03

1791 Kata
Chapter 03   "Ibu, pokoknya Hana ga mau dijodohin sama Mark!" kata Hana serius. Malah dua rius dia tuh!   Kini si bungsu dari keluarga Palaguna itu sedang berbicara 4 mata dengan sang Ibu, dikamar ibunya. Itupun setelah Hana mandi dan mengganti gaun sialan yang tadi dia pakai dengan piama bermotif pororo yang lebih Hana sukai.   "Kenapa sih enggak mau? Mark itu ganteng, baik lagi. Kenapa kamu enggak mau sama cowok sesempurna itu?" tanya sang Ibu pada Hana, berusaha menjadi ibu yang baik dulu, enggak memarahi si bungsu tetapi juga enggak langsung setuju. Hana menghela napasnya. "Hana ga mau! Pokoknya ga mauu! Emang Hana ga laku banget ya sampe Ibu harus ngejodohin Hana sama Mark? Hana itu laku, cuman--"   "Cuman Hana mau fokus ke komik Hana yang kedua dulu," potong Ayahnya Hana yang baru selesai menggosok giginya. Hana dapat mencium bau mint dari mulut sang ayah. Gini-gini organ tubuh Hana berfungsi baik, penciumannya tajam tapo kepekaannya enggak.   Lelaki pemilik perusahaan furniture itu kiini duduk disamping istrinya. "Hana, mau sampai kapan kamu gini terus? Sampe kamu bikin seribu judul komik? Kamu tuh harus sadar, kamu udah tua. Dan ayah ga mau kamu jadi perawan tua."   "Ayah umur aku baru 22 tahun! Kenapa sih Ayah ga ngejodohin Kak Jevon atau Jeffrey dulu?"   Sumpah deh, selama perjalan pulang tadi, Hana berpikir kritis. Kenapa harus dia duluan yang menikah? Kenapa enggak dua kakaknya yang masih melajang aja duluan?! Kedua orang itu kan lebih tua dari Hana.   "Karena cuman kamu yang pembangkang sama Ayah. Cuman kamu yang ga mau masuk Ipa pas SMA, ga mau masuk jurusan manajemen bisnis, dan ga mau ngurusin perusahaan Ayah, terus malah banting stir jadi komikus bukannya kerja di dinas sosial!" akhirnya pertanyaan Hana terjawab sudah, dia enggak lagi penasaran, tapi sumpah ... Masa cuman karena itu?   Hana sampai-sampai terdiam untuk beberapa saat, enggak bisa membalas apapun terkaitl ucapan Ayahnya barusan. Yang ayahnya bilang itu bener. Cuman Hana yang pembangkang di keluarga.   Bukan pembangkang sih, Hana enggak suka memaksakan dirinya berada di antara sesuatu yang enggak dia suka. Karena itu menyiksa, suer.   Toh kedua kakaknya udah jadi penurut, mereka bahkan terlihat lebih sukses ketimbang Hana. Jadi ga apa-apa dong kalo Hana milih jalan beda? Hana itu manusia merdeka, bukan boneka, jadi dia berhak dong memperjuangkan pilihannya?   Sayang sekali Ayahnya Hana enggak suka melihat Hana melakukan sesuatu yang unfaedah seperti ngomik itu. Menurutnya menjadi komikus bukan pekerjaan yang bagus, akan lebih baik kalo Hana bekerja di perusahaannya atau di sekitaran pemerintah.   "Tapi Pah, pekerjaanku itu halal, aku juga tidak memakai embel-embel nama Ayah pada pihak webtoon pun bisa jadi official. Terus apa salahnya jadi komikus?" ucap Hana sembari menatap Ayahnya. Setelah sekian lama berpikir, akhirnya dia bisa mengatakan hal itu.   "Hana, jujur yah, Ayah malu sebenarnya punya anak yang tidak meneruskan perusahaan Ayah yang udah besar itui, apalagi kerjannya cuman jadi komikus. Temen-temen Ayah bahkan terang-terangan ketawa ngedenger kamu jadi komikus. Lagian nih ya bikin komik itu ga bisa menjamin masa depan kamu Han--"   "Kan udah ada kak Jevon sama Jeffrey. Lagian Ayah,  aku ga ngerti soal bisnis Ayah."   "Ya kan bisa ngurus akutansi atau manajemenya."   "Aku buta akutansi, yah. Ayah mau perusahaan jadi rugi karena aku yang ngurus keuangannya? Aku juga ga suka di manajemen."   Kedua orangtua Hana terdiam setelah mendengar ucapan Hana. Memang sih Hana suka mual duluan kalo udah liat yang berhubungan dengan hitung-hitungan.   Dari dulu mereka sadar Hana enggak punya kemampuan kaya Jevon dan Jeffrey, terutama dalam bidang hitung menghitung, manajemen sesuatu, dan public speaking. Hana itu anaknya introvert, cenderung benci keramaian dan suka bekerja sendiri. Tapi jelas Ayahnya enggak mau Hana terus-terusan begitu, sikap itu enggak baik dalam dunia kerja.     "Oke lah gini aja, aku mau aja di jodohin sama kalian, asal calon suami aku jangan si Mark," kata Hana memecahkan keheningan. Toh masalahnya cuman sama Mark, kenaoa harus membahas kerjaan juga? "keluarga Lee itu anaknya ada tiga kan? Yah berati ga masalah dong kalo aku nikah sama Kak Theo atau Januar aja? Asal jangan Mark."   Kini kedua orangtuanya saling bertatapan. Sebenarnya sih mereka bisa saja mengiyakan, keluarga Lee juga. Tapi keduanya mempertimbangkan satu hal.   Ucapan Mark saat Hana tidak ada disana. Yang seolah berkata kalo dia ga mau ditikung adiknya. "Emang kenapa kalo Mark?" tanya Ayahnya berusaha melunak. "dia ganteng, dia udah megang cabang perusahaan keluarga Nasution, dia itu udah sukses ketimbang si Januar yang lagi ngurusin tugas akhirnya. Udah selesai S2 pula. Jadi dia bakal menjamin masa depan kamu kalaupun kamu tetap ingin jadi kom--"   "Aku ga mau nikah sama mantan. Apa kata dunia ntar kalo seorang Farhana Juan Palaguna nikah sama mantannya yang playboy?" potong Hana dengan cepat.   Sebenarnya yang bikin Hana enggak mau nikah sama Mark itu gengsinya. Hana enggak mau dicap yang aneh-aneh sama temen-temennya pas ngedenger hal itu. Bisa-bisa dirinya jadi bahan tertawaan.   "Ya emang kenapa kalo sama mantan. Toh Mark tetep manusia kan?" kata Ibunya.   Iya sih. "Tetep Hana ga mau! Pokoknya kalo tetep mau ngejodohin Hana, jangan sama si borokokok Mark! Januar aja." Hana lalu berdiri. Dia tidak tahan kalo kelamaan berada disini, rasanya ingin segera mengumpat dan menyebutkan seluruh isi kebun binatang. Namun Hana masih sadar diri. Dia ga mau dimasukan lagi ke kandungan ibunya setelah 22 tahun bertarung dengan kehidupan dunia.   Hana hendak pergi, namun ayahnya menahan tangannya. Pria berumur lebih dari setengah abad itu menatap Hana tajam. "Berhenti jadi komikus, kerja jadi di perusahaan Paaoh dan tidak menikah dengan Mark, atau menikah dengan Mark dan melanjutkan hidup semaumu. Tinggal pilih."   Hana menghela napasnya. Ini pilihan sulit pemirsa. Hana enggak bisa memilih salah satu dari pilihan tersebut.   Dia masih yakin dengan pilihannya utamanya. "Enggak! Aku tetap jadi komikus dan menikah dengan Januar!" Hana lalu melepaskan paksa cengkeraman ayahnya. "aku bilang aku hanya keberatan masalah dengan siapa aku menikah. Bisa ga sih kalian ngerti?"   "Tapi Hana, Mark itu mantan kamu--" "Dan nikah sama mantan kemungkinannnya sama kaya baca buku untuk kedua kalinya. Endingnya pasti sama. Cuman bedanya kalo dulu putus, ntar mah cerai."   "Hana!"   Hana tidak memperdulikan teriakan ayahnya, dia tetap keluar dari kamar kedua orangtuanya dan membanting pintu kamar itu. Mungkin benar, Hana seharusnya pulang ke apartemennya. Bukan rumah besar yang mirip neraka ini. Percuma saja meminta dengan baik-baik toh hasilnya tidak jelas.   Tapi bagaimana caranya Hana ke apartemennya? Ini sudah jam 12 malam lebih. Hana enggak bisa mengendarai apapun, taksi jam segini juga udah molor, ga mungkin kan Hana jalan kaki sampai apartemennya?   Atau dia harus tidur disini aja?   Tapi Hana enggak mau tidur disini.   "Eh ada Hana," Jevon menyapa adik bungsunya. Lelaki yang masih mamakai jas itu menghampirinya. Tadi Jevon mah pulangnya belakangan karena ngobrol dulu sama temennya buat reuni yang konon bakal dilaksanakan besok. "kok tumben belum tidur. Kangen gua--" "Anter gua ke apartemen," potong Hana tiba-tiba. Anak ini suka banget motong omongan orang kenapa sih?   "Hah?" Jevon jelas bingung lah. Tiba-tiba minta dianterin ke apartemennya, EMANG JEVON INI OJOL?!   "Anter gua ke apartemen, sekarang."   "O-oke," tapi yaudahlah dia iyain aja, daripada nantinya Hana lebih bete. Lebih berabe kalo gitu caranya. "ke mobil yu."   Hana menjatuhkan tubuhnya keatas kasur kesayangannya setelah sampai di apartemen ini. Sementara Jevon hanya duduk di kursi dekat kasur.   Jevon heran, kenapa adiknya hari ini begitu manja dan agak mengesalkan disaat bersamaan? Jevon bukannya enggak suka sama sifat Hana yang begitu, namun jujur ya ini seperti bukan Hana. Adiknya itu emang agak nyebelin, apalagi kadang omongannya terlampau jujur sampe bikin beberapa pihak sakit hati. Tapi meskipun begitu, Hana enggak manja kok.   Hana seperti sedang terkena masalah. Masalahnya, Hana enggan cerita kepadanya. Padahal Hana itu selalu bercerita kepadanya tentang apapun. Bahkan untuk hal spele seperti ketika Hana lupa mengsave gambarannya sekalipun.   "Han, kamu kenapa?" "Enggak apa-apa. Males aja di rumah." Sudah lima kali Jevon bertanya begitu dan jawaban Hana selalu sama. Hana sepertinya menyembunyikan sesuatu. Tapi apa? Jevon ketinggalan apa?   "Oh iya, omong-omong tadi Abang darimana?" tanya Hana setelah bangun dari tidurnya dan duduk menghadap kakaknya yang lebih tua 6 taun darinya.   Jevon berdiri dari kursi itu dan memgambil kresek yang dia taruh di meja makan. "Biasa, ketemu Hanif dan beli Pizza buat Adek," Jevon menyodorkan Hana box Pizza yang masih hangat itu dan duduk disamping Hana. "ngomongin acara reunian buat besok tadi tuh."   Hana membulatkan mulutnya, sebenarnya dia hanya berbasa-basi biar Jevon ga banyak nanya terus. Perempuan itu lantas membuka box pizzanya. Benar saja, Jevon membelikan pizza kesukaannya. "Btw, makasih pizzanya."   Jevon tersenyum senang mendengarnya. Hana jadi ikut tersenyum karena lelaki itu. Andai Jevon itu pacarnya, mungkin Hana sudah berbahagia bersamanya. "Sama-sama sayang."   "Idih najiz, manggil sayang. Gembel luu," ledek Hana setelah ngambil Pizzanya. Dia menyodorkan lidahnya pada Jevon. Hana kalo sama Jevon emang serandom ini pemirsa, bisa mersa dan bisa juga kek musuhan.   Jevon tertawa kecil lalu menarik tubuh adiknya itu kedalam dekapannya. Kedua tangan kekar penuh tato milik lelaki itu melingkar di pinggang Hana setelah menyingkirkan rambut Hana yang cukup panjang. Jevon kemudian menaruh dagunya di pundak kanan Hana, tepatnya di perpotongan leher Hana. "Oh jadi kamu ga pernah sayang sama aku?"   Yah mulai lagi kan penyakitnya Jevon. Padahal Hana masih makan pizza.   "Engga tuh," balas Hana ketus. Berusaha membalas dengan dingin padahal mah dalemnya udah ambyar.   "Yakin?" bisik Jevon didepan telinga Hana, sekarang dia merasakan hembusan napas Jevon di lehernya dan badannya pun merinding. Kakaknya memang biadab. "yakin ga sayang sama Abang?"   Hana enggak bisa ngejawab, lidahnya terasa kelu. Inginnya sih bercanda, tapi kalo Jevon sudah skinship begini Hana ga bisa buat bercanda. Jevon seolah membuatnya mati gaya, susah ngapa-ngapain!   Karena tidak kunjung menjawab, pipi Hana kemudian dicium Jevon. Bibir Jevon seolah memberi tubuhnya sebuah aliran listrik sehingga kini Hana lupa caranya bernapas. Sial.   "Yakin ga sayang abang?" Jevon bertanya sekali lagi, kali ini nadanya lebih menggoda dari sebelumnya.   "I-iya." Tuhkan, Hana kelagapan. Enggak bisa mempertahankan dirinya.   Lagian mana mungkin Hana ga sayang sama Jevon. Hana itu sayang banget sama Jevon, karena disaat orang-orang mencemoohnya saat berada dititik terbawah, Jevon malah memeluk Hana dan berkata: you are doing well, Hana.   Jevon seakan selalu ada untuknya, walaupun nyatanya raga Jevon enggak selalu berada disamping Hana. Jevon selayaknya kekasih yang sempurna untuk Hana. Malah kalau bisa Hana tidak ingin menikah dengan siapa-siapa, asal disampingnya ada Jevon itu sudah cukup.   Walaupun dia tahu kalo ini hal yang salah. Andai mereka bukan adik-kakak.   "Yakin ga sayang?" "I-iya." "Benerr?"   "Iya."   "Em yaudah, aku balik ke Kalimantan ya--"   Hana menahan tangan Jevon. "Jangann." rengeknya lalu menarik Jevon kedalam pelukannya. "Hana masih kangen Bang Jevon." Jevon membalas pelukan Hana. "Jevon juga."   Setelah 10 menit mereka berpelukan, Hana melepaskan pelukannya dan menatap kakaknya itu. "Abang, mau bobo? Hana ngantuk."   "Iya, tapi sebelumnya Hana mandiin Abang dulu."   "Kok dimandiin?"   "Ya biarin atu—"   "GA MAOOO!!" Hana kemudian mendorong Jevon agar jauh-jauh darinya. "abang mesumm!" Jevon tersenyum miring. "m***m apa ah? Kamu juga suka desah kalo abang cium--"   "ABANGSATTT! ENYAH KAO!" Hana akhirnya melemparkan guling pada Jevon.   "AMPUN BOSQU!!"   
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN