Yang Tak Seharusnya
“Aku tidak akan pernah menjadi milikmu, Mr Grey!”
Suara wanita itu—Ruby Foster bergetar, meski sorot matanya tetap tegas menatap pria yang ada di hadapannya.
Pria itu hanya tersenyum miring, penuh kesombongan yang menggoda sekaligus menakutkan. Jemarinya mencengkeram dagu sang puan, menahan agar wanita itu tidak bisa mengalihkan pandangannya.
“Sayang…” ucapnya rendah, penuh kuasa. “Bahkan napasmu saja sudah menjadi milikku. Memangnya kau pikir, kau bisa lari dariku, Ruby?”
Degup jantung Ruby menggema di d**a. Ia tahu pria itu berbahaya. Ia tahu bermain-main dengannya sama saja mengundang maut. Namun yang membuatnya lebih takut bukanlah sebuah ancaman, melainkan dirinya sendiri, yang tak bisa memungkiri bahwa ada sesuatu di balik tatapan itu yang membuatnya sulit untuk bernapas.
“Jangan membuat dirimu sendiri dalam kesusahan, Ruby Foster. Bukankah aku sudah memberikan pilihan padamu sebelumnya?”
+++
Beberapa bulan sebelumnya,
Lampu-lampu kota New York malam ini berbaur dengan gemerlap sorotan kamera dan kilatan blitz yang bertubi-tubi mewarnai udara. Sementara itu, kerumunan di depan salah satu hotel bintang lima seketika membuat suasana semakin panas.
Hotel itu—Hotel Sovereign Palace—berdiri megah dengan pilar-pilar marmer putih dan karpet merah yang terbentang luas hingga pintu masuk, seakan menyambut para tamu istimewa yang akan menghadiri pesta gala malam ini.
Di antara puluhan wartawan yang berjejal, seorang perempuan muda dengan rambut cokelat gelap yang diikat rapi ke belakang tampak berdiri tegap di depan kamera. Ruby Foster, seorang jurnalis berusia 28 tahun, tengah memegang mikrofon dengan logo stasiun TV tempatnya bekerja. Wajahnya memancarkan ketegasan meski sorot matanya sedikit letih. Sejak sore, ia dan rekan kameramennya, Anthony, sudah bersiaga untuk menyiarkan langsung kedatangan para tamu elit malam itu.
“Pemirsa, saat ini saya Ruby Foster, melaporkan langsung dari depan Hotel Sovereign Palace, New York. Malam ini pesta gala terbesar tahun ini digelar, dan seperti yang Anda lihat di belakang saya, suasana sudah sangat ramai dengan kehadiran para bintang Hollywood, pebisnis ternama, hingga tokoh-tokoh politik. Namun tentu saja, yang paling ditunggu kehadirannya adalah Greyson Matteo DeLuca, CEO muda DeLuca Corporation yang akhir-akhir ini menjadi sorotan dunia bisnis sekaligus media.”
Ruby menoleh sejenak pada Anthony, memberi isyarat dengan anggukan kecil. Kamera tetap merekam setiap sudut keramaian. Setelah memastikan siaran langsung berjalan lancar, Ruby menurunkan sedikit mikrofonnya.
“Lama sekali menunggu kedatangan Greyson Matteo DeLuca,” gumam Anthony, mengangkat kameranya agar lebih siap.
Ruby melirik sekilas, lalu mengerutkan kening. “Itu justru sebabnya kita tidak bisa pergi. Kalau malam ini dia benar-benar datang ke pesta, kita harus ada di sini. Setidaknya satu kutipan singkat dari bibirnya bisa jadi bahan utama halaman depan.”
Anthony mendecak pelan. “Dan untuk itu kita harus menunggu berjam-jam, berdiri seperti patung, sambil berdesakan dengan puluhan wartawan lain? Aku bahkan sudah tidak merasakan kakiku sendiri.”
Ruby menahan senyum, meski wajahnya sama lelahnya. “Itu sudah resikonya. Kau pikir menjadi jurnalis hiburan kelas atas itu hanya duduk di kantor dan menulis artikel? Tidak, kita harus mengejar, menunggu, bahkan terkadang berjudi dengan waktu. Kau tahu sendiri bagaimana atasan kita jika sudah menuntut ini dan itu.”
Anthony hanya bisa mengangkat bahu. Blitz dari kamera lain kembali menyala, memicu sorakan kecil ketika sebuah mobil hitam panjang meluncur di jalan masuk hotel. Namun ternyata bukan Greyson yang keluar, melainkan aktris kenamaan bersama pasangannya. Wartawan pun tetap bersorak, memanggil nama sang aktris, namun Ruby tidak tergerak sedikit pun. Pandangannya tetap fokus, menanti sosok pria yang namanya belakangan ini terus bergema di dunia bisnis sekaligus gosip.
Greyson Matteo DeLuca.
Pria berusia 33 tahun itu—CEO muda DeLuca Corporation, perusahaan investasi raksasa yang menguasai berbagai sektor mulai dari teknologi, properti, hingga media. Sosoknya selalu tampil penuh kharisma, dengan aura dingin yang membuat banyak orang segan. Media menyebutnya sebagai “Raja Muda Wall Street.”
“Anthony, sepertinya aku harus pergi ke toilet sekarang juga. Aku sudah tidak bisa menahannya lagi,” ujar Ruby tiba-tiba.
“Ya sudah pergilah. Aku bisa menunggu di sini.”
Ruby lantas mengangguk. “Baiklah, aku pergi ke toilet sebentar. Kau tetap di sini, jangan sampai teralihkan.”
“Oke. Cepat kembali, ya.” sahut Anthony.
Ruby menepuk bahunya sebentar sebelum berbalik. Ia berjalan menyusuri sisi kerumunan, berusaha mencari akses masuk hotel. Petugas keamanan sudah terbiasa dengan para wartawan yang numpang ke toilet, sehingga setelah menunjukkan kartu pers, Ruby diizinkan masuk lewat pintu samping.
Begitu memasuki lobi, Ruby nyaris terpesona sejenak. Interior hotel Sovereign Palace benar-benar mewah—lampu kristal menjuntai dari langit-langit tinggi, pilar marmer berbaris anggun, dan aroma bunga segar memenuhi udara. Musik klasik samar terdengar dari aula pesta.
Namun Ruby tidak berniat berlama-lama. Ia melangkah cepat menuju koridor yang ditunjukkan oleh resepsionis. Suara langkah sepatu haknya bergema lembut.
Ruby dengan cepat masuk ke dalam toilet wanita yang saat ini ternyata sedang dalam keadaan sepi. Tidak ada siapapun selain dirinya di dalam toilet tersebut. Setelah selesai, Ruby buru-buru keluar karena tak mau membuat rekannya menunggu lama. Apalagi jika sampai ketinggalan datangnya CEO muda yang menjadi incaran topik hangat malam ini.
Saat baru saja keluar dari toilet tersebut, Ruby tiba-tiba menghentikan langkahnya. Dari persimpangan koridor, ia melihat dua pria berpakaian hitam formal berjalan terburu-buru. Mereka jelas bukan tamu pesta—gerakannya terlalu kaku, terlalu waspada. Salah satunya bahkan menekan telinga, seolah memakai ear-piece komunikasi.
Ruby sempat ragu. Naluri jurnalistiknya segera terpicu. Itu bukan gerakan orang biasa, pikirnya. Dan jika tidak salah, Ruby sepertinya pernah melihat dua orang tersebut.
Dan dari arah gerakan mereka, jelas sekali mereka menuju lorong belakang hotel—area yang biasanya hanya digunakan untuk karyawan atau keperluan teknis.
Jantung Ruby berdegup kencang. Mungkin hanya perasaannya saja, tapi sesuatu dalam dirinya berkata bahwa ada hal penting yang sedang terjadi. Sebagai wartawan, rasa ingin tahunya terlalu kuat untuk diabaikan.
“Baiklah, hanya sebentar saja mengintip,” bisiknya pada diri sendiri.
Alih-alih kembali, Ruby berbalik arah dan mengikuti dari kejauhan. Sepatunya ia angkat sedikit agar langkahnya tidak terlalu berisik. Keadaan di sekitar koridor yang dilewati semakin sepi, cahaya lampu juga semakin redup.
Ia terus melangkah hingga sampai di pintu besi bertuliskan Authorized Personnel Only. Kedua pria tadi baru saja masuk. Pintu hampir tertutup, dan Ruby dengan refleks cepat menahannya. Ia mengintip.
Lorong sempit di balik pintu itu jauh berbeda dengan kemewahan yang ada di lobi hotel. Lampunya berwarna kuning pucat, dindingnya polos, suasananya dingin dan sunyi. Ruby menahan napas, lalu melangkah masuk.
Suara sepatu terdengar di ujung lorong. Ia mengikuti perlahan, menempelkan tubuh ke dinding agar tidak ketahuan. Setelah melewati belokan, ia melihat sebuah pintu terbuka ke arah gudang besar di belakang hotel.
Dan di sanalah ia melihatnya.
Greyson Matteo DeLuca.
Ruby dengan cepat mengeluarkan ponselnya, dan merekam diam-diam. Karena ia berpikir jika ini akan menjadi berita yang menghebohkan. Apalagi, Greyson sedang menjadi topik hangat-hangatnya di luar sana.
Pria itu berdiri tegap dengan jas hitam yang membalut tubuh atletisnya. Wajahnya tampan, garis rahang tegas, mata abu-abu dingin yang seperti menembus siapa pun yang menatapnya. Namun bukan hanya itu—auranya begitu menekan, hingga Ruby nyaris menelan ludah keras-keras.
Di hadapan Greyson, seorang pria berlutut dengan tangan terikat ke belakang. Mulutnya disumpal kain, matanya liar penuh ketakutan. Dua pengawal yang ia lihat tadi, saat ini sedang berdiri di sisi, menunduk, menunggu perintah.
“Berkhianat pada DeLuca merupakan sebuah dosa terbesar,” suara Greyson terdengar rendah, dalam, dan sangat tenang. Justru ketenangan itu membuat bulu kuduk Ruby berdiri. “Apa kau ingat saat terakhir kali kau memohon di bawah kakiku? Aku memberimu tempat di bawah kepemimpinanku sebagai ketua mafia DeLuca dan juga sebuah kesempatan, tapi kau memilih menjual informasi kepada lawan. Apa kau tahu konsekuensinya?”
Pria berlutut itu menggeleng panik, suaranya teredam sumpalan. Air matanya mengalir dari sudut.
Greyson mengangkat pistol dari balik jasnya, gerakannya lambat, penuh dengan kontrol. Senjata hitam itu berkilau di bawah lampu redup.
Ruby membekap mulutnya sendiri dengan salah satu tangannya, untuk menahan teriakan begitu melihat apa yang terjadi.
“Tidak ada ruang untuk seorang pengkhianat,” ucap Greyson dingin, lalu tanpa ragu menarik pelatuk.
DOR!
Suara tembakan meledak keras, bergema di dalam area gudang. Kepala pria berlutut itu terhempas ke samping, tubuhnya roboh tak bernyawa. Darah segar pun mengalir di lantai.
Ruby yang melihat itu sontak terpaku. Dunianya serasa berhenti. Nafasnya tercekat, tubuhnya gemetar hebat. Ia baru saja menyaksikan pembunuhan nyata—bukan di film, bukan di berita, tapi tepat di depan matanya.
Greyson mengibaskan sedikit tangannya, seakan kejadian itu hanya rutinitas sepele. “Bersihkan ini,” katanya tenang. Dua pengawalnya itu langsung bergerak, menyeret tubuh tanpa nyawa itu menjauh.
Ruby mundur selangkah tanpa sadar, dan tubuhnya mengenai rak besi kecil di dekat pintu. Ponselnya yang tadi ia pakai untuk merekam bergetar dari genggamannya dan jatuh menghantam lantai.
Prak!
Suara keras itu memantul di lorong sunyi, membuat darah Ruby seketika membeku.
Kepala Greyson sontak menoleh ke arah suara. Mata abu-abunya menyipit tajam, dingin, penuh kecurigaan. Kedua pengawal yang masih berada di dekatnya pun refleks mengeluarkan pistol, bergerak cepat menuju sumber suara.
Ruby panik. Dengan gemetar, ia meraih ponselnya dari lantai, lalu buru-buru menyelipkannya kembali ke dalam saku jaket. Tanpa pikir panjang, ia berbalik dan berlari secepat mungkin melewati lorong sempit itu.
“Keluar kau!” teriak salah satu pengawal dari belakang.
Langkah kaki berat terdengar mendekat. Ruby tak sempat menoleh, hanya bisa fokus mencari jalan keluar. Nafasnya terengah, jantungnya berdetak liar. Tumit sepatunya menghantam lantai keras-keras, membuat suaranya mudah diikuti.
Ia hampir kehilangan arah, sampai melihat pintu darurat di ujung koridor. Dengan tenaga penuh, Ruby mendorongnya.
Brak!
Pintu besi itu terbuka keras, mengalirkan udara malam yang menusuk kulit. Ia langsung menerobos keluar ke area samping hotel yang agak sepi, berlari menyusuri jalur servis hingga akhirnya menemukan jalan kembali ke depan gedung.
Sorak-sorai para wartawan, reporter dan kilatan blitz kamera menyambutnya kembali, seakan tak ada yang menyadari apa yang baru saja ia alami. Ruby menahan diri untuk tidak terlihat panik, meski napasnya masih tersengal.
Anthony yang sejak tadi sibuk mengarahkan kameranya ke pintu masuk utama, menoleh kaget saat Ruby muncul kembali.
“Ruby! Kau kenapa? Wajahmu pucat sekali,” tanyanya sambil tetap menjaga kamera tetap fokus ke arah kerumunan.
Ruby menggeleng cepat, menekan dadanya dengan satu tangan untuk menstabilkan napas. “Tidak… aku hanya… berlari sedikit. Jangan khawatir.”
Ia melirik sekilas ke arah hotel, memastikan tidak ada pengawal tadi yang mengejarnya ke depan. Namun yang ia lihat hanyalah barisan mobil mewah yang baru saja tiba, sorotan lampu, dan para wartawan yang terus berdesakan mencari momen.
Di telapak tangannya, Ruby masih bisa merasakan dinginnya ponsel yang barusan merekam kejadian mengerikan itu. Video singkat yang baru saja tersimpan di memorinya mungkin cukup untuk mengguncang dunia.
Namun Ruby sadar satu hal—jika Greyson tahu ada saksi mata yang menyaksikan perbuatannya, ia pasti akan memburunya sampai dapat.
Dengan berusaha tetap tersenyum profesional ke arah kamera, Ruby berdiri dengan tegak. Mikrofon kembali ia angkat, meski tangannya masih sedikit bergetar.
“Baiklah, pemirsa,” ucapnya dalam siaran langsung, suaranya stabil meski hatinya kacau. “Tamu-tamu penting masih terus berdatangan. Dan kita masih menunggu sosok yang menjadi pusat perhatian malam ini, Greyson Matteo DeLuca.”
Hanya Ruby yang tahu, bahwa nama itu kini bukan hanya headline berita baginya, melainkan ancaman nyata yang bisa mengubah hidupnya selamanya.