Aila berjalan tergesa setelah menutup pintu taksi daring yang mengantarnya ke rumah sakit. Ia sedikit berlari untuk mempercepat sampai di UGD. Di depan UGD berdiri dua orang berseragam polisi. Satunya tinggi dan putih, sedangkan yang satunya tingginya setelinga si putih dengan kulit kuning langsat menuju sawo matang. Jika mengingat akan suara pria yang tadi menghubunginya, sepertinya salah satu diantara mereka adalah penelepon itu. Aila dengan tergesa berjalan menghampiri polisi yang tampak gagah. “Mohon maaf, apakah bapak yang tadi menghubungi saya dan membawa Radit kesini?” tanya Aila dengan napas tersengal serta ucapan yang terburu. “Iya. Dengan Saudara Aila?” tanya Burhan—polisi dengan tubuh yang tinggi dan berkulit putih. “Iya, pak. Bagaimana keadaan adik saya? Apakah sudah dit

