Aku tak henti-hentinya menangis saat menatap pantulan diriku sendiri di depan cermin. Jika pengantin lain akan bahagia menunggu momen sakral ini tiba. Aku justru tak kuasa menahan kesedihan karena tidak ingin momen ini terjadi.
Cklekk...
Pintu terbuka, menampilkan sosok umi yang terlihat pada cermin. Beliau melangkah menghampiriku lalu memegang kedua bahuku dari belakang.
"Sal, ayo keluar," ucap umi dengan suara bergetar. Sepertinya beliau mengerti keadaanku. "Mereka sudah menunggumu."
Aku semakin terisak. Tak peduli dengan make up yang menghiasi wajahku luntur. "Apa nggak bisa dibatalin, Umi?"
Umi menghembuskan napas lelah. "Kamu tau, kan, Abi udah kecewa sama kamu?"
Aku terdiam, lagi-lagi kata itu dijadikan sebuah senjata oleh umi.
"Ini adalah satu-satunya cara mengembalikan kepercayaan abi sama kamu."
"Mau nikah apa enggak, aku tetap dipandang buruk sama orang-orang, Umi. Video itu sudah terlanjur tersebar. Dan, aku dituduh menjadi guru yang melakukan hal senonoh kepada muridnya sendiri. Jadi, untuk apa aku menutupi fitnah itu dengan pernikahan?" Aku meninggikan nada suaraku sambil terisak-isak.
"Untuk menghindari dosa-dosa maksyiat, Sayang." Umi berucap lembut.
"Tapi, bagaimana dengan kehidupanku selanjutnya, Umi? Apa aku bisa bahagia sama Reyhan?" ucapku kasar.
"Terkadang dalam hidup ... kita tidak diberi pilihan, Salis. Kita terpaksa dipilih. Dan, manusia harus berani melaluinya."
"Tapi, kan, ini pilihan Umi sama Abi!"
Terdengar hembusan napas panjang dari Umi. "Umi dan Abi juga tidak ingin ini semua terjadi."
"Tapi, kenapa Umi dan Abi terus mendesak Salis buat nikah sama Reyhan?" Umi terdiam beberapa saat, kemudian terdengar isakan kecil di telingaku. Umi menangis?
"Untuk menyelamatkan hidup Reyhan. Kamu tau?" ucapan Umi tertahan. Beliau tampak meneguk ludahnya dengan susah payah.
"Kalau Reyhan sudah dikeluarkan dari sekolahnya gara-gara khasus itu. Reyhan tidak bisa melanjutkan sekolahnya lagi karena tidak punya biaya sekolah di sekolahan lain. Sementara sekolah yang menyediakan beasiswa bagi siswa kurang mampu hanya sekolahan itu."
Aku terdiam.
"Abi tau kalau video itu hanya salah paham. Tapi, untuk menebus rasa bersalah Abi pada Reyhan kamu akan dinikahkan dengan Reyhan."
"Tapi, Umi ... pernikahan bukanlah suatu hal yang main-main. Apa Umi rela anak Umi diberikan ke orang secara cuma-cuma?" Aku meneguk ludahku dengan susah payah. "Salisah pengen nikah sama laki-laki mapan, Umi. Laki-laki yang bisa membimbing Salisah ke syurganya Allah."
Umi memelukku dari belakang. "Nggak ada pilihan lain, Sayang. Umi hanya punya satu pesan buat kamu. Bimbing suamimu menjadi imam yang baik."
Kata-kata itu benar-benar seperti petir yang mampu menghancurkan jagat rayaku.
"Ridho Allah tergantung ridho orangtua," sahut sebuah suara, membuat aku dan Umi langsung menoleh ke ambang pintu. Ternyata Abi sudah berdiri di sana dengan wajah lelahnya.
"Abi meridhoi kamu menikah dengan Reyhan. Pak penghulu sudah menunggu di luar."
Umi memijat-mijat bahuku mencoba menyemangati.
"Reyhan adalah putra satu-satunya Pak Burhan. Dia adalah satu-satunya harapan keluarga. Tapi, harapan itu harus terkubur karena Reyhan harus dikeluarkan dari sekolah. Reyhan tidak akan sekolah lagi karena tidak memiliki biaya. Kemungkinan besar Reyhan hanya akan bekerja seperti ayahnya yang lulus SD, yaitu kuli bangunan. Jadi, Abi mohon Salisah, kabulkanlah salah satu keinginan Pak Burhan. Yaitu memiliki menantu yang solehah. Pak Burhan hidupnya selalu susah sejak kecil, jadilah alasan senyuman Pak Burhan muncul di bibirnya."
Aku menghela napas panjang. Entah kenapa akhirnya aku menyerah dengan permohonan abi yang konyol itu.
***
Acara pernikahan kami sudah dilangsungkan. Benar kata Abi, melihat wajah bahagia Pak Burhan membuat aku tidak tega membatalkan pernikahan.
Bayangkan saja, bahkan Pak Burhan rela menyisihkan uang dari gaji kuli bangunan untuk diberikan kepadaku. "Untuk nyewa kontrakan kalian berdua," ucapnya waktu itu. Hatiku langsung terenyuh begitu beliau juga mengucapkan. "Kasih waktu Reyhan untuk berubah menjadi imam yang baik, ya, Nak."
Sepertinya beliau adalah sosok ayah yang sangat menyayangi anaknya. Maklum, Reyhan adalah anak satu-satunya yang dimiliki Pak Burhan. Ibunya Reyhan sudah menikah dengan orang lain karena tidak tahan hidup susah bersama Pak Burhan. Hal itu membuatku semakin iba dengan pak Burhan.
Ohw, ya, bagaimana dengan nasibku sendiri? Apakah ada orang yang kasihan denganku? Bayangkanlah aku yang harus menikah dengan muridku sendiri karena sebuah fitnah dari video cctv yang dipotong oleh seseorang. Si penyebar video itu hanya menampilkan adegan-adegan tertentu dan memotong beberapa adegan yang tidak penting, sehingga aku tampak menjadi guru yang b***t di video itu.
Ini adalah cobaan terberat di antara cobaan yang paling berat. Aku tidak yakin hubungan rumah tanggaku akan berjalan harmonis.
"Apakah Bu Salisah akan selalu memarahiku seperti di sekolah?" ucapan Reyhan membangunkanku dari lamunan.
Aku menoleh ke arah Reyhan yang duduk di tepi ranjang tanpa berminat mengucapkan apa-apa. Kemudian kembali beralih ke arah cermin dan membersihkan make up yang ada di wajahku. Rasanya ingin sekali aku menangis lagi jika mengingat takdir yang sedang aku hadapi saat ini. Seolah ini semua bukan hal yang nyata.
"Aku mau ganti baju di kamar mandi. Kamu nggak boleh ngintip, ya?" ucapku kemudian masuk ke kamar mandi sambil membawa baju gantiku. Setelah selesai mengganti kebayaku dengan piama tidur berwarna putih aku kembali keluar dari kamar mandi. Tadi aku sempat berpikir, apakah Reyhan punya nafsu untuk menyentuhku? Argghhh, rasanya aku tidak ingin hal itu terjadi.
Reyhan masih terdiam dengan tatapan sendu di tepi ranjang. Komunikasi kami terasa begitu canggung. Aku kembali duduk di kursi yang ada di meja rias, karena Reyhan belum beranjak dari ranjang. Ingin mengusirnya tapi tidak tega. Aku takut Reyhan melakukan hal yang tidak-tidak kepadaku jika aku tidur di sebelahnya, walaupun dia sudah sah menjadi suamiku. Tapi, aku masih ingin dihormati sebagai guru.
Aku menyibukan diriku dengan ponselku. Bingung harus bagaimana bersikap di depan Reyhan, lihatlah dia yang terlihat masih polos untuk dijadikan imam keluarga. Menyedihkan sekali.
Kubuka aplikasi f*******: dan mencari nama f*******: kang santri yang selama ini menjadi idolaku. Kang santri yang selalu aku bayangkan menjadi suamiku karena ketaatannya dan suara adzannya yang begitu merdu. Tapi jantungku langsung mencelus begitu saja setelah kualihkan pandanganku ke arah Reyhan. Seperti berharap mendapatkan mobil setelah memilih tirai nomor satu di acara Super Deal 2 Miliyar, tapi setelah dibuka ternyata yang didapatkan adalah zonk.
"Ibu mau beristirahat?" tanya Reyhan sambil menaikkan sebelah alisnya.
Iya, jawabku dalam hati. "Ah, enggak." Aku tidak mau beristirahat di situ karena kamu masih ada di situ.
"Owh, iya maaf." Reyhan beranjak dari duduknya. Seolah bisa membaca isi pikiranku. "Kalau ibu mau rebahan?"
Aku terdiam beberapa saat. Tidak menyangka Reyhan memiliki kepekaan yang lumayan.
"Aku tidur di sebelah ibu, kan?"
Tidak! Aku yakin ucapan itu menandakan bahwa Reyhan sudah mulai merangsang melihatku. Pasalnya aku sering memergoki Reyhan dan teman sebangkunya menonton video 18 ples-ples ketika pelajaran sedang berlangsung. Keringat dingin tiba-tiba menetes di dahiku.
"Santai, Bu, aku nggak akan tidur di sebelah, Bu Salis."
Aku semakin terbelalak karena lagi-lagi Reyhan bisa membaca isi pikiranku.
Karakter Reyhan sekarang berbeda dengan karakternya di sekolah. Mungkin, kebandelannya hanya sebagai pelampiasan. Sebagai seorang guru aku sedikit menguasai karakter seorang murid. Tapi, sekarang aku dibuat takjub dengan sifat aslinya itu.
"Kalau begitu aku tidur di luar aja," ucapnya dengan nada lemah sambil melepas jasnya.
"Eh, jangan!" sergahku. "Aku bisa dimarahin Umi kalau mengusirmu dari kamar. Kamu tidur di bawah aja."
"Tapi ibu kelihatan menggoda." Reyhan melirikku dari atas sampai bawah yang langsung aku sambut dengan pelototan. Sebagai orang yang lebih tua aku harus menjadi penguasa di sini.
"Kamu tidur di kamar mandi, ya?" ucapku dengan nada ketus.
Reyhan hanya nyengir kuda. Btw, hanya senyuman manis itu yang menciptakan poin, yang lain melenceng dari gawang. "Aku mau ganti baju dulu." Reyhan masuk ke kamar mandi sambil membawa baju gantinya. "Ibu jangan ngintip."
Sial! Aku terkena sindiran. Anak itu memang pakarnya membantah omongan guru. Tapi, ketampanannya tetap membuat dia menjadi idola di seantero sekolah.
Aku menjatuhkan tubuhku ke ranjang. Hari ini adalah awal dari kehidupanku yang tidak menyenangkan di mulai. Risih pasti melihat orang lain tidur sekamar denganku. Tidak bisa bebas melakukan apa-apa. Ya, Tuhan kenapa begini, sih, jadinya. Aku pengen nikah sama kang santri bukan dengan Reyhan.
Bersambung...