Adik
"Renata, selepas istirahat tolong bawakan kopi buat pak Bram ya! Ada tamu dia"
Saat hendak mengambil bekal nasi yang kubawa dari rumah, Silvi sekertaris pak Bram, direktur pemasaran tempatku bekerja mengintruksi.
"Suruh Bayu aja ya Sil, males aku masuk ke ruangan pak Bram" jawabku enggan. Ya Silvi adalah sahabatku, jadi aku bicara santai padanya.
"Pak Bram yang memintanya langsung, Ren. Kamu mau entar dia lapor ke bu Ajeng, bisa-bisa gajihmu dikurangi" jawab Silvi dengan mimik serius.
"Kenapa sih ga kamu aja, sil. Kan kamu sekertarisnya" aku manyun.
"Ye.. biasa juga aku yang bikinin, kayanya dia rindu berat ma kamu, Ren. Hahaha" jawabnya sambil ketawa.
Pak Bram itu laki-laki dewasa yang sudah beristri dan mempunyai dua anak. Beberapa kali dia bilang suka padaku. Siapa yang sudi.
Aku termasuk gadis yang cantik, kata orang sunda mah geulis pisan. Mamaku Asli orang korea dan ada keturunan jepangnya dari pihak kakek. Dan kecantikan mama menurun padaku. Hidupku saja yang tak seberuntung wajahku hehehe.
Pagi itu saat aku hendak membersihkan ruangan Pak Bram, Dia yang datang lebih awal, tiba-tiba memegang tanganku dan menarikku duduk dipangkuannya. Reflek aku injak kakinya dan aku lari keluar. Sejak saat itu aku ga mau membersihkan ruangannya lagi. Seribu satu alasan aku gunakan, demi untuk tak masuk ke ruangan itu lagi. Dan sekarang huft, aku harus cari alasan apa lagi.
Kuambil bekal dan hp ku dalam loker, kucari tempat duduk dan menyantap bekalku. Perutku sudah keroncongan minta diisi.
Kulihat di layar hpku ada sepuluh panggilan tak terjawab dan satu pesan masuk, ada nama embok disana. Aku penasaran segera kubuka sms dari embok
[Mbak, den Aris kecelakaan dan sekarang ada di Rumah Sakit Harapan]
Aku cemas, kutekan tombol dial.
"Nomor yang anda tuju sedang tidak aktif atau berada diluar jangkauan"
Sial hp embok mati rupanya. Aku panik, cepat aku berlari menuju loker dan mengambil tas, air mataku sudah berjatuhan.
Silvi yang baru keluar dari kantin melihatku panik.
"Ada apa, Ren. Kok kamu nangis?"
"Adikku kecelakaan" jawabku panik.
Silvi sahabatku dari kecil, dia tahu bagaimana aku dan keluargaku. Semenjak ditinggal mama dan papa berpulang, cuma Aris satu-satunya keluargaku. Dia penyemangat hidupku.
Dulu keluargaku keluarga berada. Papaku seorang Hakim yang terkenal. Dia sangat disegani. Hingga tragedi itu datang. Memisahkan kami untuk selamanya.
Masih ingat saat itu, ketika aku semester dua dibangku kuliah. Papa dan mama mengalami kecelakaan yang merenggut nyawa keduanya. Aku syok. Aris yang saat itu masih dibangku SMP, sangat terpukul dengan kepergian orangtua kami.
Dengan pertimbangan yang matang dan penghematan biaya, aku dan Aris pindah kekampung mbok Nah. Wanita sepuh yang menemani keluargaku dan mengasuh aku dari kecil. Aris melanjutkan pendidikan di kampung hingga lulus SMA. Aset papa aku jual untuk kebutuhan dikampung dan biaya sekolah Aris. Dan aku terpaksa berhenti kuliah. Pendidikan adikku lebih penting dari pada aku.
Lulus SMA, Aris mengajak pindah ke kota untuk melanjutkan kuliah. Karena dia diterima di Universitas negri ternama dikota. Hingga aku kembali pindah ke kota kelahiranku. Dengan mengontrak rumah petak kecil, dimulailah kehidupanku disini. Bersama Aris dan mbok Nah tentunya. Wanita sepuh itu tak memiliki anak, jadi sudah dianggapnya aku dan Aris anaknya.
Kujual sawah yang sempat kubeli dikampung, untuk awal aku hidup dikota. Dan aku mulai mencari kerja. Untung aku bertemu Silvi sahabatku, dimasukkannya aku ke kantor tempatnya kerjanya, walau hanya jadi cleaning service, tapi itu patut disyukuri. Aku tidak boleh berharap lebih, karna ijazah yang kupunya hanya sampai SMA.
Itulah cerita hidupku. Dan sekarang aku mendengar kabar Aris adikku kecelakaan. Bagai rekaman yang diputar ulang, aku mengingat kedua orang tuaku pergi karna kecelakaan, aku syok dan takut. Tangisku tak dapat kubendung lagi.
"Tunggu aku disini, Ren. Biar aku ijin ke pak Bram. Aku akan mengantarmu" ucap Silvi sambil berlalu.
Aku cepat menemui Bu Ajeng, atasanku. Aku meminta ijin untuk pulang dan Alhamdulillah wanita yang terkenal jutek itu memgijinkanku.
Saat aku keluar gedung, Silvi sudah menungguku di depan. Mobil putih itu menurunkan kacanya.
"Ayo buruan masuk, Aris dibawa kerumah sakit mana?"
"Rumah sakit Harapan,sil"
Disepanjang perjalanan kucoba menghubungi embok lagi dan nyambung.
"Assalamualaikum, mbok. Aris gimana, mbok? Lukanya ringan atau parah, mbok?" Tanyaku tak berjeda.
"Waalaikumsalam, mbak. Den Aris masih ga sadarkan diri, mbak. Ini masih diperiksa di UGD" suara embok terlihat cemas.
"Ya udah mbok, ini Renata dalam perjalanan mau kerumah sakit, assalamualaikum"
"Waalaikumsalam"
Sambungan telpon terputus, aku masih terisak. Aku takut.
Silvi menguatkanku sepanjang perjalanan. Dia menyuruhku untuk berdoa semoga Aris ga kenapa-kenapa.
Setiba di Rumah Sakit aku langsung menuju IGD, embok menyambutku dan memelukku sambil menangis, aku tau embok pasti takut kehilangan juga seperti aku.
"Siapa wali pasien kecelakaan motor ini?" Tanya seorang suster yang baru datang
"Saya, sus" jawabku
"Silahkan ibu ikut saya keruangan dokter"
Hatiku was was, pasti ada yang serius sampai dokter memanggil wali. Kuikuti suster yang terlihat masih muda dan cantik itu.
Dia berhenti di sebuah ruangan dan membukanya. "Silahkan masuk bu"ucapnya ramah.
Aku.masuk dan Seorang dokter laki-laki yang masih terlihat muda tersenyum kepadaku. "Silahkan duduk, bu..." katanya menggantung
"Renata, dok. Saya kakaknya" jawabku.
"O ya ,bu Renata, begini Pasien Aris mengalami patah tulang didalam dan salah satu tulangnya menusuk paru-paru" kata dokter sambil menunjukkan hasil rongsennya. Kulihat ada gatis putih di dadanya.
"Karna itu harus segera dioperasi, jika tidak maka membahayakan hidup sodara Aris. Dan Itu yang membuat pasien belum sadar sampai sekarang, selain cindera kepala yang dialaminya"
Airmataku yang sudah berhenti tadi, memganak sungai lagi dan sebisa mungkin kutahan.
"Berapa biaya yang dibutuhkan untuk operasi, dok?"
"Sediakan sekitar duaratus juta, bu, karena ini operasi besar, jika ibunya ada BPJS itu mungkin sedikit membantu"
"Tidak, dok. Saya tidak punya BPJS, tapi saya akan carikan biayanya. Tolong operasi adik saya dok" pintaku.
" Baiklah, untuk administrasi bisa dilakukan di depan buk ya" ujar dokter yang kulihat di kartu namanya bernama Reyhan itu.
"Kalau begitu saya permisi dulu, Dok. Dan trimakasih penjelasannya" pamitku
Setelah keluar dari ruangan dokter, pikiranku buntu. Kemana kucari uang duaratus juta dalam semalam, mungkin satu tahunpun aku ga bakal dapat uang dengan nominal sebanyak itu.
Melihatku datang, embok dan silvi menghampiriku, kuseka air mataku yang sudah berjatuhan.
"Mbak, gimana keadaan den Aris?" Tanya embok
"Iya, Ren, gimana keadaan Adekmu?", "kok belum sadar juga" aku tak menjawab pertanyaan Silvi.
Segera kutarik tangan Silvi menjauh keluar dari rumah sakit.
"Silvi, kamu ada uang dua ratus juta?" Aku tanya Silvi yang sudah pasti aku tahu jawabannya tidak ada.
"Gila kamu, Ren. Mana ada aku uang sebanyak itu. Kamu tau sendiri aku bukan dari keluarga berada dan mobil yang kupake juga mobil kantor. Emang uang sebanyak itu buat apa?"
"Adikku harus operasi, sil, dan biaya yang dibutuhkan dua ratus juta. Kalo enggak dioperasi secepatnya Aris bisa ga selamat, Sil" tangisku pecah.
Silvi bengong. Aku tau dia pasti bingung juga sama sepertiku.
Aku duduk di pembatas trotoar rumah sakit sambil menangis.tak kuhiraukan pandangan orang yang mungkin melihatku aneh. Silvi membiarkanku dan sesekali menepuk-nepuk punggungku menguatkan.
Sesekali dia menelpon.entah siapa yang ditelponnya. Matahari sudah senja saat aku mulai tenang dan berhenti menangis.