S E M B I L A N

1004 Kata
Ardan benar-benar serius dengan penawarannya semalam. Dia berperan layaknya seorang pacar yang sangat menyayangi kekasihnya. Mulai dari mengantar jemput Salma ke kantor, mengajak Salma makan siang bersama, kencan sepulang kerja, sampai pada titik dimana room chat w******p mereka yang awalnya kosong jadi ramai oleh chat-chat random pria itu. Salma benar-benar terkejut mendapati perlakuan seperti ini. Dia merasa aneh dan sedikit ... risi. Oh, ayolah. Dia memang memiliki pengalaman yang banyak soal pacaran, tapi dengan garis bawah, tanpa melibatkan perasaan apa pun. Pacaran baginya hanya have fun. Anggap saja sebagai hiburan dirinya yang sedang bosan. Pertanyaannya, apakah sekarang dia melibatkan perasaan dengan Ardan atas hubungan mereka ini? Jika kalian melemparkan pertanyaan seperti itu pada Salam, perempuan itu akan menjawab tidak tahu. Iya, Salma tidak tahu apakah dia melibatkan perasaan dalam hubungan ini atau sekedar hiburan seperti yang sudah-sudah. Intinya Salma merasa asing dengan perasaan yang hadir setiap Ardan berlaku manis padanya. Seperti saat ini, pria itu sudah menunggu di lobi apartemennya dan siap untuk mengantar Salma sampai kantor. "Udah siap?" Ardan bertanya pada Salma yang masuk ke mobil dan duduk di sebelahnya. "Udah. Sori ya lama, gue perlu waktu buat gambar alis tadi." Ardan tak berkomentar apapun. Hanya bergumam pelan yang menandakan bahwa dia tidak masalah menunggu Salma. Kalau boleh jujur, Salma agak terkesan dengan sifat Ardan yang ini. Jika biasanya pria di luar sana selalu protes ketika harus menunggu lama Salma berdandan. Ardan justru sebaliknya. Pria itu tak pernah berkomentar apa-apa ketika harus menunggu lama Salma berdandan. Bahkan pria itu pernah menawarkan untuk menemani Salma ke salon. Yang notabene jika sekali perempuan ke salon, bisa menghabiskan waktu berjam-jam untuk melakukan perawatan diri. "Hari ini lo rapi banget, tumben." Salma menilai penampilan Ardan dari atas hingga bawah. Pria itu jarang memakai jas jika berangkat ke kantor. Ardan lebih suka memakai kemeja dibanding jas yang katanya terlalu formal. "Aku ada meeting penting nanti sama klien." "Jam berapa?" "Setengah delapan." Salma melirik ponselnya untuk mengecek jam. Waktu sudah menunjukkan pukul 07.00, setengah jam lagi pria itu harus sudah di kantornya, sedangkan butuh waktu 20 menit bagi Ardan untuk mengantarkan Salma sampai ke kantor, belum lagi pria itu harus putar balik karena arah kantor mereka yang berbeda. Itu artinya, pria itu tak punya cukup waktu untuk sampai tepat waktu di kantornya. "Kok lo ngga bilang sih kalau ada meeting penting. Tau gitu kan gue ngga perlu dijemput daripada lo telat sampai kantor." "Ngga papa kok, ini kan udah tanggung jawab aku buat nganter jemput kamu, masalah sama klien bisa diurus belakangan." Salma berdecak. Dia merasa tidak enak sekarang karena Ardan lebih memprioritaskan dirinya daripada urusan kantornya sendiri. "Lo ngga bisa gitu dong, apapun alasannya, urusan lo lebih penting sekarang. Gue juga bukan bocah TK yang harus dianter jemput. Jangan bikin gue merasa bersalah, Dan. Gue ngga suka balas budi ke orang." "Beneran ngga papa Sal. Ini juga keinginan aku sendiri buat anter jemput kamu, jadi kamu ngga perlu merasa ngga enak." "Tapi, meeting lo gimana?" "Ngga papa, sekretaris aku bisa nge-handle semuanya." Salma bisa bernapas lega, walaupun masih ada yang mengganjal di benaknya. "Lain kali kalau emang ngga bisa buat anter jemput, jangan dipaksa. Gue ngga mau jadi beban buat orang lain." Setelahnya mereka hanya diam sepanjang perjalanan ke kantor. Ardan men-drop Salma di depan lobi kantor, kemudian berbalik arah menuju kantornya. "Hati-hati," pesan Salma pada Ardan lewat jendela mobil. Pria itu tersenyum, kemudian dengan iseng mengulurkan tangannya untuk mengacak pelan rambut Salma. "Ish, Ardan! Nanti rambut gue lecek!" protes Salma. Ardan tertawa melihat Salma yang menggerutu karena ulahnya. Dia selalu suka setiap perempuan itu mengomel karena kesal dijailinya. Bibir itu akan maju beberapa senti kemudian bergerak-gerak melayangkan protes padanya. "Udah sana berangkat ke kantor, kenapa masih di sini." "Ya udah aku berangkat dulu ya, see you tonight." Salma hanya bergumam. Dia memandangi mobil Ardan yang sudah melaju meninggalkan lobi kantornya. "Ehem ehem, cowok baru Sal?" Salma berbalik dan mendapati Raja sedang menatap jail ke arahnya. Salma memilih untuk mengabaikan Raja, melengos melewati pria itu masuk ke dalam kantor. "Dih, dicuekin gue, nih? Lo ngga mau spill cowo baru lo ke gue Sal?" Salma mengabaikan teriakan Raja dan terus berjalan memasuki lift menuju gedung tempat kerjanya. Temannya itu masih merecoki Salma hingga mereka sampai di tempat duduk masing-masing. "Lo sekarang kenapa jadi berubah gitu deh, Sal. Sok-sokan misterius padahal aib lo luar dalem semua gue tau." Salma berdecak, "Lo kepo banget deh, jadi orang, Ja" "Yee, kayak sendirinya juga ngga kepo lo. Btw yang satu ini kenal dimana? Kok tumben sampai nganter jemput segala." Salma mengendikkan bahu. "Rahasia." Raja bergerak melempar remasan kertas ke arah Salma. "Sok-sokan misterius lo." "Biarin lah, suka-suka gue." "Palingan juga cuma bertahan dua minggu." Salma gantian melempar remasan kertas yang tadi meleset mengenainya ke arah Raja. "Heh, sembarangan lo kalau ngomong!" "Dih, emang kenapa? Biasanya juga gitu kan." "Omongan itu doa. Jangan-jangan selama ini gue sering gonta-ganti pacar gara-gara doa jelek lo." Raja berkacak pinggang sekarang. "Heh, itu mah lo-nya aja yang buaya anjir. Gaada hubungannya sama gue." Salam tertawa. "Gue masih penasaran sama yang satu ini, masih pengin main-main yang lama. Jadi kemungkinan besar kata-kata lo tadi ngga bakal terwujud." "Penasaran sama siapa?" Aya yang baru datang langsung nimbrung dalam percakapan. "Biasa, target barunya Salma. Dia sok-sokan misterius ngga mau kasih spill ke gue." "Eh, anjir! Emangnya sama anak gedung sebelah udah kelar?" Salma memang sempat dekat dengan salah satu karyawan gedung sebelah. Namun, hubungan mereka hanya bertahan beberapa minggu saja karena Salma merasa pria itu terlalu membosankan. Wajahnya sih oke, tapi kelakuannya itu yang membuat Salma illfeel. Bayangkan saja, dalam sehari pria itu bisa mengiriminya puluhan pesan hanya untuk mengabari setiap kegiatan yang dilakukannya. Mau mandi lapor, mau makan lapor, lagi di jalan lapor, bahkan sedang duduk saja pria itu melapor pada Salma. Sungguh tidak masuk akal. Salma mengibaskan tangannya. "Itu mah udah lama kali, gue udah dapet pengganti ketiga setelah sama dia." "Buset dah lo, Sal! Kapan lo bisa tobat." "Nanti, kalo gue udah dapet om-om yang bisa nafkahin gue tujuh turunan." "Dasar lo, pengobsesi om-om tajir!" ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN