nis” jawab Lilian.
Mereka langsung membuka ponsel dan melihat foto-foto calon tempat tinggal mereka. “Jadi, kita tinggal di rumah, persis tempatnya di samping Balai desa, satu pagar gitu.. ada mushola juga di depannya. Nanti kita bisa sholat disana. Kalau buat yang cewek, tinggalnya di rumah itu, tapi kalau buat cowok, tinggalnya di balai desa. Ada satu ruangan gitu yang ada di dekat pintu samping rumah yang langsung terhubung keruangan itu, tapi, barang-barang yang cowok tetap di rumah karena Cuma bisa buat tidur dan siangnya dipake buat ngantor”
“Bagus ya tempatnya” komentar Tatiana, yang disetujui oleh teman-teman mereka.
“Bersih sih, trus gratis. Paling ntar kita makan pagi di rumah Pak Lurah trus bayar gitu. Di rumahnya ada TV, dapur, trus ada satu kipas angin. Paling kita bawa kompor sama kipas angin dua lagi, sama beberapa list yang bakalan diurus sama cewek-cewek” ujar Sabrina memberi penjelasan kepada teman-temannya, semuanya mengangguk setuju.
“Sekalian aja Sab di list” tanggap Farez.
Lilian langsung menjawab. “Udah ada kok listnya, tapi mungkin jumlahnya di rombak lagi, catatannya ketinggalan di rumah”
Farez mengangguk-anggukan saja kepalanya.
“Paling ruang belakang bisa dipake buat barang cowok-cowok” Sabrina menambahkan. “Rumah itu ada 3 kamar, satunya dipake buat posyandu gitu tiap bulan”
“Oke.. berarti urusan buat disana udah di urus sama cewek-cewek ya, kita lanjut nih ke program kelompok kita, kemaren itu Jambongsari punya potensi wisata gitu, tapi masih sedikit orang yang tau, mungkin kita bisa pakai itu buat program kita. Atau mau balik lagi ke Plan A kita?” Farez kembai mengambil alih rapat sore itu. membuat Sabrina kembali melirik ke arah pemuda itu, pemuda yang beberapa hari terakhir mampu mendegupkan detak jantungnya yang telah lama mati, membuat sinar dimatanya kembali hidup.
Tapi entah kenapa, semuanya sudah padam. Seolah semua itu hanya angin lalu yang tak akan dirasakan Sabrina lagi, degupan jantung itu… tak lagi pada Farez.
Sabrina mengalihkan pandangannya pada pemuda itu, pemuda yang baru bisa ditatapnya sekian lama setelah Sabrina selama ini menghindari, bahkan untuk kontak mata. Gadis itu tak ingin menatap pemuda itu selama ini, dia takut rasa itu kembali.
Dia takut rasa takut itu kembali.
Sabrina yang terus menatap pemuda itu begitu lama sampai pemuda itu mengalihkan pandangannya dan menatap Sabrina. Pandangan mereka bertemu setelah sekian lama tidak pernah lagi bertegur sapa. Sabrina menelan ludahnya dan bertahan di posisi tersebut.
Tetap sama. Sampai pada akhirnya Sabrina memilih untuk kembali melirik Sabrina, seolah yang tadi bukanlah apa-apa. Seolah tatapan tadi tak pernah ada di dalam hidup mereka, hingga tak akan mengubah apa-apa.
*
Sabrina, Farez dan Tasya masih bertahan di dalam café tersebut. Mereka berenam bersama juanda, Gian, dan faiz memiliki rapat kecil seputar KKN mereka. Farez ingin kelompok mereka membuat semacam video first impression untuk diupload di website KKN mereka. Sehingga ereka masih bertahan meskipun jam sudah menunjukkan pukul Sembilan.
“Gimana? Udah selesai belum?”
Faiz menjawab cepat, “Udah nih” dia memberikan video first impression yang telah diedit kepada teman-temannya. Faiz memang memiliki kemampuan untuk mengedit video, dia bahkan sempat menjadi kepala departemen kantor media universitas.
“Bagus banget, Iz” Sabrina mengangguk setuju dengan ucapan Tasya. Videonya sangat simple namun begitu pas, tidak membosankan dan juga menarik perhatian.
Sabrina melirik ke arah faiz yang tertawa-tawa, pandangannya beralih kepada Gian yang sedari tadi tanpa sadar memperhatikannya.
Tidak mau mengambil pusing akan tingkah temannya tersebut, Sabrina mengalihkan pandangannya pada juanda dan Farez yang tengah mengobrol santai, entah mengatakan apa.
“yuk pulang” ujar Tasya mengambil tasnya.
“yaudah sampai ketemu h-5 upacara”
Sabrina mengangguk, mereka memang menargetkan berkumpul lagi H-5 sebelum upacara pelepasan mereka. Tanpa terasa mereka akan turun langsung ke lapangan padahal rasanya baru kemarin dia membaca nama-nama kelompoknya.
“Sab”
Sabrina yang akan keluar membalikkan badannya, menatap Farez yang sedang mencekal tangannya. Memperhatikan pemuda itu tepat dikedua matanya.
“Kenapa?”
“Kamu pulang sama aku aja”
Sabrina melirik Tasya yang sudah duluan berjalan dengan ketiga teman mereka yang lain. “Tasya gimana? Aku kan berangkat bareng dia”
“Nggak apa-apa ya? Temenin aku nyari martabak dulu”
Matanya membesar dengan cepat, memori Sabrina berputar melesat menjelajahi waktu pada masa-masa itu. Sabrina hanya terdiam dengan wajah yang cukup serius, kemudian menganggukan kepalanya dengan pelan.
Dia sudah sejauh ini kan? Tidak mungkin dia mundur lagi dan menyerah.
Farez tersenyum kearahnya dan Sabrina hanya membalasnya. Pikiran gadis itu kembali berkecamuk, ditambah fakta bahwa tadi malam dia kembali memimpikan pemuda itu.
Gue pasti udah gila. Batinnya.
*
“Apaan lo lama banget!” cecar Sabrina saat melihat pemuda itu datang di depan kosnya. Dia melirik tangan pemuda itu cepat dan mendapati satu batang rokok yang sudah akan habis. Sabrina spontan membelalakkan matanya.
“Lo ngerokok?” itu pertama kalinya Sabrina melihat pemuda itu merokok.
Sabrina berdecak kesal. “Gue nggak mau ya lo bau-bau rokok datang ke gue, gue nggak mau bengek!”
Sabrina ngambek karena pemuda itu tak kunjung menjemputnya. Dia sudah menunggu di depan kos selama satu jam tapi tak ada kabar yang jelas dari pemuda itu. dia hanya merasa kesal, apalagi kalau janji yang sudah mereka buat dari minggu lalu.
“yaampun, Saby gue yang super sensitive. Gue udah bilang tadi ada kuis dadakan dan baru kelar setengah jam yang lalu. Masa gue ketemu lo dengan tampang kucel”
Sabrina merengut kesal. “Kabarin kek, lo datang telat. Ini bikin gue nggak jelas disini sejam” Sabrina masih kesal dan tetap duduk di depan kosnya.
“Iya iya. Maaf ya?” ujarnya namun tak membuat Sabrina luluh.
“Lo cakep banget pake dress segala, mau pergi sama siapa bu?”
Sabrina menghentakkan kakinya dengan keras, berjalan menuju mobil pemuda itu yang terparkir di luar pagar kosnya. “Udah datang telat, ngomentarin baju gue. Gue sebel banget sama lo!” cecar Sabrina lagi, namun dia mau-mau saja saat tangan pemuda itu membukakan pintu mobil kepadanya dan masuk ke dalam mobil.
“Mobil siapa nih? Lo kan Cuma punya motor”
“yee.. lo nggak tau gue punya mobil. Gimana? Lo udah nggak marah kan gue ajak jalan-jalan pake mobil. Lo kan motoran mulu, Sab. Mana pernah lo naik mobil gini”
Ih! Sabrina kesal sekali dengan jawaban orang disampingnya ini, ingin sekali dia turun dari mobil ini dan tidak jadi pergi. dia benar-benar gondok, tapi mau bagaimana lagi, Sabrina justru menantikan sekali hari ini dari kemarin.
“Ini mobil om gue. Kebetulan nggak dipake hari ini” ujarnya, Sabrina masih gengsi untuk melihat ke arah sampingnya. Meskipun pelan-pelan rasa kesalnya sudah tidak sebanyak tadi. Sabrina tetap malu melirik ke samping.
Dia harus tetap marah-marah!
“Udah dong Sab, jangan ngambek lagi. Gue minta maaf ya udah bikin lo kesel. Lo pasti super excited banget karena mau ngedate sama gue kan? Tapi malah gue ada kelas malam dadakan dan bikin lo kesel. Gue harus gimana nih Sab, supaya marah lo ilang”
Sabrina melirik ke arah sampingnya dengan cepat. “Halah! Waktu itu lo juga janji buat ngajak gue nonton tapi lonya sibuk nggak bisa-bisa”
Pemuda itu meliriknya. “Bukannya lo lagi hectic tugas? Sabtu minggu dipake lembur? Kenapa nyalahin gue” Sabrina teringat kesibukannya dua minggu lalu yang membuat kencan mereka tertunda hingga sekarang, meskipun mereka bertemu tiap hari tapi tetap saja mereka jarang jalan dengan baju rapi seperti ini.
“Oh.. jadi salah gue”
Ya Tuhan.
“Nggak Sab, nggak. Nggak salah lo. Udah dong marahnya, lo udah cakep cakep gini masa kita mau debat sepanjang jalan? Udah ya.. maafin gue?”
Sabrina masih tidak mau menganggukkan kepalanya sampai dia melihat penampilan pemuda itu dengan teliti. Tak biasanya dia berpakaian rapi seperti ini? Apakah bukan hanya Sabrina yang menantikan hari ini.
“Saby, maafin dong. Yah, kalau lo marah-marah gini, batal deh gue mau nembak lo”
Sabrina menegang di tempatnya. Perlahan kemarahannya berubah menjadi degupan jantung yang menjadi-jadi. Sampai tangan kiri pemuda itu menggenggam tangan kanan Sabrina dengan erat.
“Apa Cuma gue disini yang excited hari ini, Sab?”
Sabrina ingin sekali menggeleng, tapi dia sudah kepalang malu untuk mengungkapkan isi hatinya. Dia tersenyum diam-diam, dan akhirnya balas menggenggam tangan pemuda itu dengan erat. Seolah tidak akan melepaskan lagi.
Bukan Cuma lo, tapi gue juga.
Our first officially date.