Salma merebahkan diri di atas ranjang kamarnya, mengistirahatkan diri setelah menjalani rutinitas pekerjaan yang sangat melelahkan.
Dering dari ponselnya berbunyi, membuat fokusnya teralihkan dan mencari-cari dimana terakhir kali dirinya menyimpan benda pipih itu. Salma berhasil menemukan ponselnya yang tergeletak di ujung kasur. Dia melihat nama mamanya menari-nari di atas layar ponsel, membuatnya tanpa sadar menghela napas panjang.
"Iya Ma? Ada apa?" tanyanya to the point.
"Memangnya harus ada alasan mama nelpon anak mama sendiri?"
Salma memutar bola matanya malas. Dia kembali menerima omelan panjang dari mamanya tentang blablabla, Salma tak terlalu memperhatikan karena terlalu malas mendengar omelan yang sama dari hari ke hari. Dia lebih memilih memandang kuku-kukunya yang mulus tanpa hiasan apapun, membuat Salma merasa ada kekosongan di sana. Sepertinya minggu depan dirinya harus merencanakan ke salon hanya untuk sekedar merawat diri.
"Gimana pertemuan kamu sama Ardan?" Pada akhirnya ada tujuan lain kenapa mamanya menelfon dan tebakan Salma benar.
"Ya begitulah, kami ngga cocok, jadi Salma mutusin ngga lanjut."
"Kamu yakin? Kamu udah betul-betul ketemu dia kan? Ngga cuma cari alesan supaya kamu terbebas dari ceceran mama papa soal pernikahan?"
"Iya Ma, Salma beneran ketemu kok sama Ardan, kalo mama ngga percaya Salma bisa tunjukkin bukti foto kami waktu di restoran." Padahal Salma sama sekali tidak mempunyai bukti foto apapun seperti yang dikatakannya tadi. Dia bilang begitu hanya untuk meyakinkan mamanya.
"Kenapa Sal? Apa yang buat kamu ngga suka sama Ardan? Apa yang kurang dari Ardan."
"Banyak Ma. Kami berbeda, dari awal ketemu saja Salma udah merasa ngga cocok sama Ardan, obrolan kami ngga nyambung dan Ardan itu terlalu membosankan menurut Salma."
Bohong. Kenyataanya Salma selalu tertarik setiap dekat dengan pria itu, apalagi kalau pria itu sudah menunjukkan senyum manis andalannya. Bahkan Salma mau bertaruh berkali-kali lipat hanya untuk melihat senyuman itu lagi.
"Mama ngga lupa kan sama kesepakatan kita berdua. Mama sama Papa ngga akan maksa-maksa Salma ikut perjodohan lagi kalau pertemuan Salma sama Ardan ngga berhasil."
Di seberang telepon Salma bisa mendengar helaan pasrah mama.
"Ya sudah Mama sama Papa ngga akan maksa-maksa kamu ikut perjodohan lagi, tapi Mama harap kamu bisa mempertimbangkan keputusan kamu untuk bersama Ardan."
Setelah itu telepon ditutup. Salma melempar asal ponselnya ke sembarang arah di atas kasurnya, kemudian kembali merebahkan diri di atas ranjang.
Pikirannya berkelana entah kemana. Dia butuh wine untuk menyingkirkan segala pikiran buruk yang mampir ke otaknya, tapi kenyataan bahwa besok masih hari kerja membuatnya seketika frustasi. Apa yang bisa dilakukannya sekarang?
***
Pada akhirnya Salma memilih jogging sebagai pilihan untuk melepaskan kepenatannya. Ya, jogging di malam hari. Orang-orang mungkin menganggapnya aneh, berlari dengan pakaian jogging di tengah malam. Salma mengabaikan tatapan itu dan terus berlari, persetan dengan orang-orang.
Salma merasa napasnya terengah-engah setelah kurang lebih 1 km berlari. Dia berhenti di salah satu bangku taman di pinggir jalan, kemudian menegak air mineral yang dibawanya dari rumah. Dia menghabiskan setengah botol air mineral yang dibawanya kemudian metelakkan sisanya di bangku.
Entah dari mana asalnya tiba-tiba seseorang mengambil air mineral yang tadi diletakkannya, meminumnya hingga habis tak bersisa.
"Maaf, aku habisin minumnya, haus banget soalnya." Seseorang di sampingnya menunjukkan cengiran tanpa dosa.
"Ardan? Kok lo bisa ada di sini?"
Ardan mengangkat bahu. "Kamu sendiri, kenapa bisa sampai ada di sini?"
"Gue yang tanya dulu, jadi lo harus jawab pertanyaan gue."
"Apartemenku ada di sekitar sini."
"Really?" Salma tidak bisa untuk tidak terkejut.
Ardan mengangguk sebagai jawaban. "Kamu habis jogging?"
"Seperti yang kamu lihat, pilihan terbaik daripada harus berakhir hang over di saat besok masih hari kerja."
"Kamu itu sering banget ke bar ya?"
"Iya, kenapa?"
"Ngga papa, aku cuma tanya aja. Memangnya dengan ke bar bisa menyelesaikan masalah yang kamu punya?"
Salma mengernyit mendengar pertanyaan Ardan. Pria itu bertanya seolah pertemuan pertama mereka tidak terjadi di bar. Salma melihat tatapan penasaran yang tergambar jelas di mata Ardan. Pria itu bersikap seolah-olah asing dengan tempat semacam itu.
"Menurut lo?"
Ardan mengendikkan bahu. "Aku ngga tahu, kemarin itu pertama dan terakhir kalinya aku ke bar. Itupun karena aku dijebak sama temen-temenku. Mereka ngajak aku buat ngerayain ulang tahun salah satu dari kami. Aku ngga tau kalau tempat yang mereka tuju itu tempat seperti itu."
Salma merasa terganggu dengan sebutan 'tempat seperti itu' yang keluar dari bibir Ardan.
"Maksud lo tempat seperti itu yang kayak gimana?"
"Ah, maaf. Aku bukannya mau menghakimi, tapi aku bener-bener asing dengan tenpat seperti itu, maksudku dunia malam seperti yang kalian jalani."
Salma agak terkejut dengan pengakuan Ardan. Dilihat dari penampilannya, pria itu memang tidak pantas berada di dunia malam seperti yang disebutkan tadi. Dia terlihat polos dan cupu untuk mengenal hal seperti itu. Oh, apa sekarang Salma baru saja dipertemukan dengan sosok pria jelmaan malaikat? Ah, tapi seorang malaikat tidak akan khilaf seperti Ardan di malam itu.
"Tapi, malam itu, lo ngga terlihat kayak orang yang baru pertama kali ke bar deh, bahkan lo terlihat kayak udah pro."
Muka Ardan berubah merah mendengar pernyataan Salma. Oh, sepertinya Salma salah bicara.
"Aku cuma ngga mengenal dunia malam, bukan ngga punya nafsu."
What? Apa itu artinya bahwa Salma berhasil membuat pria itu nafsu padanya? Membayangkan hal itu saja membuat pipi Salma menjelma semerah tomat, sama halnya dengan pipi Ardan sekarang.
"Jadi itu beneran pengalaman pertama lo?"
"Ya begitulah, tapi aku tidak menyesalinya. Mungkin kalau hal ini sampai ke telinga ibuku dia akan langsung membawa kita ke KUA terdekat supaya cepat-cepat dinikahkan, tapi apa pun itu, aku ngga pernah menyesal pernah menghabiskan malam dengan kamu."
Dalam hati Salma menyetujui ucapan Ardan. Dia juga tak pernah menyesal dengan kejadian malam itu, walaupun dalam semalam, hanya beberapa hal yang bisa diingat oleh otaknya, entah kenapa Salma malah berharap saat itu dirinya benar-benar sadar dan tidak sedang dalam pengaruh alkohol.
"Sudah malam, kamu mau aku anterin pulang? Kayaknya tempat tinggal kamu ngga di sekitar sini deh. Kamu udah lari berapa kilo?"
Salma menggeleng. "Entahlah, gue ngga ngitung berapa kilo, terlalu fokus lari sampe ngga nyadar udah sejauh ini."
"Jadi? Boleh aku nganterin kamu pulang?"
Salma berpikir sebentar, menikmati pemandangan wajah Ardan yang menanti jawabannya dengan harap-harap cemas. Melihat raut muka Ardan yang seperti itu malah membuat Salma semakin gemas.
"Karena gue mager balik ke apartemen jalan kaki, jadi boleh deh."
Senyum Ardan mengembang mendengar jawaban Salma. Tanpa Ardan ketahui senyuman pria itu membuat Salma sekuat tahan menahan napas karena untuk kesekian kalinya kembali terpikat dengan lengkungan bibir pria itu.
***