S E B E L A S

1100 Kata
"Ada yang belum Bapak pahami?" Salma bertanya pada Ardan yang kini sedang duduk di depannya. Dia habis menjelaskan soal PPN atas barang ekspor yang mempunyai tarif nol persen. "Cukup." Salma membereskan kertas-kertas yang berserakan di meja meeting, bersiap untuk keluar untuk makan siang. "Hari ini mau makan siang di mana?" tanya Ardan. "Bagaimana, Pak?" Salma mengulangi pertanyaan Ardan. "Ck, kayaknya kalau udah di luar jam kantor kamu ngga perlu panggil aku Bapak deh. Aku terlalu tua buat jadi bapak kamu." Salma berdehem pelan. "Profesionalitas, selama di kantor saya akan tetap menjaga panggilan ini." "Ya sudah terserah kamu. Jadi kita mau makan siang di mana sekarang?" Salma memutar bola matanya malas. "Keknya percuma ya gue ngejabarin soal profesionalitas ke elo. Ini tuh lagi di kantor, bisa-bisanya lo ngajak gue makan siang bareng." "Memangnya kenapa?" "Posisi lo saat ini klien gue, jadi gue ngga boleh sembarang nyampurin urusan pribadi sama urusan kantor." "Tapi kan kita udah selesai meeting, Sal." "Tetep aja ini di kantor!" Ardan menghela napas pendek. "Ya udah, sekarang aku nanya ke kamu sebagai klien. Jadi, ada rekomendasi tempat makan di sekitar sini?" Ini kenapa jadi kek drama recehan begini ya? "Untuk tempat makan yang enak ada beberapa sih, Pak. Kalau mau yang berkuah, di pojok jalan situ ada penjual soto Betawi yang rasanya udah ngga diragukan lagi. Terus kalau mau makanan yang kering, Bapak bisa pesen pecel lele di samping gang sebelah. Terus ada lagi warung ayam goreng di seberang jalan." "Kalau berkenan, Bu Salma mau nemenin saya makan soto di tempat yang Ibu rekomendasikan tadi?" Salma sungguh geli mendengar percakapan mereka yang sok-sokan bersikap formal padahal sehari-hari biasa sering bertemu. "Sayang sekali, Bapak kalah gercep. Saya sudah ada janji dengan teman saya." Ardan menaikkan sebelah alisnya. "Sama siapa?" tanyanya, tak lagi peduli dengan dia yang sedang berperan sebagai klien yang mencoba mendekati vendornya. "Sama orang yang lagi di depan saya sekarang." Ardan tersenyum, menyadari bahwa yang dimaksud Salma adalah dirinya. "Jadi, kita otw sekarang?" "Oke, gue beresin ini dulu. Lo tunggu aja di lobi kantor." "Kita turun bareng aja." "No, no, no, gue perlu touch up dulu sebelum pergi." "Ngga papa kok, aku bisa nunggu dulu di sini. Ruangannya lagi selo kan?" "Terserah lo, gue duluan." Salma berbalik, meninggalkan Ardan di ruang meeting sendirian. Dia kembali ke mejanya kemudian langsung bersiap-siap untuk pergi makan siang. "Makan bareng yuk, Sal," ajak Aya. "Duluan aja, gue ada janji sama temen." "Lo jadi jarang banget makan bareng kita-kita, keluar sama siapa sih lo?" Salma tersenyum misterius. "Ada lah, kepo deh lo." "Dih main rahasia-rahasiaan lo sekarang Sal, awas aja." Raja mendekati Aya, kemudian menarik cewek itu keluar dari ruangan. "Udah ayo makan bareng gue aja. Lo jomlo diem aja ngga usah berisik." "Eh anjir, kok lo bawa-bawa status sih Ja." Salma tertawa melihat pertengkaran Raja dan Aya yang masih terdengar hingga mereka masuk ke dalam lift. Setelah selesai dengan aktivitas dandannya, Salma menghampiri Ardan di ruang meeting kemudian mengajak pria itu pergi. Mereka jalan kaki menuju warung yang direkomendasikan tadi. Memesan dua porsi soto Betawi ditambah dengan nasi hangat dan es teh manis. "Kamu sering ke sini?" tanya Ardan ketika mengingat interaksi antara Salma dan penjual soto saat memesan tadi. Penjual tersebut bahkan tau nam Salma dan sempat menggoda cewek itu karena ketahuan datang dengan seorang laki-laki. "Lumayan sering. Anak kantor biasa ngerayain ulang tahun di sini kalo lagi bokek. Biasa, minta traktiran gitu." "Memangnya ulang tahun kamu kapan?" "Dah lewat, satu bulan yang lalu." Ardan hanya ber-oh. Kemudian pria itu berinisiatif membuka botol saus di tangan Salma ketika perempuan itu terlihat kesusahan untuk membuka tutupnya. "Nih." Ardan memberikan saus yang sudah dibuka ke Salma. "Makasih." "Kamu ngga papa makan dengan sambal sebanyak itu?" Ardan menatap horor mangkuk Salma yang kini sudah dipenuhi dengan cabai dari sambal dan kuahnya yang memerah karena efek campuran dari saus. "Makan soto itu ngga enak kalo engga pedes." "Tapi kalau sambalnya sebanyak itu bukannya bisa bikin perut kamu sakit nanti?" Salma mengibaskan tangannya. "Udah biasa gue, dibiarin sebentar juga sembuh nanti efek sakit perutnya." Ardan menggelengkan kepalanya, tak habis pikir dengan pikiran Salma. "Bukan masalah cepet sembuh atau enggaknya. Setidaknya kasihani lambung kamu, efeknya bisa jangka panjang loh kalau keterusan makan makanan pedas." Ardan yang gemas segera menahan tangan Salma yang ingin menuangkan kembali sesendok sambal ke mangkuknya. Perempuan itu benar-benar gila! Padahal mangkuk di depannya sudah semerah darah, tapi Salma masih ingin tambah sambal lagi? Ardan yang melihatnya saja ngeri apalagi kalau dia yang memakannya. "Udah, kamu ngga boleh nambah sambal lagi. Kasihan perut kamu nanti." Ardan menjauhkan mangkuk sambal dari hadapan Salma agar tak terjangkau oleh tangan perempuan itu lagi. Salma memanyunkan bibirnya tak terima dengan tindakan Ardan. Dia bahkan berinisiatif untuk menambahkan saus lagi karena tidak bisa menambah sambal yang lagi-lagi dicegah oleh Ardan. "Kamu itu kalo dibilangin bandel banget ya. Siniin, tak singkirin semuanya aja." Ardan membawa botol saus dan sambal jauh dari meja mereka. "Ish, pelit banget sih! Ini tuh masih belum pedes Dan!" protes Salma. "Ini bukan pelit Sal, ini namanya peduli. Lagian mangkuk kamu itu udah berubah warna semerah itu masih bilang belum pedes? Orang yang liat aja ngeri kok." "Ya ya ya ya, terserah lo." Salma akhirnya memilih untuk menghabiskan sotonya dengan sambal dan saus yang dituang seadanya tadi. Walaupun masih ada yang kurang, tapi Salma tetap menghabiskan sotonya hingga tandas. "Udah?" "Hmm." "Bentar, aku mau bayar dulu." Ardan beranjak dari duduknya kemudian membayar makanan yang di pesan mereka. Setelah itu mereka berdua keluar dari warung dan kembali ke kantor Salma. "Loh, Ardan ya?" seseorang tiba-tiba menginterupsi langkah Salma dan Ardan, membuat mereka refleks berhenti. "Loh Ghani, apa kabar?" Salma melihat interaksi antara Ardan dan Ghani dalam diam. Sepertinya hubungan mereka cukup akrab, dilihat dari cara bicara dan interaksi yang terjadi di antara mereka. "Wah, ini siapa nih?" Ghani menoleh ke arah Salma yang dibalas dengan anggukan sopan oleh perempuan itu. "Oh iya kenalin, ini Salma. Sal, ini Ghani, temen SMA aku." "Salma." "Ghani." Setelah saling memperkenalkan diri Ardan izin pamit pada Ghani untuk kembali ke kantor. "Hati-hati ya, Bro. Salam buat keluarga lo di rumah." "Yoi, lo juga ya. Kabar-kabar aja kalo butuh gue." "Oke." Terakhir, Salma mendengar bisikan Ghani pada Ardan yang diucapkan dengan pelan di dekat telinga pria itu. Bahkan Salma nyaris tak mendengar apa yang mereka bicarakan kalau tidak memperhatikan dengan baik. "Gue turut seneng kalau lo seneng Dan. Good job, gue harap lo bisa ngejalanin hubungan ini dengan baik dan ngelupain dia." Dia? Siapa yang dimaksud? Pertanyaan itu terus berputar-putar di kepala Salma, tetapi tak bisa Salma sampaikan ke Ardan sampai pria itu berpamitan kembali ke kantornya. ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN