Part 5

1056 Kata
Mendengar Adzan subuh berkumandang Aira segera bangun dan mendapati Rayhan yang tidur disofa dengan kaki setengah ditekuk. Sebenarnya kasihan juga, tapi mau bagaimana lagi, Rayhan sendiri yang meminta. “Han... Rayhan, bangun, sholat subuh yuk.” Aira menepuk lengan suaminya pelan, tapi masih belum ada pergerakkan. “Han, bangun!” Aira pindah menepuk pipi Rayhan kali ini lebih keras dari sebelumnya, tapi hasilnya nihil, malah yang terdengar suara dengkuran. “Dih ni anak tidur jam berapa sih. Susah amat banguninnya.” “Han, bangun udah subuh, ntar keburu siang lho!” Aira masih mencoba membangunkan Rayhan tapi hasilnya benar-benar nihil. Rayhan masih pulas dengan tidurnya. Bahkan tidak bergerak sama sekali. ‘Jangan-jangan ni anak koid lagi’ batin Aira yang mulai melantur kemana-mana. Karena greget, dibangunin gak bangun-bangun akhirnya Aira menjepit hidung Rayhan dengan dua jarinya. Dan benar saja, ide itu berhasil. “Astaghfirullahaladzim, oksigen habis. Ya Allah ampuni hamba yang banyak dosa.” Rayhan gelagapan dari tidurnya ditambah lagi raut muka bingung karena ada suara cewek ketawa di dalam kamarnya. “Bukannya lo, temen Kakak gue ya? Kok bisa dikamar gue sih?” Rayhan menyipitkan matanya, mengamati Aira dengan seksama. Masih belum sadar dengan apa yang telah terjadi. Sedangkan Aira yang geram langsung mencubit lengan Rayhan, membuat sang empunya merintih. “Nggak ingat apa, kemarin kamu udah nikahin aku. Dan ini kamar aku!” “Hah?! Apa?” Rayhan masih bingung ia mencoba meraih nyawanya yang belum sepenuhnya terisi kedalam raganya sambil mengedarkan pandangan keseluruh ruangan. Membuat Aira semakin geram saja. “Oh iya! Maaf, gue lupa.” Rayhan nyengir lebar setelah mengingat kejadian kemarin. “Ck, dasar! Sama Istri sendiri kok lupa.” Aira menggerutu. Dan dibalas cengiran oleh Rayhan sambil menggaruk tengkuknya yang memang gatal. “Ya sudah, cepetan bangun, sholat subuh gih.” Tanpa menunggu lama, Rayhan pun bangkit dan menuju kamar mandi. Setelah itu, sholat subuh berjamaah bersama istrinya. “Han, aku ke dapur dulu ya, mau bantuin Bunda.” “He’em.” Rayhan menyahut tak bersemangat sambil berjalan kearah ranjang. “Lho, Han? Kamu mau ngapain?” Aira menghentikan aktivitas melipat mukenanya. “Tidur. Nanti bangunin ya kalau udah setengah 6.” Sekarang Rayhan sudah ambruk diatas tempat tidur dengan mata terpejam. Melihat itu, Aira segera menghampiri suaminya. “Habis subuh, jangan tidur, Han. nggak baik. Udah sana mandi biar ngantuknya hilang.” Aira mencoba menarik tangan Rayhan. Tapi yang ditarik malah mengeratkan pelukannya pada guling. “Bangun Han! Katanya hari ini kamu sekolah.” “Iya, entar setengah enam, lo bangunin gue.” Rayhan masih enggan bangkit dari pulau kapuk yang membuat nya terlena untuk segera memasuki alam ghoib, eh? Mimpi maksudnya. “Tetep aja, tidur habis subuh itu nggak baik. Nanti rezeki kamu di patok sama ayam lho.” “Biarin, ntar ayamnya gue tangkep, terus lo goreng.” Aira menghembuskan nafas kasar. Menyerah membangunkan Rayhan, mana omongannya makin ngelantur lagi, udah berasa kayak ibu-ibu yang menyuruh anaknya pergi sekolah. “Ck. Perasaan aku nggak pernah makan sambil tidur deh. Punya Suami kok ya males banget.” Rayhan yang mendengar itu pun melirik Aira tajam. Merasa tersinggung, dan segera bangkit dari rebahannya. “Iya gue bangun. Mandi, cuci muka, gosok gigi. Puas lo! Ck punya istri kok suka ngedumel.” Rayhan berjalan melewati istrinya yang tengah bingung dengan sifat Rayhan. “Dasar anak SMA.” Setelah itu, Aira pun keluar dari kamar untuk membantu Bundanya yang tengah menyiapkan sarapan pagi didapur. *** “Rayhan mana, Ra?” Tanya Ayahnya yang hendak makan. Karena saat ini ia memang tengah berada di meja makan bersama keluarganya. “Masih di kamar mungkin.” “Di panggil dong, Ra, ajak dia sarapan gih.” Kali ini Bundanya yang bersuara. Aira yang hendak mengambil nasi diurungkan, dan segera menuju kamarnya untuk memanggil Rayhan. “Han, ayo sarapan udah ditunggu di bawah.” Aira memanggil Rayhan yang tengah sibuk mencari sesuatu. “Cari apa sih?” “Dasi. Lo tau dasi gue nggak?” “Dasi? Bukannya semalem aku taruh di lemari sama seragam kamu ya?” “Nggak tau, gue udah cari, tapi nggak ada.” Rayhan kembali membuka lemari pakaian dan mencari dasinya. Sedangkan Aira langsung kaget begitu melihat isi lemari yang semalam telah dirapikannya kembali berantakan. “STOP!” Aira berteriak keras, ketika Rayhan hendak menyingkap kembali baju yang ada didalam lemari. “Ini kamu apaian?” “Nggak diapa-apain.” “Terus kenapa jadi berantakan kayak gini?” Aira bertanya kesal. “Sorry Ra, cuma gue grepe doang kok, kan lagi nyari dasi, jadi wajar dong.” Rayhan nyengir lebar mencoba membela diri. Sedangkan Aira memutar bola matanya jengah, lalu mengambil dasi yang terselip dalam seragam Rayhan. “Nih dasinya! Gini aja nggak tahu. Udah jelas-jelas aku taruh disebelah seragam kamu.” Rayhan menerima dasi yang disodorkan istrinya, kemudian memakainya sambil melirik jam yang menggantung di dinding kamar. “Astaghfirullahaladzim. Ini jam cepet banget muternya.” Melihat jam dinding yang menunjukkan hampir pukul 7 Rayhan segera memakai dasinya dengan tergesa, kemudian menyambar tas yang tergeletak di atas kasur. “Eh, Han! Tunggu!” Aira mendekati Rayhan kemudian membenarkan letak dasinya yang miring. Walau usianya lebih tua, tapi tingginya hanya sebatas d**a Rayhan. Dalam hati ia merenung. Seharusnya ia memakaikan dasi suaminya ketika hendak berangkat kerja, sedangkan ini? Ia membenarkan dasi suaminya karena hendak pergi sekolah. “Sudah. Kalau gini kan rapi” Aira menepuk d**a Rayhan keras. Sengaja memang karena gemas sendiri. “Aduh! Sakit tau. Kira-kira dong, Ra.” Rayhan mengusap dadanya yang tadi habis di tepuk Aira. Setelah itu, mereka segera menuju ke bawah untuk sarapan. Saat sedang makan pun Rayhan terlihat buru-buru, bahkan tidak habis. “Bun, Yah, Rayhan pamit dulu ya.” “Lho? Nggak dihabisin dulu, Han, sarapannya?” “Nggak Yah, Rayhan lagi buru-buru. Maaf ya, Yah.” Setelah itu, Rayhan mencium punggung tangan kedua mertuanya dan bersiap pergi ke sekolah. “Ra, dikejar dong suaminya, salim gitu, masa diam aja.” Dengan malas, Aira pun segera bangkit dan mengejar suaminya yang sudah di depan pintu. “Han! Mana tangan kamu?” “Buat apaan?” “Udah ulurin tangan kamu. Cepetan!” Bukanya menyodorkan tangan, lelaki muda itu malah cengar-cengir nggak jelas. Nggak tahu artinya apaan. “Gue mau di kasih uang jajan ya, Ra?” Rayhan langsung menyodorkan tangannya dengan wajah tersenyum bahagia. Tapi kemudan, ia terkejut dengan aksi istrinya, bukan uang jajan yang ia dapatkan tapi ciuman lembut di punggung tangannya. Entah kenapa hatinya menghangat saat Aira melakukan itu. Ia masih bengong, ini adalah kali pertama dia di perlakukan seperti itu. “Yee, malah bengong. Lagian kamu itu aneh banget, seharusnya yang ngasih uang jajan itu kamu, bukannya aku. Kamu sekarang udah jadi suami aku, jadi harus bertanggung jawab dong.” “Iya-iya. Gue kan belum kerja, ntar deh kalau gue udah kerja. Gue jajanin lo. Mau beli daleman juga gue jabanin.” “Apaan sih. Udah sana pergi, nanti telat lagi.” “Ck. Ngusir lagi. Ya udah gue barangkat dulu. Assalamua’alaikum.” “Wa’alaikumsalam. Hati-hati.” Rayhan mengangguk kemudian berjalan melewati pagar rumah. Tidak ada cium kening, entah karena Rayhan lupa atau memang tidak tahu. Sedangkan disisi lain Aira tengah menatap punggung Rayhan yang kian menjauh. Hari ini Rayhan ke sekolah naik angkutan, karena rencananya setelah pulang sekolah nanti ia langsung kerumah orang tuanya untuk mengambil motornya. Dalam hati, ia agak mencemaskan Rayhan. Entah apa alasanya, mungkin karena belum terbiasa. Semoga saja laki-laki itu baik-baik saja hingga kembali kerumah. ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN