Semalaman Gibran dibombardir dengan rasa sakit. Gibran semakin merapatkan tubuhnya di balik selimut karena rasa dingin yang masih malas berdamai dengannya, padahal AC kamarnya sudah dimatikan. Gibran mendengar pintu kamarnya dibuka, tapi ia memilih tetap diam.
"Gibran... "
"A...yah ... "
"Kata Bibi Gibran demam, benar?" tanya Devan. Ia langsung menempelkan punggung tangannya di dahi Gibran. Benar saja badan Gibran memang panas.
Tak berselang lama, Bi Inah masuk membawa kompresan untuk Gibran.
"Gibran di kompres dulu sama Bibi, ya? Bunda juga lagi sakit. Ayah nggak bisa lama-lama di sini."
Tak disangka Gibran justru malah memeluk Devan, "Di... ngin, Yah," ujarnya dengan bibir bergetar.
Bi Inah yang sudah menetap menjadi asisten rumah tangga Devan sejak Gibran masih kecil hanya bisa menatap tuan mudanya dengan rasa iba.
"Gibran, tolong sekali ini jangan manja. Bunda kamu lagi sakit!" Devan menaikan sedikit intonasinya.
Gibran sudah nyaris menangis. Tubuhnya bahkan sudah tidak jelas seperti apa rasanya, semalaman penyakit itu terus menyiksanya dan baru membaik menjelang subuh, "Ayah Gibran mohon jangan pergi. Di... ngin, Yah."
"Matikan Ac! Jangan manja!" Devan mendorong kuat Gibran yang masih berusaha memeluknya, kemudian ia berdiri.
"YAAMPUN TUAN!" Wanita paruh baya itu menjerit melihat Gibran yang semula bertumpu penuh pada Devan, harus rela tubuhnya terhempas ke lantai karena tidak siap menerima dorongan kasar dari Devan.
"Ahh... " Gibran mengerang begitu kepalanya membentur sudut tempat tidur. Setelah semalaman bergulat dengan rasa sakit dan baru membaik menjelang subuh. Pagi ini ia diperlakukan sedemikian buruk oleh ayahnya, padahal tadinya Gibran berharap kalau dang ayah bida dijadikan tumpuan untuknya membagi rasa sakit itu. Apa tidak sebaiknya Gibran mati saja? Tidak akan ada lagi rasa sakit, terlebih rasa sakit di hatinya. Perlahan ia bangkit.
Devan yang melihat hal itu langsung berjongkok hendak membantu putranya, Demi Tuhan Devan tidak sengaja mendorong putranya hingga terjatuh, namun dengan kasar Gibran menepis tangannya.
"Nggak boleh manja, kan? Gibran bisa sendiri." Ia berjalan tertatih ke arah pintu, membukanya lebar-lebar, "silahkan Ayah keluar."
"Gibran, maaf Ayah nggak... "
Gibran buru-buru memotong ucapan sang Ayah, "Ayah dengar apa yang Gibran bilang 'kan?"
"Gibran."
"Masih ada Bi Inah yang sayang sama Gibran, jadi lebih baik Ayah pergi aja."
Devan melangkah keluar, meski sebenarnya ia begitu ingin meminta maaf pada putranya. Lidahnya terlalu kelu untuk sekedar mengucapkan kata maaf.
Setelah kepergian ayahnya, Gibran tidak bisa lagi menahan laju air matanya. Cairan bening itu turun membasahi pipi mulusnya. Gibran tidak peduli bahwa harus dicap sebagai lelaki cengeng. Ia memiliki perasaan, mendapat perlakuan tidak baik dari sang ayah tadi, benar-benar membuat Gibran sakit hati. Mungkin setelahnya Gibran berhenti bergantung pada orang tuanya. Ia harus mandiri, bahkan menahan sakit pun sendiri.
"Den jangan menangis," Bi Inah duduk di samping Gibran yang tengah duduk di atas tempat tidur dengan memeluk lutut sambil menelungkupkan kepalanya. Baru kali ini ia melihat majikan mudanya menangis hingga sesegukan, dan ini terjadi karena perlakuan ayah kandungnya sendiri.
"Gi... Gibran... Bibi Gi... Gibran... " d**a Gibran terasa begitu sesak, bahkan untuk menyelesaikan kalimatny saja Gibran tidak bisa.
"Den, sudah jangan menangis. Lebih baik sekarang Den Gibran rebahan, biar Bibi kompres," ujar Bi Inah lagi.
Gibran mengangkat kepala, lalu melirik jam yang terpasang di dinding kamarnya. Pukul 06.15 WIB. Hanya dalam jangka waktu lima belas menit, hatinya bisa benar-benar sakit seperti ini. "Bi, Gibran mau sekolah aja."
"Tapi Den Gibran lagi sakit."
Gibran menarik sudut bibirnya membentuk sebuah senyum, "Makasih Bibi udah mau khawatir sama Gibran, tapi Gibran nggak apa-apa."
"Yasudah Bibi siapkan seragamnya, Den Gibran mandi saja," tutur Bi Inah.
Gibran mengangguk.
***
Inka melayangkan sebuah tamparan ke pipi suaminya. "Keterlaluan kamu, Mas! Coba kamu pikir, Gibran nggak pernah semanja itu sama kamu kalau tidak sedang benar-benar sakit. Dia hanya bisa manja sama aku, tapi kamu memperlakukan anak kita begitu buruk!" Inka benar-benar marah setelah mendengar sesuatu yang tidak mengenakan dari pembantunya. Begitu bangun tadi Gibran sudah tidak terlihat di kamarnya dan ketika bertanya pada Bi Inah diceritakanlah semuanya, termasuk pertengkaran Devan dengan Gibran tadi.
"Aku hanya tidak ingin Gibran selalu manja seperti itu. Lagi pula dia hanya demam dan aku lebih mengkhawatirkan kamu," sahut Devan santai.
"Hanya? Tidak hanya sehari ini Gibran sakit. Kamu tahu sendiri dari beberapa hari yang lalu Gibran udah mulai sakit, Mas. Kalau kamu mau merubah cara mendidik Gibran, seharusnya perlahan tidak langsung dilepas seperti ini."
Devan diam. Mengapa istrinya itu tak paham kalau ia begitu mengkhawatirkan Inka dan calon bayinya makanya bersikap demikian pada Gibran.
"Kamu boleh mengkhawatirkanku juga calon bayi kita, tapi normal-normal saja. Aku pernah mengandung sebelumnya dan aku tahu keadaan tubuhku. Tidak sekali ini kamu berbuat kasar pada Gibran, anakku, yang sebelumnya susah payah aku kandung dan aku lahirkan. Kamu nggak ngerti perasaan seorang Ibu, Mas," usai berbicara demikian Inka langsung berlalu dari hadapan suaminya.
***
Masih terlalu pagi, wajar saja sekolah masih nampak sepi. Gibran duduk di bangkunya seorang diri. Bel masuk masih sekitar dua puluh menit lagi.
"Gibran."
Gibran terkesiap mendengar suara lembut itu. Ia menoleh, lalu melempar senyum pada si pemilik suara, "Hai Aur."
"Tumben banget udah datang?" tanya Aura sambil menaruh tasnya di atas meja.
"Mau aja, bosan jadi anak nakal."
Aura menaikan sebelah alisnya, "Lo ada masalah, ya?"
“Iya Aur, banyak banget masalah. Sakit ini aja belum hilang, ada lagi rasa sakit yang lebih dari sakit Gibran sekarang. Hati Gibran sakit, Aur,” kalimat-kalimat itu hanya mampu terucap dalam hatinya saja. Ia sudah bertekad untuk tidak manja dan mengeluh lagi. Sesakit apa pun akan ia coba pendam sendiri.
"Gibran?"
"Eh... nggak ada kok, Aur. Semuanya baik-baik aja," jawab Gibran.
"Yakin? Terus itu kenapa pelipisnya, kok luka gitu?" Aura sedikit curiga melihat luka di pelipis laki-laki itu.
"Emh... kejedot di kamar mandi. Aur juga tumben udah datang? Biasanya lima belas menit sebelum bel baru datang," kata Gibran yang diakhiri sebuah kekehan pelan.
"Mending gue lima belas menit sebelum bel. Lah lo? Lima belas menit setelah bel," Aura menimpali.
"Aur kalau lagi marah gemesin," Gibran bertopang dagu, memperhatikan lekat-lekat wajah cantik Aura.
"Apaan sih, lo?" Aura memalingkan wajahnya, pura-pura mengambil sesuatu dari dalam tasnya yang entah itu apa.
"Cie blushing, Ya Tuhan makin cinta sama Aur."
Hati Aura mencelos, “Blushing? Masa sih?”
"Gibran gue perhatiin kok belakangan ini lo sering kelihatan pucat, ya? Waktu ke rumah sakit dulu dokter bilang apa?"
"Cie Aur perhatian," Gibran justru melontarkan ledekan, yang sebenarnya bentuk pengalihan.
"Ew... ditanyain malah keganjenan," Aura mencibir.
Ketika hendak menjawab tiba-tiba ponselnya berdering. Sebuah potongan lagu dari Muse yang berjudul Unintended terdengar, menandakan ada panggilan masuk.
"Eh belum di silent," ujar Gibran sambil mengambil ponselnya. Melihat nama sang bunda tertera di screen ponselnya, Gibran buru-buru menjauh dari Aura.
"Hallo ... "
"Hallo Gibran. Gibran kenapa sekolah? Kata Bibi tadi Gibran demam. Maaf Bunda nggak sempat lihat Gibran, tadi Bunda bangun kesiangan. Gibran pulang, ya kalau memang sakit, biar nanti Bunda yang bilang sama Opa."
"Gibran nggak apa-apa. Bunda istirahat aja."
Gibran langsung mematikan sambungan telepon dan buru-buru mencabut SIM Card ponselnya. Gibran benar-benar sedang tidak ingin diganggu oleh keluarganya, termasuk sang bunda.
"Siapa?" tanya Aura begitu Gibran kembali.
"Cie, Aur mulai kepo."
"Gibran jawab aja, sih."
"Dari Bunda."
"Kenapa dimatiin?"
"Orang udah teleponnya.".
"Terus kenapa SIM Cardnya di cabut?" tanya Aura penasaran.
"Hemat batre. Hehe... " jawab Gibran sekenanya.
"Apa hubungannya coba?"
Gibran kembali diam. Tentu saja diamnya Gibran mengundang tanya dari Aura. Biasanya Gibran akan menyahuti semua perkataannya, dengan gombalan-gombalan menjijikan atau apapun itu, tapi lihat, sekarang Gibran hanya diam. Diperhatikannya laki-laki itu, luka dipelipis, wajah pucatnya, dan mata itu... memancarkan kesedihan. “Kenapa lo terlihat sedih? Apa yang sebenarnya lagi lo sembunyikan, Gibran?” Aura membatin.
Gibran masih berputar-putar dengan pemikirannya. Predikat anak manja sepertinya sudah begitu melekat dan akan sulit dihilangkan. Lalu bagaimana ia membuktikan pada sang ayah kalau dirinya bukan anak manja? Bagaimanapun caranya Gibran harus bisa hidup mandiri. "Ah... " Gibran menyentuh perut atasnya yang terasa panas juga perih.
"Gibran lo kenapa?" tanya Aura panik. Jujur ia masih trauma dengan kejadian beberapa hari lalu dimana Gibran tiba-tiba pingsan.
"Laper," Gibran memamerkan cengiran konyolnya, membuat Aura mendengus sebal.
"Gue bawa bekel, mau?"
"Aur pasti belum sarapan makanya bawa bekel. Nggak usah, buat Aur aja."
"Gue udah sarapan, kok. Tadi iseng aja bawa bekel."
"Serius?"
Aura mengangguk. Gadis itu mengeluarkan kotak bekal dari dalam tasnya, kemudian menyerahkannya pada Gibran.
"Makasih Aur. Gibran makan, ya?"
"Iya."
Gibran mulai melahap nasi goreng yang diberikan Aura kepadanya. Entah kapan terakhir dirinya makan-makanan berat, mungkin sebelum lambungnya seperti sekarang.
Sebuah senyum tiba-tiba mengembang di bibir Aura melihat Gibran makan begitu lahap, entah karena enak atau memang hanya karena Gibran lapar.
"Enak banget Aur sumpah," puji Gibran.
"Yang bener? Bohong kali lo."
"Serius, ini enak banget. Masakan Mama Aur, ya?" tanya Gibran tanpa mengalihkan pandangannya.
"Enak aja. Masakan gue tahu!"
"Hah? Uhukkk... Uhukkk... " Gibran tersedak.
"Ih kok lo rese sih!"
"Minum Aur, minum," ujar Gibran yang masih terbatuk-batuk.
Kini Aura menyodorkan botol minumnya, "Nih! Kenapa coba lo sampai keselek gitu? Gak percaya gue bisa masak?"
Gibran terekeh geli melihat ekspresi Aura, "Aur galak. Gibran pikir gak bisa masak, ternyata masakan Aur lebih enak dari masakan Chef Juna."
"Emang lo pernah makan masakan Chef Juna?" tanya Aura.
Gibran menggaruk tengkuknya yang tidak gatal kemudian menggeleng.
"Rese! Tahu, ah!" Aura bangkit lalu meninggalkan laki-laki itu seorang diri.
"Lo bloon sih, Gibran! Baru juga deket, udah bikin orang bete lagi," Gibran memaki dirinya sendiri.
Bersambung ....