L I M A

1162 Kata
"Salma, masuk ke ruangan saya, ada yang mau saya omongin sama kamu." Salma berhenti mengetikkan sesuatu di layar komputernya, menatap bosnya yang kepalanya menyembul dari balik ruangannya. Dia yang terlalu fokus pada layar komputer di depannya agak linglung. "Saya Pak?" tanya Salma menunjuk diri sendiri. "Iya kamu, siapa lagi memang." Bosnya menyahut lebih galak. Orang bilang mempunyai bos ganteng adalah sebuah anugerah. Namun, itu tak berlaku bagi Salma. Walaupun Pak Arga ganteng, lebih ke ganteng banget si, tapi yang namanya bos tetaplah bos. Wajahnya memang enak dipandang, bisa jadi pemicu semangat di kala kerja, tetapi keadaan akan berbeda ketika sudah berhadapan dengan pekerjaan, apalagi kalau kantor sedang hectic dan banyak masalah, wajah gantengnya itu bisa berubah seperti singa betina yang mengamuk. Menyeramkan. Salma patah-patah melangkah menuju ruangan bosnya. Dalam hati dia merapalkan doa supaya tidak dimarahi bosnya kali ini. Sebelum masuk, Salma mengetuk pintu ruangan bosnya yang disahuti teriakan perintah untuk masuk. "Duduk!" titah Pak Arga. Salma menuruti perintah bosnya kemudian duduk di depan pria itu. "Ada klien baru, temen saya." Pak Arga membuka topik. Sebuah alasan kenapa dirinya dipanggil. Apalagi, pasti Salma disuruh memegang perusahaan milik temannya. "Perusahaannya tergolong baru dan baru beberapa tahun beroperasi. Penghasilan brutonya di bawah 4,8 miliar, jadi dia kena pajak final PP-23/2018 0,5%. Kamu siapin materinya ya, Sal. Sepuluh menit lagi kita meeting." Salma hendak protes, tetapi Pak Arga lebih dulu menyela. "Kerjaan kamu sudah saya alihkan ke Raja, biar dia yang ngerjain." Barulah Salma bisa bernapas lega mendengar ucapan bosnya. Salma pamit undur diri untuk menyiapkan materi sekaligus bersiap-siap. Salma bekerja di sebuah kantor konsultan pajak di salah satu daerah yang ada di Jakarta. Setelah beberapa tahun menjadi auditor dan terjebak jam kerja lembur bagai kuda, Salma merasa harus menyelematkan hidupnya dan pindah tempat kerja menjadi konsultan pajak. Walaupun kantornya bukan termasuk jajaran KKP besar, tetapi lumayan. Gajinya tidak beda jauh seperti di konsultan lain. Dan baginya itu cukup untuk menghidupi kehidupannya di Jakarta, setidaknya sampai dia berumur 40-an. "Pak, kita meeting di mana?" Salma bertanya ketika mereka menaiki lift menuju tempat meeting. "Di kantin bawah, kebetulan temen saya udah ke sini tadi, sekalian aja." Salma hampir menjerit mendengar jawaban bosnya. Apa katanya tadi? Kantin bawah? Meeting yang tidak elite sama sekali. Ya walaupun tidak masalah sih, mau meeting di manapun, tetapi tidak di kantin bawah juga kali. Mereka sampai di lantai 1, tempat kantin gedung kantor ini berada. Salma dibuat terkejut ketika melihat siapa klien yang dimaksud oleh Pak Arga. Seakan belum cukup tiga kali berturut-turut mereka bertemu, kini mereka dipertemukan kembali, dalam keadaan yang tak terduga juga tentunya. Pria itu, Ardan juga menampakkan reaksi terkejut sama sepertinya, tetapi dia segera mengontrol ekspresinya dan menyambut kedatangan mereka dengan senyum manis andalannya. "Kita ketemu lagi," ucap Ardan pada Salma. Pak Arga yang masih bingung dengan situasi di depannya bergantian memandang Salma dan Ardan dengan tatapan penuh tanya. "Kalian saling kenal?" "Iya, kami ini-" "Ah, kebetulan kemarin Pak Ardan yang bantuin saya waktu ban mobil saya bocor, Pak." Salma menyela ucapan Ardan sebelum pria itu berkata sesuatu yang tidak-tidak pada bosnya. Seperti penjelasan bahwa mereka bertemu karena sebuah perjodohan? Oh, no! membayangkannya saja Salma sudah malu setengah mati! "Ya udah, karena kalian udah saling kenal, jadi gue ngga perlu ngenalin lagi, ya. Langsung aja kita mulai meeting-nya." Ardan mulai menjelaskan perusahaan yang baru dia rintis beberapa tahun belakangan. Sebuah perusahaan manufaktur di bidang otomotif yang memproduksi onderdil motor maupun mobil yang penjualannya dipasarkan di dalam maupun negeri negeri. Walaupun ekspor produksinya belum sebesar perusahaan lain, namun hal itu merupakan sebuah pencapaian dalam perusahaan Ardan. Salma mendengarkan baik-baik penjelasan Ardan yang tidak dia dapatkan saat pertemuan pertama mereka. Sesekali dia mencatat hal-hal penting yang perlu dicatat. Setelah menjelaskan beberapa detail sistem perusahaannya, Pak Arga mengajak Ardan makan siang, kebetulan jam makan siang sudah tiba. Kantin mulai dipadati para karyawan dari kantor lain yang akan makan siang. For your information, kantor Salma terletak di sebuah gedung 14 lantai dengan beberapa kantor di dalamnya. Kantor Salma terletak di lantai delapan sampai sepuluh, sementara lantai yang lain dihuni oleh kantor perusahaan lain. Itulah kenapa, kadang ketika makan siang di kantin bawah, Salma dan teman-temannya akan sering menjumpai karyawan lain dari kantor yang berbeda. Intinya, mereka dapat penyegaran mata selain dari orang-orang di kantor tempatnya bekerja. Pak Arga dan Ardan terlibat dalam sebuah pembicaraan yang tak diketahui Salma. Sebenarnya sekarang dia lebih sibuk berkutat dengan ponselnya daripada ikut masuk dalam pembicaraan mereka berdua. Dia juga tidak terlalu kepo dengan topik bahasan yang mereka bicarakan. Pasti ujung-ujungnya tidak jauh-jauh dari masalah bisnis. "Salma udah berapa tahun kerja sama Arga?" Ardan tiba-tiba bersuara, membuat Salma yang semula fokus dengan ponselnya mendongak untuk menatap pria itu. "Kurang lebih 1 tahun setengah." "Salma ini karyawan teladan loh, walaupun dia anak baru, tapi dia bisa beradaptasi dengan baik. Bahkan kinerjanya lebih baik dari karyawan yang udah lama kerja sama gue." Salma tersenyum kikuk ketika mendapat pujian dari bosnya. Entah kenapa mulut bosnya yang terbiasa berkata pedas dan sekarang berubah menjadi manis terasa mengerikan di mata Salma. Ini pasti sebuah jebakan agar dirinya dengan sukarela menyerahkan diri ketika diajak lembur. "I see," respon Ardan. "Fyi, temen gue ini single loh Sal. Udah single, mapan, baik, setia, pengertian, kurang apa lagi tuh." 'Kurang hot Pak,' ucap Salma dalam hati. "Kalo lo minat-" "Maaf Pak, mungkin Bapak bisa promosiin Pak Ardan di tinder daripada promosiin ke saya. Soalnya selera saya om-om yang tajir gitu loh, Pak. Yang kaya raya terus banyak duitnya. Biar nanti hidup saya bisa terjamin, warisannya banyak," ucap Salma nyeleneh. "Oh, lo tenang aja, temen gue ini juga termasuk om-om yang banyak duitnya. Umurnya 31 tahun, cocok banget tuh sama lo yang usianya baru 27. Nanti biar lo berasa diayomi dan dilindungi sama dia, terus servis dia juga, awww ...." Ucapan nyeleneh bosnya terhenti. Pria itu mendelik pada Ardan yang pura-pura tersenyum manis seakan tidak terjadi apa-apa. Salma tahu kalau diam-diam Ardan mencoba menghentikan ucapan Pak Arga lewat tatapan matanya, tetapi karena bosnya itu kelewat tidak peka, pria itu malah terus nyerocos tanpa henti hingga membuat Ardan malu. "Kalau gitu saya pamit dulu, masih ada urusan soalnya." Ardan berdiri dan menyalami Salma. "Gue balik dulu, Bro." Setelah itu meyalami Pak Arga yang masih sibuk meringis meratapi kakinya yang diinjak oleh Ardan tadi. "Kamu beneran ngga minat sama temen saya tadi, Sal?" Kini Pak Arga sudah mengganti panggilannya menjadi formal, alih-alih menggunakan gue-elo seperti saat bersama Ardan tadi. "Kasian dia, udah tua masih aja jomlo. Trauma masa lalunya buat dia sulit berhubungan sama cewek lain, tapi waktu sama kamu tadi, saya liat tatapannya sedikit beda, mungkin aja dia ada ketertarikan sama kamu." Salma masih berusaha bersikap sopan di depan bosnya. Dia tersenyum anggun menatap sambil menatap bosnya, kemudian berkata, "Maaf Pak, sekali lagi saya tidak berminat dengan teman Bapak. Kalau mau biar nanti saya kenalin dia sama temen saya yang lain, biar dia ngga jomlo lagi." Setelah mengatakan itu dengan tegas, Salma keluar dari lift dan kembali menuju kubikelnya. ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN