Gibran terbangun tepat pada pukul 17.00 WIB. Keadaannya akan jauh lebih baik memang jika tubuhnya diistirahatkan. Walau kadang-kadang sakit itu kembali datang menyiksanya tanpa ampun. "Nghhhh," Gibran menggeliat meregangkan otot-ototnya, lalu merubah posisinya menjadi duduk. Rambutnya yang berantakan karna habis bangun tidur membuat Gibran tampak lebih tampan. Sejenak ia terdiam mengumpulkan kembali nyawanya. Lelaki itu bangkit, dengan langkah tertatih ia berpindah menuju meja belajar dan menyalakan laptopnya. Ada yang tidak beres dengan apa yang Gibran rasakan belakangan ini tentang kesehatannya. Merasa Dokter tidak membuatnya lebih baik, Gibran berniat mencari informasi di google tentang gejala yang dirasakannya akhir-akhir ini.
Gibran mulai memainkan jemarinya diatas keyboard laptop tersebut. Sampai munculah kotak pencarian dan Gibran langsung mengetik sesuatu di sana.
"Demam, mual, muntah darah, nyeri perut. Gue sakit apaan sih Om google?" Gibran geli sendiri usai berujar demikian. Dikliknya tombol enter, kemudian mulai menelusuri satu per satu artikel yang muncul begitu keyword itu dimasukan. Matanya membulat sempurna begitu melihat deretan artikel yang muncul, dan nyaris semua berisi mengenai...
"Kanker lambung?"
Gibran memutuskan untuk membaca salah satu artikel.
Gejala Kanker Lambung
Pada tahap awal gejala kanker lambung mirip dengan gejala sakit maag, seperti:
1. Rasa kembung setelah makan.
2. Gangguan pencernaan dan tidak nyaman pada perut.
3. Mual.
4. Tidak nafsu makan.
5. Rasa mulas
Sedangkan pada tahap yang lebih lanjut, gejala kanker lambung meliputi:
Rasa tak nyaman di bagian ulu hati (perut bagian atas).
Mual, Muntah atau muntah darah (Hematemesis)
BAB berdarah, dengan darah berwarna hitam (Melena).
Nyeri atau kembung pada perut setelah makan.
Penurunan berat badan.Mudah lelah yang disebabkan oleh anemia akibat pendarahan pada lambung.
Terjadi pembengkakkan pada daerah perut.
Penyakit kuning.
Kesulitan menelan (Disfagia)
Karena semakin gusar, Gibran buru-buru menutup laptopnya. Bukan apa-apa, tapi memang gejala itu sering Gibran rasakan.
"Kanker-kanker amat," ujarnya cuek.
Gibran menoleh, dan langsung mendapati bundanya yang tengah berdiri di ambang pintu.
"Gibran sudah bangun?"
"Belum Gibran masih tidur. Hoam... " Gibran pura-pura menguap, kemudian melangkah kembali ke tempat tidur.
"Kamu ini," Inka memberikan cubitan kecil pada pinggang putranya, membuat bocah laki-laki itu meringis.
"Ish ... sakit, Bunda!"
Inka terkekeh, ia duduk di pinggir tempat tidur sambil mengusap-usap rambut putranya. "Aa udah lama nggak sakit, sekalinya sakit langsung seperti ini. Bunda kan sedih," tutur Inka lembut.
Gibran sempat mengernyit bingung mendengar panggilan sang bunda padanya, "Nggak apa-apa, Bunda. Maaf jadi ngerepotin Bunda terus. Kenapa tiba-tiba Bunda manggil Gibran Aa?
"Bunda gak merasa direpotin. Aa kan anak kesayangannya Bunda," sahut Inka tulus, kemudian dikecupnya kening Gibran. "Memang gak mau Bunda panggil Aa?"
"Bukan gitu. Aneh aja, Bunda. Gibran 'kan anak tunggal kenapa harus dipanggil Aa?"
"Dipanggil Aa berarti udah siap punya Adik dong?" Devan tiba-tiba masuk lalu bergabung dengan istri dan anaknya.
"Ih, Ayah apaan sih. Orang Gibran aja bingung kenapa Bunda panggil Aa. Awas aja kalau Ayah sama Bunda bikin Adik lagi! Pokoknya Gibran nggak mau," Gibran menyahuti.
"Kenapa nggak mau punya Adik?" tanya Inka, kan biar Gibran ada teman," sambungnya.
"Nggak! Pokoknya nggak. Teman Gibran udah banyak!" Gibran mengalihkan pandangannya ke arah lain. Bercandaan sang ayah sangat tidak lucu baginya. Sudah sejak dulu, memiliki adik bukanlah keinginan Gibran. Egois? Memang. Ia hanya tidak ingin kasih sayang Ayah dan Bundanya terbagi. Jadi anak tunggal saja Gibran begitu kesulitan mendapat perhatian sang ayah, bagaimana kalau keluarga mereka dihadiahi anggota baru? Bukan tak mungkin Gibran benar-benar dilupakan pada akhirnya.
"Kalau nyatanya takdir bilang Gibran harus punya adik gimana?" tanya Inka lagi.
"Maksudnya?"
Inka mengarahkan tangan Gibran keperutnya yang masih rata, namun sudah ada detakan jantung didalamnya "Hello baby."
Gibran menelan ludahnya kasar "Bu... Bunda hamil?"
Inka tersenyum.
"Ini pasti kelakuan Ayah, udah dibilang Gibran gak mau punya Adik. Udah-udah, sayang aja sama yang di perut. Gak usah sayang Gibran!" Gibran langsung membelakangi orang tuanya.
"Gibran dengar Ayah!"
"Gak."
"Gibran Febrian."
Gibran hanya diam.
"Bahkan kehadiran seribu anak pun tidak akan pernah merubah sayang kami buat kamu, Gibran. Percayalah," ujar Devan menjelaskan.
"Buktiin aja."
Devan dan Inka menghela napas, "Baiklah."
Gubran tentu saja tidak langsung percaya pada ucapan ayahnya. Baru kali ini sang ayah bersikap lembut, pasti karena ada maunya. Intinya Gibran tidak ingin punya adik. Titik.
***
Di kediaman Aura, Adi duduk diam tanpa bersuara. Maksud kedatangannya ke rumah gadis itu adalah untuk meminta maaf, sekaligus ingin mengajak Aura ke tempat peristirahatan terakhir sepupunya. Adi belum berani bicara karena sedari tadi Aura masih bersikap dingin padanya. Adi sadar kalau Aura masih marah.
"Maksud kedatangan Kakak ke sini, apa?" akhirnya Aura memecah keheningan.
"Gue mau minta maaf sama lo."
"Minta maaf kenapa?"
"Karena gue udah bohongin lo. Lo boleh marah sama gue, Aura, tapi gue mohon jangan marah apalagi benci sama Raka. Lo tahu 'kan tujuan Raka itu baik, dia gak mau lihat lo sakit."
"Apa Kakak pikir setelah aku tahu semuanya, aku gak ngerasa sakit? Sakit, Kak. Sakit banget."
Raka menunduk, "Lo boleh lakuin apa pun sama gue, tapi sekali lagi gue mohon maafin Raka."
"Udah sore, Kak. Sebaiknya Kakak pulang."
"Gue nggak akan pulang sebelum lo bersedia maafin Raka dan kunjungin tempat peristirahatan terakhirnya."
Aura menghela napas panjang, "Sekarang udah sore. Besok pulang sekolah Kakak jemput aku. Kita ke sana."
Adi nampak sumringah mendengar hal itu, "Serius? Oke, besok lo gue jemput."
Kenapa pada akhirnya Aura mau menemui Raka adalah karena ia mulai jenuh terkurung dalam amarah dan kebencian. Bukan hanya mereka si pembohong yang tersiksa, ia sendiri pun sama tersiksanya.
***
Sudah waktunya makan malam, tapi sang bunda maupun ayahnya tak juga mengetuk pintu kamar Gibran untuk sekedar mengajak makan malam. Sebenarnya Gibran sama sekali tidak lapar meskipun sedari pagi perutnya tidak terisi, hanya saja seperti ada kebiasaan yang hilang. Biasanya sang bunda akan mengetuk pintu kamarnya untuk mengajak makan bersama, atau bahkan membawakan makanan jika Gibran sedang malas turun, tapi sekarang?
Gibran memutuskan untuk turun dari tempat tidur. Ia ingin melihat apa yang terjadi di bawah, sampai-sampai ayah bundanya tak memintanya turun.
Gibran mulai melangkah menuruni satu per satu anak tangga, dan pandangannya terhenti pada dua orang di ruang keluarga yang tengah bermesraan. Siapa lagi jika bukan ayah bundanya. Sang bunda duduk di sofa, sedangkan ayahnya berjongkok di bawah sambil mengusap-usap perut rata bundanya itu.
"Belom lahir aja lo udah mengalihkan semua perhatian mereka? Manis banget lo calon Adik bayi!" Gibran mencibir. Laki-laki itu berbalik lantas kembali ke kamarnya.
Pintu dibantingnya dengan kuat, hingga dentuman keras itu terdengar sampai ke lantai bawah.
"Mas, apa itu?" Inka kaget bukan main.
"Paling Gibran. Siapa lagi," sahut Devan santai.
"Dia pasti melihat kita, Mas."
"Biarkan saja. Dia harus mulai menerima kalau di rumah ini akan ada anggota baru," lagi-lagi Devan menjawab dengan begitu tenangnya. Ia yang semula berjongkok kini duduk di samping istrinya.
"Mas, kita sudah janji kalau perhatian kita tidak akan berubah apa pun yang terjadi. Bahkan seandainya calon anak kita ini lahir," tutur Inka.
"Kamu selalu saja memanjakan anak itu. Lihat sendiri sekarang akibatnya, dia jadi sulit di atur, selalu berbuat seenaknya."
"Karena aku sayang Gibran, Mas."
"Kamu pikir aku nggak sayang sama Gibran? Ayah mana yang nggak sayang sama anaknya sendiri? Tapi cara kita mendidik dia itu salah. Memanjakan bukan satu-satunya cara untuk memperlihatkan rasa sayang kita terhadap anak."
Inka diam, dan tanpa terasa air matanya perlahan turun. Baru kali ini Devan sampai membentaknya, ah... ralat, menegurnya bukan membentak. Hormon ibu hamil sepertinya membuat dirinya lebih sensitif. Bahkan hanya karena masalah seperti ini ia menangis. Devan yang sadar telah melukai istrinya langsung merengkuh Inka kedalam pelukannya, "Maaf," lirih Devan.
Inka mengangguk. Ia sadar betul kalau apa yang dikatakan suaminya itu benar, dan bertujuan baik untuk hidup Gibran kedepannya.
***
Karena terlalu stres dengan pemikirannya sendiri, sakit itu kembali. Gibran terduduk di sudut kamar dengan tangan yang tak lepas mencengkram perutnya yang terasa begitu sakit. Ingin sekali Gibran berteriak meminta bantuan orang tuanya, tapi niatnya itu segera ia urungkan mengingat orang tuanya tengah sangat sibuk dengan calon anak baru mereka. Keringat mengucur deras dari pelipisnya. "Sa... kit, Bunda" satu rintihan lolos. Cairan bening mengalir dari sudut mata laki-laki itu.
Gibran tak tahu sejak kapan ia jadi selemah ini, yang jelas sekarang Gibran benar-benar tengah kesakitan.