"Minum dulu." Salma menyodorkan segelas air putih dingin yang diambil di kulkas kea rah Ardan.
Ya, setelah menyetujui tawaran pria itu untuk mengantarkannya sampai ke apartemen, Salma nekat – mencoba peruntungan – mengajak pria itu untuk mampir. Saat malam mulai beranjak menuju pagi.
"Terima kasih." Ardan menerima segelas air putih dingin yang disodorkan oleh Salma kemudian menyesapnya sedikit, demi kesopanan. Perutnya sudah cukup terisi dengan air mineral yang tadi dimintanya pada Salma.
"Apartemen kamu bagus."
Salma tak yakin Ardan mengatakan hal itu dengan tulus, karena mau dilihat dari segi manapun, apartemennya ini tak lebih seperti sebuah kapal pecah. Salma memang terbiasa melemparkan semua barang-barangnya ke sembarang arah sehabis pulang dari luar. Itu dilakukannya untuk melampiaskan penat yang didapatnya seharian setelah berinteraksi dengan banyak orang.
"Gue ngga butuh pujian dari lo btw, lagian pujian lo itu keliatan banget kali bohongnya."
Ardan tertawa, mengerti yang dimaksud Salma. "Tapi serius, kalau saja ruangan ini agak sedikit lebih rapi pasti bakal lebih enak dipandang."
"Maksud lo apartemen gue ngga enak dipandang gitu?"
Ardan menggeleng, "Bukan, bukan itu maksud aku." Dia tertawa kemudian disusul oleh Salma yang juga ikut tertawa. Mereka spontan melakukan itu, entah menertawakan apa juga mereka tidak tahu.
"Kenapa kita jadi bahas hal yang ngga penting gini ya," ucap Ardan.
"Jadi, lo mau kita bahas sesuatu yang lebih penting gitu?"
"Something like that."
"Give me an example."
"Apa?"
"Sesuatu yang kata lo penting itu."
Ardan berpikir sebentar kemudian menjawab. "Tentang perjodohan kita, maybe?"
Salma tersenyum miring. "Memangnya apa yang perlu dibahas dari perjodohan konyol yang disepakati oleh orang tua kita?"
Ardan terlihat terganggu dengan ucapan Salma. "Perjodohan konyol? Kamu menganggap perjodohan sesuatu yang konyol?"
Salma mengangguk tegas. "Ya, memangnya apa yang lo pikirkan tentang perjodohan kalau bukan sesuatu yang konyol? Ayolah, ini bukan lagi zaman Siti Nurbaya yang masih menggunakan sistem perjodohan seperti ini. Zaman sudah modern, hanya orang-orang yang sudah putus asa soal cinta yang mau menerima perjodohan itu."
"Yes, and i'm that person you mean."
Mata Salma menyipit, sama sekali tak mengira bahwa Ardan berada di pihak yang kontra dengannya.
"Apa yang membuat kamu mau menerima perjodohan ini?" tanya Salma.
Ardan diam sebentar. Dia seperti kesulitan menemukan jawaban atas pertanyaan Salma yang terbilang simpel.
"Kamu tahu umurku tidak muda lagi. Aku sudah 31 tahun, sudah saatnya aku mulai memikirkan soal pernikahan."
Salma tertawa mendengar jawaban Ardan. "Oh ayolah, gue tau umur itu cuma bullshit. Lo cowok, pandangan orang-orang ngga akan separah ketika mandang seorang cewek di atas 25 tahun belum nikah. Gue tau orang-orang pasti memaklumi lo sekalipun lo belum nikah saat ini. Beda dengan gue. Semua orang nyinyirin gue seakan kalau gue ngga nikah gue bakal mati. Lucu aja si kalo liat pandangan masyarakat soal perbedaan umur laki-laki dan perempuan."
"Wajar ngga sih orang-orang di sekitar kamu bersikap seperti itu? Karena wanita punya batas. Wanita punya masa menopause sementara pria engga, jadi mereka khawatir masa subur perempuan lewat karena terlalu tua menikah."
"Memangnya anak adalah segalanya di dalam pernikahan?"
Ardan memilih mengendikkan bahu, "Maybe, menurutmu?"
Salma menggeleng, tak punya jawaban.
"Aku juga penasaran, kenapa kamu mau menyetujui perjodohan itu dan menemui aku di restoran kemarin."
Salma meletakkan gelas yang sudah kosong di wastafel, kemudian berjalan menuju kitchen bar dan duduk di depan pria itu.
"Terpaksa. Orang tua gue terus-terusan nyuruh gue buat ketemu lo, karena gue risi dan bosen juga dipaksa-paksa terus, akhirnya gue nurutin kemauan nyokap buat ketemu lo."
"So, apa jawaban kamu?"
"Apa?"
"Soal perjodohan kita. Yes or no?"
"No." Salma menjawab tegas.
Tanpa diduga Ardan hanya menaikkan alis mendengar jawaban Salma. Dia sama sekali tidak tersinggung. "Why?"
"As you know, lo bukan selera gue. Inget pembicaraan kita pas meeting?"
Ardan tertawa. "Ya ampun, jadi itu bener? Kamu mau nikah sama om-om tajir biar dapet warisan banyak?"
"Yeah, why not?"
"Apa alasannya hanya itu? Warisan?"
"Gue suka gaya lo. Gue tau itu terdengar gak masuk akal kan? Tapi, lo perlu satu hal tentang gue yang jadi salah satu alasan kuat kenapa gue menolak perjodohan ini."
Ardan tidak menjawab. Dia menunggu Salma menyelesaikan kata-katanya.
"Gue berencana buat ngga menikah."
Salma sudah menduga reaksi yang akan ditunjukkan Ardan. Seperti ekspektasinya, pria itu terkejut bahkan hampir saja memecahkan gelas yang dipegangnya.
"K-kamu ... serius?"
Yang dijawab anggukan oleh Salma. Ardan berdiri, menyugar rambutnya ke belakang. Pria itu mungkin masih tidak percaya dengan apa yang keluar dari mulut Salma.
"Tapi kenapa?"
"Nothing. Memangnya menikah itu sebuah keharusan ya? Menikah itu pilihan, ngga ada sebuah keharusan manusia untuk menikah. Dan gue memilih jalur berbeda di antara manusia yang lain. Ya, gue memilih buat engga mengambil pilihan itu dan tetap dalam jalur gue, sendirian. Jadi, kalau lo berekspektasi bahwa gue bakal menerima perjodohan ini karena kejadian malam itu, lo salah. Lo harus buang jauh-jauh pemikiran itu karena itu ngga akan pernah terjadi."
Salma berbalik, memunggungi tubuh Ardan. "Gue mau istirahat, lo bisa balik."
Hening sejenak, tak ada pergerakan sama sekali dari Ardan. Salma hanya menghela napas kemudian memilih untuk masuk ke kamarnya meninggalkan pria itu.
Selangkah lagi kakinya mencapai kamar, langkahnya dihentikan oleh perkataan Ardan.
"Aku punya penawaran bagus buat kamu."
Salma diam menunggu pria itu menyelesaikan kalimatnya.
"Give me a chance."
Salma berbalik, berdiri menghadap pria itu. Dia mengeluarkan senyum miringnya, yang kata orang merupakan senyum andalan yang bisa membuat siapa pun yang berhadapan dengannya langsung mental down. "Kesempatan lo bilang? Lo ngga punya kesempatan bahkan sejak pertama kali kita ketemu."
"Makanya aku ngasih penawaran ke kamu."
Salma mengangguk. Menimbang sekali lagi soal "penawaran" yang dimaksud Ardan. Mau tidak mau dirinya juga penasaran akan hal itu.
"Okay. I will listen."
Ardan tersenyum lebar. Dia tahu dia berhasil membuat wanita di depannya penasaran dan mau mendengarkan "penawaran" yang akan dia sampaikan.
"Kasih aku kesempatan enam bulan buat bikin kamu ngerubah pemikiran soal menikah itu. Kasih aku kesempatan untuk deketin kamu dan aku bakal bikin kamu mau menikah denganku."
Salma tersenyum miring. "Terus apa yang gue dapet dengan penawaran itu?"
"Aku, maybe?" Ardan menjawab ragu. "Aku tau orang kayak kamu suka tantangan, so just follow the flow and play with me. Kamu suka permainan kan? Aku bisa jadi mainan kamu, sampai kamu merasa puas. Manfaatin aku semau kamu, aku bakal berikan apapun buat kamu. Gimana?"
Salma menimbang-nimbang. "Keliatannya menarik."
"Jadi, deal?"
Ardan mengulurkan tangannya ke arah Salma, mengajak perempuan itu berjabat tangan sebagai tanda awal kesepakatan mereka.
Salma menatap tangan Ardan yang terulur di hadapannya, kemudian dengan mantap menjabat tangan itu.
"Deal!"
***