"Gimana klien barunya tadi, Sal? Denger-denger dia salah satu temen kuliahnya Pak Arga dulu, masih muda dong." Kanaya atau yang biasa dipanggil Aya menggeser kursinya mendekat ke arah kubikel Salma, menanti cerita soal cogan seperti yang diharapkannya.
"Hm." Salma menjawab singkat. Mood-nya hari ini sedang buruk. Bukan karena tingkah Pak Arka yang mempromosikan Ardan padanya tadi, bosnya itu memang memiliki tingkah yang agak freak menurutnya. Bukan hanya menurutnya saja, teman-teman kantornya juga beranggapan seperti itu.
Pak Arga ini selalu menganggap bahwa status jomlo adalah sebuah momok yang harus dimusnahkan dalam hidup ini. Dia menganggap seorang jomlowan – sebutan bagi orang yang jomlo menurut beliau – adalah seorang yang butuh pertolongan untuk segera dicarikan pasangan. Pasangan baginya adalah oksigen kedua dalam hidup, maka dari itu banyak dari karyawan-karyawannya yang menjadi korban ke-freak-an Pak Arga, termasuk Salma tentunya.
"Tumben lo ngga semangat kaya biasanya. Kenapa? Klien-nya gak ganteng, ya? Atau dia sama freak-nya kaya Pak Arga?" Aya yang tidak biasa mendapati sikap Salma yang tak bersemangat setelah bertemu klien baru mencoba menebak.
"Kurang hot itu pasti." Mbak Ana ikut menimpali.
Raja ikut tertawa menimpali, "Selera Salma itu ngga kaleng-kaleng. Harus yang hot, minimal kaya Brayden Olson atau Nick Bateman lah."
"Jadi klien baru tadi ngga se-hot itu Sal?"
"Ya begitulah." Salma memilih menjawab singkat, tidak ingin memperpanjang masalah klien baru ini.
Pada akhirnya teman kantornya bubar, menyadari mood Salma sedang tidak baik-baik saja. Perempuan itu memilih fokus pada pekerjaannya, sibuk mengetikkan sesuatu di layar monitornya.
Sebenarnya hal yang membuat Salma kepikiran dari tadi adalah soal Ardan. Lebih tepatnya kebetulan-kebetulan yang membuat mereka jadi sering bertemu. Salma tidak ingin mengakui hal ini, tetapi bayangan kata-kata yang diucapkan oleh Ardan terus terngiang-ngiang di kepala Salma, membuatnya mau tidak mau memikirkan ulang kembali pernyataan itu.
"Saya perlu menyimpan jawaban atas pertanyaan Anda kali ini. Jika memang berjodoh, kita akan bertemu lagi dan saya akan menjawab pertanyaan Anda."
Salma masih ingat ekspreksi Ardan ketika mengatakan hal itu, senyuman manis yang berkali-kali membuat Salma terpesona hampir saja membuat perempuan itu terjatuh dalam pesona Ardan seakan hanya melihat lengkungan senyum di bibir pria itu bisa membuat hidup Salma baik-baik saja.
Awalnya Salma tak percaya tentang takdir, jodoh, atau apapun itu. Semua hanya omong kosong di matanya. Namun, ketika semesta turut andil dalam hidupnya semua yang dikatakan Ardan seakan tergambar nyata di depannya.
'Apa bener dia jodoh gue?'
Salma menggeleng, menepis jauh-jauh pemikiran itu. Tidak boleh, dia tidak boleh begini. Prinsipnya untuk tetap sendiri sudah menjadi keputusan bulat baginya, tak ada yang lebih baik dari itu. Bahkan Salma tidak menempatkan menikah dalam kamus hidupnya, baginya menikah hanya sebuah hal merepotkan dan membosankan.
"Menurut kalian, arti menikah itu apa?" Salma tiba-tiba menyeletuk, membuat ketiga teman kantornya terkejut mendapati pertanyaan itu keluar dari mulutnya.
"Lo yakin nanya itu, Sal?" tanya Raja memastikan.
"Kesambet setan apa lo, Sal? Lo ngga salah makan tadi, kan?" Mbak Ana sama terkejutnya dengan Raja.
Salma sudah menduga reaksi teman-temannya akan berlebihan seperti ini. Walaupun baru satu tahun setengah kerja di sini, tetapi mereka sudah kenal betul karakter Salma seperti apa. Menikah adalah kalimat sakral yang mustahil keluar dari mulut Salma. Mereka tahu bahwa Salma tak pernah benar-benar serius berhubungan dengan banyak pria. Hubungannya pun tak pernah langgeng. Hanya bertahan satu bulan atau dua bulan, paling mentok hanya empat bulan, itu pun sudah menjadi rekor pacaran paling lama dalam hidup Salma. Kalau dihitung mantan Salma itu bisa dijadikan asrama putra.
"Coba lo pegang dahinya, Ya, panas nggak."
Salma menepis tangan Aya yang hendak melakukan apa yang diperintahkan Raja.
Dia berdecak sebal. "Kampret, gue masih waras kali. Gue cuma penasaran aja, kenapa reaksi kalian berlebihan gitu sih."
Raja memegang dagunya, memundurkan kursinya menjauhi layar komputernya, berusaha sok serius. "Kalau orang-orang kayak lo ini udah tanya tentang menikah, pasti ada yang bikin lo kepikiran kan? Kenapa? Nyokap-bokap lo maksa lo buat cepet nikah? Atau lo mulai cape ditanyain kapan nikah sama keluarga besar lo dan sibuk dibanding-bandingin sama sepupu lo yang lain?"
"Gue prefer opsi pertama sih,"sahut Mbak Ana.
"Hm, sebenernya klien baru yang tadi gue temuin sama bos itu orang yang dijodohin nyokap sama gue."
"WHATT?" Seruan ketiga temannya mampu membuat orang yang lewat memperhatikan mereka berempat. Salma mendelik menatap mereka, yang kini sibuk menutup mulut dan menyembunyikan wajah di balik layar komputer.
"Kalian bisa diem nggak sih?!"
"L-lo dijodohin Sal? Sumpah demi apa?!" Raja memberikan reaksi yang berlebihan. Selanjutnya tawa dari pria itu mengudara di antara kubikel mereka.
Salma menatap Raja dengan tatapan sebal, rasanya dia ingin melemparkan apapun pada pria di depannya itu.
"Kok bisa, gimana ceritanya?" Mbak Ana memilih menggiring topik, mengabaikan tawa Raja yang masih mengudara.
"Ya gitulah, kayak orang tua kebanyakan yang khawatir anak gadisnya masih sendiri di umurnya yang udah hampir kepala tiga."
"Lebay lo kepala tiga. Lo masih 27 tahun kali, belum tua-tua amat lah, sampe orang tua lo se-ngebet itu."
Salma mengendikkan bahu. "Gue juga bingung sama tingkah orang tua gue. Kenapa mereka mendadak jadi peduli gitu ya sama hidup gue, sebelumnya aman-aman aja tuh, bahkan nyokap-bokap ngga pernah nanyain masalah percintaan gue. Bodo amat mau gue punya mantan yang bisa dijadiin kesebelasan sepak bola kek, mau gue masih jomlo kek, nggak ngurus."
"Mantan lo mah bukan kesebelasan lagi levelnya Sal, udah bisa dijadiin alumni SMA kali."
Salma tertawa mendengar kata-kata Aya. Dia sama sekali tidak tersinggung dengan ucapannya. Toh itu memang benar adanya. Mantan Salma memang banyak, bahkan dirinya sudah mulai berpacaran sejak masih di bangku Sekolah Dasar, zamannya cinta monyet yang masih suka kejar-kejaran di halaman sekolah atau kirim-kiriman surat cinta di tengah jam istirahat.
"Jadi bener klien baru itu ngga hot, jadi lo nolak dia gitu?"
"Sebenernya nggak juga sih. Bodi-nya lumayan, four pack, ngga bidang-bidang amat, tapi enak diliat lah."
"Buset, lo bahkan udah liat badan dia? Udah ngapain aja lo sama klien baru itu?"
Salma tersenyum misterius. Dia jadi ingat pertemuan pertamanya dengan Ardan. Dia memang sudah melihat tubuh pria itu. Walaupun samar-samar Salma masih mengingat jelas bayangan tangannya yang menari-nari di atas d**a bidangnya. Mengingatnya membuat pipi Salma memerah. Sial, kenapa reaksi tubuhnya sedikit berlebihan hanya dengan membayangkan malam panas bersama Ardan. Dia telah banyak melewati momen-momen seperti itu dengan pria lain, tetapi hanya dengan Ardan dia bersikap aneh begini.
"Adalah ceritanya panjang." Salma memutuskan menghentikan percakapan, membuat ketiga temannya memaki-maki karena sudah dibuat kepo.
***