Apa aku datangi rumah om Haris ya untuk meminjam uang padanya, tapi apa dia mau membantu. Dulu saat papa mama ga ada menawarkan tempat tinggalpun om Haris enggan, padahal dia satu-satunya adik papa.
"Ren, kamu mau nyoba saran yang mau kukasih, ga?" Ucap Silvi membuyarkan fikiranku.
"Saran apa ,Sil?"tanyaku bingung.
"Emmm begini, kamu tau ga? perusahaan tempat kita kerja?"
Aku mengernyitkan dahi mendengar ucapannya.
"Ya tau lah, Gautama Contruksion. Perusaan kontruksi terbesar di negara ini, emang kenapa? Terus solusinya apa? Kamu nyuruh aku pinjem ke perusahaan? Ngaco lu"
"Iya bener, aku mau nyuruh kamu pinjem, tapi bukan keperusahaan tapi kepemiliknya hehehe" jawab Silvi sambil nyengir
"Hah...kamu ngigau, Sil?" Kupandangi wajah sahabatku yang berubah serius itu.
"Kamu tau ga?".
"Ga tau" jawabku masa bodoh
"Makanya mau kukasih tau, pas kuliah dulu kamu tau kak Edo, kan?"
"Edo, ketua BEM kampus kita itu?" Jawabku
"Iya, tu kamu ingat. Aku belum bilang ya, kalo Edo itu putranya Adi Wijaya Gautama, dia CEO di perusahaan kita, Ren. Dulu kan kamu pernah ditolongnya?"
Ingatanku kembali saat kegiatan mos dikampus. Pas kegiatan malam, kak faisal salah satu panitia membawaku ketempat sunyi, alasannya itu bagian dari kegiatan. Aku menurut dan ternyata dia hendak melecehkanku, untung kak Edo tak sengaja melihatku dan menolongku. Hanya itu, tak lebih. Dan karena peristiwa itu, sampai sekarang aku trauma sama yang namanya di rayu laki laki.
"Dia masih dikantor sekarang, Ren. Gimana? mau nyoba?"
"Enggaklah, Sil. Anterkan aku kerumah omku aja"
"Yakin? ga mau nyoba?"
"Enggak, Sil. Ini duit dua ratus juta, Sil. Bukan dua ratus ribu, masa dia mau minjamin gitu aja. Sementara aku ga punya jaminan sama sekali. Aku ga mau berharap"
"Lagian aku ga pernah ketemu dia, eh tau tau nongol cuma mau minjem duit yang ga sedikit, apa dikasih? ga mungkin lah, udah anter aku kerumah om ku aja" lanjutku.
"Om mu yang mana?kamu punya om? Ko aku ga pernah liat?" Selidik Silvi
"Ada... cuma ga gitu deket sama papa, tapi apa salahnya jika dicoba. Dia adik papa, siapa tau dia mau bantu" kataku tak yakin.
"Baiklah, dimana alamatnya?"
Ah Silvi kamu memang teman terbaik ku, aku senyum terindah untuknya.
Kusebut perumahan elit di dikota ini. Setelah satu jam perjalanan, sampailah kita didepan rumah besar berwarna putih ini. Dulu ketika kecil aku sering kesini, karna ini rumah eyang, tapi semenjak eyang tak ada aku tak pernah kesini lagi.
"Bener ini rumahnya?"
"Iya" jawabku singkat.
Bergegas aku turun dan mengetok pagar. Waktu menunjukkan pukul delapan malam. Seorang security keluar membuka pintu pagar sedikit.
"Eh non Renata, bukan?"
"Iya, Mang. Ini Renata" jawabku sambil tersenyum.
"Ya ampun, Neng, mamang pangling. Sudah besar sekarang dan tambah cantik" sambutnya ramah
"Makasih, Mang. O ya mang, Om Harisnya ada?"
"Aduh Non, maaf. Pak Haris dan keluarga teh lagi liburan ke luar negri, Non. Katanya seminggu disana, kemaren baru berangkat. Non ga telpon dulu tadi?"
"Enggak, Mang. Renata ga punya no hp nya" jawabku.
"Eneng mau nelpon? Mamang ada nomornya"
"Enggak, Mang. Renata pamit aja kalo gitu, Assalamualaikum"
"Waalaikumsalam" jawab mang ujang sambil menatapku pergi.
Gontai jalanku menuju mobil Silvi. Baru mendarat pantatku dikursi, si Silvi sudah kepo.
"Ko ga jadi masuk, Ren. Emang kenapa, om mu ga ada?"
"Lagi liburan kata mang Ujang? Seminggu lagi baru datang, kita kekantor aja Sil. Kita coba saranmu" kataku dengan fikiran buntu.
"Baiklah, semoga berhasil ya, Ren" semangat Silvi.
Sampai dikantor, Silvi langsung menuju ruangannya dilantai tiga. Katanya ada barangnya yang masih tertinggal didalam, sementara aku menuju lantai sebelas dimana ruangan Edo berada.Kantor terlihat lenggang jam segini, hanya tinggal sedikit orang aja yang kerja lembur. Sampai dilantai sebelas suasana sepi, aku belum pernah membersihkan lantai, ini kata bu Ajeng hanya orang tertentu yang boleh membersihkan lantai sebelas.
Hatiku berdegup tak karuan antara cemas dan takut. Hanya ada satu ruangan yang masih menyala lampunya. Aku menuju kesana, sampai didepan pintu aku mematung, gamang. Lanjut atau tidak. Semangat, yang penting harus mencoba, Berhasil atau tidak berhasil biar tuhan yang menentukan, batinku. Saat hendak mengetuk pintu, tiba-tiba pintu terbuka dari dalam. Aku terlonjak kaget, seseorang keluar dari dalam.
"Renata, ada perlu apa kamu kesini?" Ternyata pak Bram yang keluar dari ruangan kak Edo.
"Anu pak, saya..." belum sempat aku melanjutkan perkataanku, seseorang keluar.
"Dengan Renata? silahkan masuk. Pak Edo sudah menunggu" perintahnya.
Aku lega. Segera aku masuk. Jantungku saat ini rasanya seperti mau loncat keluar sangking groginya. Keringat dingin sudah membasahi telapak tanganku. Aku berhenti tepat didepan meja. Kulihat Edo menatapku. Aku gugup.
"Gimana kabarmu, Rena? Silvi memberi tahu ku kalau kamu ingin bertemu denganku. Ada perlu apa kamu ingin menemuiku?" Tanya Edo.
"Pertama, alhamdulillah kabarku baik dan yang kedua" suaraku terjeda. Kuremas ujung kemejaku untuk mengusir degup hatiku.
"Yang kedua" belum selsai aku dengan ucapanku, tiba-tiba Edo berdiri dan menarikku untuk duduk di disebuah kursi panjang diruangan itu. Aku kaget dan oleng. Saat hendak terjatuh kak Edo memelukku.
"Maaf ga sengaja, kamu ga papa kan, Rena? Aku cuma mau mengajakmu duduk biar kamu santai ngomongnya dan ga grogi"
"Oh iya, kak. Ga papa" aku beringsut sambil membetulkan dudukku.
"Begini, kak. Aku ingin menemui kak Edo untuk" kataku terjeda kuhirup udara sebanyak banyaknya.
"untuk meminjam uang, ya meminjam uang. Aku sedang membutuhkan uang dua ratus juta saat ini" kataku sedikit ragu.
Ada senyuman disudut bibirnya. Kenapa dia tersenyum? Aku mengernyitkan alis. Mudahan ini tak dianggapnya lelucon.
Kuremas jemariku menunggu jawabannya, fikirku kalo ini ga berhasil aku bisa kembali kerumah om Haris dan meminta no telponnya ke mang Ujang. Untuk meminjam uang padanya.
"Aku akan memberikannya, Rena"
"Benarkah?" tanyaku tak percaya
"Ya, tapi apa yang aku dapat setelah itu?" Edo melanjutkan.
"Aku akan bekerja dikantor ini sampai hutangku lunas, kak. Bahkan tidak digajihpun aku tidak keberatan" jawabku.
"Hahahaha" Edo tertawa
"Aku ga mau itu" lanjutnya
"Lalu?" Aku bingung, apa yang dimau, Harta? Kalo ada harta aku ga bakal sesusah ini, cari pinjaman kesana sini.
"Aku mau kamu" kata Edo dengan wajah serius
"Maksudnya?" Aku masih tak mengerti.
"Aku mau tubuhmu, Rena. Berikan tubuhmu untukku dan aku akan memberikan uang yang kamu mau"
"Hah..."Aku tak percaya dengan pendengaranku.
"Berikan tubuhmu dan aku memberikan uang dua ratus juta padamu" Edo mengulangnya.
Oh jadi bener berita yang kudengar dikampus dulu, kalau kak Edo itu play boy, banyak gadis menempel padanya Tanganku mengepal. Aku berdiri.
"Lupakanlah, kak. Aku tidak membutuhkan bantuanmu" aku beranjak pergi.
Saat sampai didepan pintu aku gamang, dapat dari mana uang dua ratus juta itu, dari om Haris. Ah bisa ketebak jawaban yang kudapat nanti.
Aku berfikir dan berbalik berjalan menuju Kak Edo dan berhenti tepat didepannya.
"Aku menyanggupi persyaratanmu. Aku akan memberikan tubuhku untukmu tapi dengan syarat, berikan uang itu sekarang dan nikahi aku"
"Menikah?" Edo mmengernyitkan dahi.
"Orang tuaku sudah pergi kealam sana, kak. Aku tak ingin menyelamatkan adikku tapi aku membuat papa dan mamaku pergi keneraka, karna itu nikahi aku walau itu hanya sehari, dua hari atau sampai kamu tak menginginkanku. Aku tidak akan menuntumu kelak"
"Baiklah, jika itu maumu. Sekertarisku yang akan ke rumah sakit untuk menyelesaikan adsministrasi biar adikmu dapat segera dioperasi"
"Tunggu, tau darimana kalau adikku sekarang dirumah sakit dan akan operasi, kak?"
"Silvi sudah menceritakan semua sebelum kamu kesini, Rena"
"Dan kamu mengambil keuntungan itu dariku, Kak" potongku dengan sedikit emosi.
"Aku tidak mengambil keuntungan, aku hanya berbisnis" jawabnya sambil tersenyum.
Aku melengos. "Aku tak tau kalau orang kaya berbisnis dengan tubuh orang" lanjutku.
"Aku tidak memaksa"
"Jadi dengan ini kah kamu memikat gadis-gadis itu dulu?"
"Aku tidak pernah memikatnya, mereka yang datang sendiri kepadaku" jawabnya acuh.
Seseorang mengetuk pintu dan masuk, rupanya itu lelaki muda yang mempersilahkan aku masuk tadi.
"Dia Rudi sekertarisku, dia yang akan kerumah sakit dan menyelsaikan segala urusanmu" terang Edo.
"Segeralah kamu ke rumah sakit dan selsaikan semua" perintahnya pada Rudi.
"Baik, pak" jawabnya sambil berlalu.
"Tunggu, aku ikut denganmu" sergahku sambil mengejar Rudi.
"Tidak, Rena. Kamu akan pergi denganku, temani aku malam ini" kata Edo sambil menarik tanganku.
"Tunggu, bukannya tadi sudah kujelaskan kalau aku akan menemanimu dengan syarat" sergahku sambil berusaha melepaskan pegangan tangannya.
"Aku hanya memintamu menemaniku makan" jawabnya tak peduli.
Saat didalam lift suasana hening, Edo tak melepas pegangannya bahkan semakin erat dia genggam tanganku.
"Kamu sudah memesan tempat kan, Rud?"
"Sudah, pak. Dihotel xxx " kata Rudi sambil menyebutkan sebuah hotel berbintang.
"Tunggu... katanya hanya makan kok dihotel?"
"Hahahaha..." Edo malah tertawa.
Didekatkannya wajahnya ke wajahku, " Aku tidak suka makan ditempat umum, banyak gangguan" katanya sambil mengerling nakal. Wajahku merona, cepat ku palingkan mukaku. Eh tunggu kenapa aku malah merona. Kamu harus waspada Renata, laki-laki disebelahmu itu buaya.
Saat sampai parkiran aku teringat Silvi. Baiklah aku bisa membuat Silvi sebagai alasan.
"Eh tunggu, kak. Aku tadi kesini bareng Silvi, aku takut dia masih menungguku" kataku
"Silvi sudah pulang, dia menitipkanmu padaku" katanya sambil membukakan pintu untukku.
Hah...kok bisa, Silvi apa yang dia perbuat. Aku butuh penjelasan banyak darinya.
Melihatku mematung dia segera mendorongku masuk dan menutup pintu.
Dalam perjalanan aku hanya diam. "Kruk kruk kruk" bunyi perutku keroncongan, dari pagi perutku belum terisi. Aku menoleh takut kalau Edo mendengarnya, ah lega rupanya dia fokus menyetir. Aku pegangi perutku supaya tak bunyi lagi. Aku lelah dan tertidur.
Saat aku terjaga ternyata aku sudah ada dalam sebuah kamar megah. Ah Renata bisa-bisanya dalam situasi begini kamu malah tertidur. Kupukul kepalaku berulang kali karna terlalu bodoh. Eh tunggu.. jika ini dikamar hotel. Cepat-cepat ku singkap selimut yang menutupiku. Alhamdulillah seragam cleaning service ku masih menempel lekat di tubuhku. Ku edarkan pandangan. Kulihat Edo sedang menerima telpon di depan jendela.
Aku memandangi punggungnya. Bukankah berdasar berita yang beredar, tiga bulan lagi dia akan menikah, apa aku cuma untuk menemaninya sampai hari itu. Syukurlah jadi setelah itu aku bisa bebas.
"Kenapa kamu memandangku tak berkedip, Rena?" Rupanya dia sudah selsai menerima telpon.
"Emm anggak..." jawabku gugup.
"Ayo cepat kesini aku sudah kelaparan, Rena" perintah kak Edo sambil menarik kursi untukku dan setelahnya diapun duduk.
"Kamu belum makan, Kak?" Tanyaku sambil turun dari ranjang dan duduk didepannya.
"Belum" jawabnya singkat.
Kulihat banyak makanan enak terhidang. Ah aku lapar. Sudah lama aku ga menyantap makanan enak, benar benar menggugah selera, tapi sayang selera makanku betul betul hilang saat ini. Aku hanya teringat adikku. Apa operasinya sudah atau belum. Kenapa Embok tak menghubungiku, bukannya aku tadi pergi tanpa pamit. Ah ya hpku mana. Ku rogoh kantong depan kemejaku. Hp ku tidak ada.
Edo memandangiku yang sedang sibuk.
"Hp mu ku carge, ayo makanlah" kata Edo
"Adikmu sudah selsai operasi dan semua berjalan lancar. Sekarang sudah dipindahkan keruang perawatan, jadi tenanglah" lanjutnya seakan tahu fikiranku.
Disodorkannya piring berisi steak yg sudah terpotong kecil-kecil itu kedepanku, ditukarnya dengan piringku.
Aku harus kuat ga boleh sakit demi adikku, kucomot potongan daging dan memasukannya kedalam mulut, enak. Kumakan lagi dan lagi hingga ludes. Ah belum kenyang kuambil udang goreng dan mengunyahnya, nikmat. Lagi aku makannya hingga ludes. Kuliat makanan lainnya dan ludes masuk keperutku semua. Eh tunggu itu es cream. Kutarik mangkok es itu dan memakan hingga tak tersisa. Saat kulihat Edo memandangiku. Aku menunduk.
"Maaf aku sangat lapar" kulihat Edo tersenyum.
"Iya aku tau, Silvi sudah bilang kalau kamu belum sempat makan dari pagi"
"Besok aku akan menjemputmu, kita ke rumah sakit barengan" kata edo sambil berdiri.
"Begitu adikmu sadar kita menikah, aku tak mau menunggu" lanjutnya sambil pergi keluar.
Aku hanya terpekur melihat Edo hilang dibalik pintu. Entahlah perasaanku saat ini seperti apa, aku tak tau. Yang jelas keputusan sudah kuambil, kedepannya seperti apa? jalani aja.