Chapter 06
"Hanaku sayanggg~"
Jevon langsung membalikan kursi putar Hana dan memeluk adiknya itu. Padahal sebelumnya Hana lagi nyelesain lineart buat webtoonnya.
Hana mau ngambek dan mukulin badan Jevon. Tapi apa daya, tubuhnya lemah. Apalagi ketika Jevon mengangkat tubuh mungil Hana dan menjatuhkannya keatas ranjang yang tak jauh dari situ.
Hana berontak, tapi ga ngefek apa-apa. Jadi dia cuman bisa teriak. "WOEY ANJENGG! LO NGAPAINNN SETANN?!"
Untungnya sih apartemen Hana itu kedap suara. Jadi teriakan laknat Hana enggak bakal kedengeran sama tetangga.
Jevon meletakan kepalanya diatas perut rata Hana. Tubuh Hana otomatis tegang. Sialan emang si Jevon! Dia lupa apa kalo perut Hana sensitif banget!
Hana ngedorong kepala Jevon biar enggak nempel terus di perutnya, sayangnya itu tidak berguna permirsa. Kepala Jevon tetap diatas perutnya.
"LU KENAPA SIH SETAN?! DATANG-DATANG BIKIN RUSUH?! MAU MATI YAA?!" pekik Hana keras, saking keselnya sama Jevon. Otaknya tuh pusing abis ngebantuin Januar nyusun kata-kata tadi, dia juga pusing karena komiknya ga beres-beres, dan kini kedatangan Jevon bikin Hana lebih ngerasa pusing.
"Bentar. Plis gue mau gini dulu, lima menit aja," pinta Jevon dengan suara seraknya. Kayanya sih Jevon abis nangis. Video tausiah apa ya yanh dia tonton sampe nangis dan suaranya serak begini?
"Satu menit."
"Eh anjir, bentar amat. Lima menit lah."
"Daripada lima detik?"
"Yaudah 1 menit." Jevon akhirnya mengalah. Lelaki itu mencari posisi nyaman untuk kepalanya, tapi yang ada rambutnya malah di tarik sama Hana. "Diem anjing, geli!"
Jevon mengalah, akhirnya dia diem juga.
Sementara itu Hana menghitung angka 1-60 didalam hati. Setelah selesai menghitungnya, Hana bicara lagi. "Woey bangun, udah semenit!" tak lupa anak sialan ini menarik-narik rambut Jevon yang agak panjang melebihi telinga. Rambut Jevon emang jabrig, kaya cewek kalo sekilas, untung aja Jevon ganteng jadi ga pernah disangka cewek.
Jevon bangun dengan terpaksa. Dia duduk disamping Hana yang ikutan duduk juga. Matanya agak sembab, terlihat sedikit berkaca-kaca. Jevon menatap Hana dengan sendu.
"Han, gua disuruh balik sore ini. Huaaaaa," dan Jevon pun memeluk Hana. "gua masih kangen sama eluu. Tapi tiba-tiba besok ada meeting coba. Padahal gua udah minta di gantii, cuman kata si Minoanjing ga bisa. Huaaa Hanaaaaa. Gue jam 8 harus ke bandaraaa."
Hana membalas pelukan Jevon, tapi tidak membalas celotehan kakaknya itu. Gadis itu lebih memilih untuk mengusap rambut kakaknya.
"Hanaaa, gua masih kangennn!"
"Iya gua juga," kata Hana menanggapi ucapan Jevon setengah sesegukan. "tapi lu harus kerja bang."
"Lu mau ga pindah ke Kalimantan?" tanya Jevon tiba-tiba. Keluar topik banget. Tiba-tiba ngomongin pindah.
Hana mau sih, tapi dari dulu juga dia enggak dijinin pindah ke Kalimantan. Ya kali, kalo iya pindah Hana enggak akan tinggal disini. "Lu tau kan Mamah sama Ayah ga akan ngijinin."
"Kabur aja."
"Mau kabur gimana anjeng? Di Kalimantan juga pasti ada bawahan Ayah, pasti dia laporan ke Ayah lah, dan ujungnya gua ditarik balik ke sini."
"Ih tapi gua ga kuat LDRan terus sama elu Han."
"LDRan your head? Kita ga pacaran, koplok."
Mendengar itu Jevon langsung melepaskan pelukannya. Kini Hana dan Jevon saling bertatapan. "Tapi gua cinta sama elu Han, dan cinta itu ga butuh status."
"Kita sedarah Bang," tukas Hana dingin. Hana sejujurnya benci kalau udah membahas status. "gua juga cinta sama elu, tapi gua sadar diri kalo kita itu sedarah. Kita ga boleh gini terus."
Sehabis pulang dari makan dengan Januar, Hana sedikit terbukakan akan sesuatu sebenarnya. Dia sadar masih banyak lelaki yang menginginkannya, dan Hana harus melepaskan diri dari ikatannya dengan Jevon jika ingin hidup keduanya lebih baik.
Bagaimanapun Hana dan Jevon sedarah, sampai lebaran monyet pun keduanya enggak akan bisa menyatu hanya karena cinta.
Jevon meremas kedua pundak Hana. Jujur, dia enggak suka topik ini. "Han hubungan gua dan elo bukan tindak kejahatan. Jadi kenapa ga boleh?"
"Kalo bukan tindak kejahatan, Ayah udah ngijinin kita nikah dari dulu Bang," ucap Hana. "dia juga ga akan ngirim elu ke Kalimantan buat ngejauhin kita, Bang. Dan elu masih bilang hubungan ini bukan tindak kejahatan? Iya bukan, tapi tetep aja kita enggak bisa ngelanjutin hubungan ini."
Jevon langsung terdiam mendengarnya sementara Hana turun dari kasurnya dan mengambil cutter yang ada di meja kerjanya. Entah apa yang Hana pikirkan tapi Hana malah menggoreskan cutter itu ke pipinya, sehingga terlihat sayatan-sayatan dan mengeluargakan darah di pipi kanannya.
Jevon yang semula terdiam jelas langsung menghentikan perbuatan Hana, dia langsung melempar cutter tersebut. "Lu udah gila?!" Jevon membentak Hana lalu menyeka darah dari pipi Hana. "dimana p3k nya?"
Hana menahan tangan Jevon. "Enggak usah. Ini ga sakit."
"Tapi pipi lo berdarah g****k!" bentak Jevon.
"Ini biar lo ga suka sama gua lagi goblog!" Hana balik membentak kakaknya itu. Jevon jelas menatapnya tak percaya. "H-han elu ..."
"Gua capek bang, gua capek harus terjebak dalam hubungan ini terus! Toh ujungnya kita ga bisa bersama sebagai suami istri. Jadi gua mohon, kita sama-sama mundur. Jangan suka sama gua lagi. Lupain persaan kita, lu cukup sayangi gua sebagai adek lo," Hana pada akhirnya mengucapkan itu dengan lirih. Matanya mulai berkaca-kaca mengingat hubungan terlarang keduanya.
Hana dan Jevon seharusnya sama-sama menahan diri. Hana dan Jevon tidak seharusnya mempunyai hubungan yang intim seperti ini. Hana benci kenyataan sialan dimana status keduanya adalah adik-kakak, bukan pacar.
Setelah menangis cukup lama, akhirnya Hana mengangkat kepalanya, menatap Jevon. "Aku cinta kamu, Jevon. Tapi aku juga sadar hubungan kita ini salah, ini enggak bisa diteruskan," ucap Hana lembut, untuk pertama kalinya Hana menggunakan aku-kamu ketika berbicara. "aku harap kamu ngerti—"
Jevon tidak membalasnya, dia memilih untuk memeluk Hana lagi, tanpa mengucapkan apapun.
Jujur hati Jevon sangat sakit ketika tahu Hana seolah menyerah begitu saja dengan hubungan ini, parahnya ia juga menginginkan Jevon melakukan hal yang sama.
Jevon sangat mencintai Hana, lebih dari yang Hana tahu, lebih dari yang orang lain tahu. Dan jika boleh jujur Jevon tidak ingin berpisah begitu saja dengan Hana, secara raga ataupun rasa.
"Bang Jev—"
"Shh diam sebentar ya. Biarkan aku memelukmu dengan serius, setidaknya untuk kali ini," ucap Jevon pelan. Lelaki itu mengeratkan pelukannya pada tubuh Hana. Keduanya sama-sama menangis dalam diam.
Sebelum akhirnya mereka harus berpisah, dan menyudahi kisah terlarangnya.
Jevon pergi dengan hati yang sudah terpecah belah, gadis yang barusan dia peluk pelakunya. Namun bodohnya, setelah terjadi semua hal ini Jevon masih mencintai Hana.
Lelaki itu mengusap sudut pipi Hana, membersihkan airmata adiknya. Menghela napas berat, lelaki itu akhirnya memiringkan kepalanya lalu mengecup bibir Hana dengan lembut. Kali ini Jevon benar-benar enggak memiliki niatan untuk membuat Hana mendesahkan, dia benar-benar mencium Hana dengan segenap rasa cinta. Karena ini untuk terakhir kalinya.
Hana menyerah, itu artinya Jevon juga harus menyerah. Jevon enggak ingin memaksa adiknya. Kebahagiaan Hana adalah kebahagiaan untuk Jevon juga.
Tautan itu terlepas, mata Hana masih berkaca-kaca. Makannya Jevon berinisaitif menciumi seluruh wajah Hana. Lelaki itu menyatukan keningnya dengan kening adiknya. "Hana, yang perlu kamu tahu meskipun aku tahu ini terdengar cringe dan kamu enggak akan menyukainya, tapi aku benar-benar mencintaimu. Kamu itu semestanya aku, seseorang yang menjadi pusat hidup aku sejak dulu. Tapi sekadang, I'm must letting you go, right?"
"Aku bukan mau kak Jevon pergi," kata Hana lalu menghela napasnya. "aku cuman ga mau kita begini lagi." Hana bener-bener capek dengan hubungan ini, terlebih sekarang dia dijodohkan dengan Mark—meskipun Jevon belum tahu karena waktu pertemuan keluarga, dia ga nimbrung.
"Tapi buat aku, itu sama aja kaya aku harus pergi. Nantinya kamu akan menjadi semesta untuk orang lain, Han," ucap Jevon. Lelaki itu berusaha tersenyum meskipun dadanya sesak. "makasih udah jadi bagian dari hidup aku, meskipun yah tetep kamu enggak akan jadi milik aku seutuhnya. Semoga kelak kamu bakal bertemu dengan lelaki yang mencintai kamu, lebih dari ketika aku mencintai kamu, Farhana."
Hana menangis mendengar semua ucapan Jevon. Semua ini terasa perih, padahal dia sendiri yang ingin berhenti.
"Astaga jangan nangis," Jevon segera mengusap air matanya Hana, dia enggak tega melihat adiknya begini. Padahal keduanya saling mencintai, tapi kenapa takdir sekejam ini pada keduanya? Apalagi sampe membuat Hana menangis begini.
Gimana caranya Jevon pergi ninggalin Hana kalo begini?
"Tidur yu," Jevon menarik Hana kedalam dekapannya. Ia menepuk-nepuk kecil punggung sang adik agar mengantuk. Cuman ini satu-satunya cara biar Hana agak tenang. "jangan gini, kalo kamu gini gimana bisa aku pergi ninggalin kamu, Han?"
"Woah Markana, tumben sekali datang kesini," sambut Julio ketika Mark datang ke tempat club malam remang-remang ini. Ini adalah salah satu keajaiban dunia, menn.
Habisnya seorang Markana Laksana Nasution pastilah sibuk, ga mungkin lah seorang Ceo muda seperti Mark datang ke club malam. Dia seharusnya sibuk bersama kertas-kertas berisi tulisan aneh yang bikin Julio pengen berak ketika membacanya.
Kalo Mark sudah kesini, apalagi tanpa membawa cewek, Julio yakin dia sedang stres. Bartender itu tau benar tentang mantan teman sekelasnya semasa SMA itu.
"Ga sama Yira atau Nancy? Atau mungkin Mina?" tanya Julio setelah menyodorkan gelas pesanan pelanggan lain.
Mark menggelengkan kepalanya. "Enggak, mereka ngerepotin."
"Terus mau ngapain lu kesini? Jangan bilang cuman minum air putih kaya si Shanin," ucap Julio sembari memutar matanya. Kan sebel aja kalo ada orang yang memesan air putih di club elit begini, pengen nyeleding jadinya.
"Enggak, gua mau minuman yang paling mahal disini. Dua botol ya," balas Mark. Oh tentu saja Mark enggak mau dianggap seperti Shanin, lagian dia enggak semiskin dan segoblok itu.
Julio menatapnya heran. "Serius lo? Bukannya lo ga kuat minu—"
"Bacod lo. Yang penting gua bayar kan?"
"Hm iya sih."
Walaupun begitu yah Julio juga ga tega kalo liat Mark udah minum, jadi keinget 2 taun yang lalu saat pertama kalinya Mark minum minuman beralkohol dan mabuk berat.
Kasian aja liatnya, kek gembel taman lawang. Nista-nista gimana gitu.
Dan pada akhirnya Julio hanya menyodorkan bir pada Mark, yang seinget Julio kadar alkoholnya kurang dari 5%. "Nih."
Mark malah menatapnya tajam. "Lu pikir gua sebego itu? Ganti gua ga mau ini," titah Mark dengan kejinya. "kasih gua wiski atau vodka aja lah sekalian."
Mata Julio langsung membulat mendengarnya. Dia jelas langsung menjitak Mark. "Lu gila hah? Lu tuh minum wine segelas aja langsung oleng, apalagi minum vodka?! Lu wanna die?"
Mark menatap Julio dengan sandu, seolah dia benar-benar meminta. "Gue cuman lagi pengen aja. Ayo lah, kasih gua minuman itu."
"Kalo lo mabok beneran gimana anjir?! Ntarnya ngerepotin gua!" sentak Julio kesel.
Mark menyodorkan ponselnya. "Lu tau kan passwordnya. Ntar kalo gua udah bener-bener mabok, lu hubungin siapa aja. Asal jangan keluarga gua."
"Lah napa anjing?"
"Gua males ke rumah," kata Mark setengah memelas. Bikin Julio jadi ga tega liatnya. "jadi kasih gua vodka ya?"
"No!" sergah Julio. "wine aja oke? Biar lo ga langsung mabok."
Setelah mendapatkan persetujuan dari Mark, Julio segera mungkin mengambilkan wine untuk temannya itu.
Mark terlihat kacau, benar-benar kacau. Julio tidak mengerti apa yang terjadi dengan temannya itu. Yang jelas Mark seperti 2 tahun yang lalu, sebelum dirinya benar-benar menjatuhkan diri ke dalam dunia yang gelap tak berujung ini.
Julio yakin Mark sedang stress sekarang. Biasanya Mark kalo enggak stres enggak akan langsung nyamperin dia, dan biasanya juga Mark hanya meminum minuman yang kadar alkoholnya kurang dari 5%. Banci emang, malah Yira lebih kuat minum ketimbang Mark.
Julio menuangkan wine ditangannya dengan penuh keraguan pada gelas kaca itu. Setelah selesai Mark langsung meminumnya dengan sekali teguk. "Lagi, Mbul."
"Sabar anjeng!" Julio menuangkan minuman anggur itu lagi pada gelas yang di pegang Mark. "lu lagian kenapa sih kesini? Tumben juga pesennya yang kaya gini. Jangan bilang gara-gara Hana lagi."
"Iya."
Julio lagi-lagi kaget mendengar jawaban Mark. Ya kali Mark datang kesini karena cewek yang sama? Seingat Julio Mark itu punya banyak simpanan, kenapa dia harus lemah begini karena seorang Farhana?
Dulu juga begitu, ketika Mark dan Hana putus tempat pelarian Mark adalah club malam ini.
Padahal yang mutusin Marknya. t***l ya.
"Serius lo?" tanya Julio tak percaya.
Mark meneguk minumannya lagi. "Orang mabok ga bisa bohong Jul. Serius gua."
"Bukannya kalian putus? Udah lama lagi putusnya."
"Iya tapi kemarin gua dijodohin sama Hana."
Julio spontan bertepuk tangan. Gila ya, takdir selucu itu. Gimana bisa dua orang yang udah berstatus mantan kini dijodohkan. "Bagus dong, lu kan emang gagal move on dari Hana. Malah cewek secantik Nancy aja ga bisa ngegeser posisi Hana di hati lo kan?" kata Julio yang tau banget siklus percintaan Mark.
Mark bukan playboy sebenarnya, dia hanya mencari perempuan yang tepat untuk menggantikan nama Hana di hatinya. Karena Mark emang sebucin itu sama Hana sejak SMP. Gila sih, lama banget emang. Makannya pas putus Mark ga bisa sepenuhnya buat ngelupain Hana.
Malahan sampai detik ini Mark belum menemukan pengganti Hana di hatinya.
Lelaki yang udah mabok itu menganggukkan kepalanya lemah. "Iya, tapi Hananya ga mau nikah sama gua. Dia malah bilang mau nikah sama Januar coba! Sialan banget!" ucapnya lalu mengebrak meja. Julio aja sampe meloncat kaget. Punya temen ngeselin amat ya. Kalo dijual laku ga ya?
"Hoon gua kurang apa sih? Posisi gua udah ceo, gua udah lulus S2,, gua udah terbilang ganteng dan juga mateng. Kenapa sih Hana masih keliatan ga mau sama gua?" racau Mark yang sepertinya mulai terbawa efek alkohol. "terus kenapa juga gua ga bisa lupain dia? Dia bahkan ga secantik Yira, ga sebohay Nancy atau Mina. Tapi kenapa gua masih sesuka ini sama dia yang bahkan udah di touching-touching sama kakaknya sendiri? Gua gila ga sih?"
Julio menggelengkan kepalanya sebagai respon. "Enggak Mark. Cinta emang gitu, enggak bisa dimengerti dan diatur sesuka hati—"
Mark memotong ucapan Julio. "Alah tau apa soal cinta lo nyed? Si Syila aja sampe jatuh ke tangan Lucas lah."
"Eh monyed jangan bahas Syila!" sentak Julio kesal. Sensi dia kalo udah ngedenger nama mantan gebetannya yang diambil orang sebelum jadian. Untung mata Mark udah kaya teler gitu, Julio jadi ga tega kan buat mukulin Mark.
"Jul lagi—hik—dong," Mark menyodorkan gelasnya pada Julio sementara dirinya sudah sesegukan. Julio jadi terpaksa menuangkannya. "Julio gua harus ngapain? Gua sayang sama Hana, tapi Hananya enggak. Ahahaha sedih anying! Kenapa sih hidup gua begini amat."
"Ya lo bikin si Hana suka sama Elo."
"Caranya?"
"Pake googlenya g****k, lu punya hp ga di manfaatin amat."
"Gua lagi mabok g****k! Mana bisa gua buka google?! Muka lu aja ngeblur, eh enggak deng, ada anjing-anjingnya gitu."
Julio mengusap dadanya. Si embul ini harus sabar. Mark emang rese kalo udah mabok.
"Jul."
"Apalagi nyed?!"
"Gua mending nyerahin Hana buat Januar atau ngegas aja sampe Hana ditangan gua?"
Julio mengacak-acak rambutnya. Mencoba mencari jawaban yang pas untuk pertanyaan Mark.
"Tergantung situasinya sih. Tapi menurut gua ga ada salahnya lu ngejar Hana lagi," saran Julio pada akhirnya. "cuman kalo Hana susah didapetin juga, lu harus sadar diri dan harus mundur demi dia. Kadang ya, cinta itu enggak harus saling memiliki."
Bijak emamg.
"Tapi gue pengen Hana jadi milik gua, Jul."
"Iya semerdeka lo ae lah Markonah."