"Baru balik, Mas?"
Ardan menoleh ke sumber suara. Dia mendapati ibunya sedang berdiri di pintu penghubung ruang tamu dan ruang tengah, tersenyum menyambut dirinya pulang.
Ardan bergerak menyalami tangan wanita tua itu, mencium dan menghirup aromanya tangan orang yang sudah membesarkannya.
"Iya Bu. Habis nganter teman dulu tadi."
"Duduk dulu Mas. Sudah lama kita ngga ngobrol." Ibunya menggiring Ardan menuju sofa di ruang tamu. Duduk bersebelahan bersama putranya. Momen-momen seperti ini memang jarang dilakukan oleh mereka berdua karena Ardan yang tidak tinggal serumah dengan kedua orangtuanya dan memilih tinggal di apartemen yang dekat dengan kantornya. Namun, terlepas dari itu, Ardan selalu menyempatkan diri berkunjung ke rumah orang tuanya setiap seminggu sekali.
"Gimana kerjaan kamu?"
"Alhamdulillah lancar, Bu."
"Perusahaan aman kan?"
Ardan mengangguk. "Alhamdulillah semua aman. Ardan lagi berusaha mengembangkan bisnis Ardan supaya lebih besar lagi."
"Syukurlah kalau begitu."
"Ibu sudah makan?"
Ibunya mengangguk sebagai jawaban. Kemudian mengalihkan topik ke arah pembicaraan yang lebih serius. Sebenernya ini adalah inti pembahasan mereka, yang tadi itu hanya basa-basi.
"Kamu boleh kerja keras tiap hari buat ngembangin usaha bisnis kamu, tapi jangan lupa juga buat cari pendamping, Mas. Kamu itu sudah berumur loh, mau nunggu apalagi memangnya. Sudah saatnya kamu berhenti bersantai-santai begitu, mulai pikirkan masa depanmu, Mas. Setidaknya cari dulu calon pendampingnya. Urusan menikah dan sebagainya bisa menyusul kalau memang sudah ada pendampingnya. Sekarang Ibu sama Bapakmu desak kamu supaya cepet nikah ya percuma kalau kamu aja ngga punya calonnya."
Kalau biasanya Ardan hanya menghela napas atau mengalihkan pandangan untuk menghindari topik pembicaraan itu, kini pria itu tersenyum hangat menatap ibunya. Seakan ada sesuatu besar telah terjadi. Kabar menggembirakan.
Ardan menggenggam tangan ibunya, kemudian menatap bola mata wanita itu dengan perasaan tulus. "Ibu tenang aja, Ardan sedang mengusahakan. Ibu hanya perlu mendoakan Ardan supaya berhasil."
Ibunya tentu kaget mendengar kata-kata penuh makna tersirat yang diucapkan oleh putranya. Apa itu artinya anaknya sudah memiliki calon seperti yang disebutkan tadi?
"Kamu udah punya pacar Mas?"
"Kalau sekarang belum Bu, insyaallah segera. Ardan butuh waktu buat dapetin hati perempuan ini, jadi kasih Ardan waktu buat wujudin apa yang Ibu mau."
"Alhamdulillah, denger kamu deket sama perempuan saja sudah membuat Ibu bersyukur sekali, Mas. Pasti bakal Ibu doakan yang terbaik buat kamu, Mas. Siapa pun dan apapun pilihan kamu, Ibu percaya dan akan selalu dukung kamu."
"Makasih, Bu."
"Kapan-kapan ajak dia ke sini. Ibu juga mau lihat."
"Ibu sudah tau orangnya kok."
Ibunya mengerutkan dahi bingung. "Maksudnya Ibu kenal dengan perempuan itu? Siapa Mas?"
"Orang yang coba Ibu jodohin sama Ardan."
"Maksud kamu Salma? Anak temennya Ibu?"
Ardan mengangguk.
"Tapi kamu bilang sudah ngga ada harapan lagi sama dia. Katanya pertemuan kalian ngga berhasil." Ardan memang menceritakan kepada Ibunya pasca pertemuannya dengan Salma yang tak membuahkan hasil apa-apa. Bahkan setelah hari itu, Salma seperti enggan berhubungan lagi dengannya. Perempuan itu tak pernah membalas pesan yang dikirimkan Ardan sampai pertemuan-pertemuan lain di antara mereka merubah segalanya.
"Iya Bu awalnya memang seperti itu, tapi diam-diam semesta merencanakan hal lain untuk Ardan dan Salma. Setelah hari itu kami beberapa kali bertemu dalam kondisi yang tidak terduga, kebetulan yang membuat Ardan makin penasaran dengan Salma dan memutuskan untuk mendekati perempuan itu."
"Respon nak Salma ke kamu gimana?"
"Syukurlah Salma ngga banyak menghindar dari Ardan. Dia merespon Ardan dengan baik. Semoga dia juga bisa merespon perasaan Ardan sebaik itu juga."
"Kamu harus gercep, Mas. Jangan sampai keduluan sama yang lain. Ingat loh, Salma itu cantik, pasti banyak cowok yang suka sama dia. Kalau kamu lengah sedikit aja, mungkin Salma sudah ditikung sama cowok lain."
Ardan tertawa mendengar nasihat ibunya. Memang benar kenyataan seperti itu. Salma cantik, sudah tidak diragukan lagi. Bahkan Ardan sadar banyak pria di luar sana yang mengincar Salma, apalagi dengan kepribadian perempuan itu yang cenderung friendly dan welcome pada semua pria. Namun, Ardan juga yakin Salma tidak akan bermain di belakang ketika dia memiliki sebuah ikatan. Riwayat mantan perempuan itu memang banyak, tapi bukan berarti Salma kehilangan moral dengan merusak nama kesetiaan.
"Iya Bu, Ardan tau kok. Makanya Ardan bakal berusaha semaksimal mungkin kali ini."
"Bismillah, Mas. Kalau jodoh pasti ngga bakal kemana."
"Iya, Bu."
***
Ardan merebahkan diri di atas kasur kamar masa kecilnya dulu. Dia memutuskan untuk menginap di rumah orang tuanya hari ini. Selain karena permintaan ibunya, Ardan juga sudah lama tidak menginap di rumah. Biasanya dia hanya singgah sebentar setelah itu kembali lagi ke apartemen.
Ardan memandang langit-langit kamarnya. Pikirannya menerawang jauh, memikirkan sesuatu yang tiba-tiba muncul dalam otaknya.
Perasaan itu tiba-tiba menggerogoti relung hatinya, kembali menghadirkan rasa sakit yang tak ingin Ardan ingat lagi rasanya.
Bayangan soal masa lalunya yang begitu kelam. Yang membuat dirinya terpuruk bertahun-tahun, bahkan hampir membuat dirinya gila dan memutuskan untuk menutup diri dari dunia luar kembali masuk menyeruak di sela-sela ingatan Ardan.
Dia menggeleng, mencoba menepis ingatan itu, juga menahan agar rasa sakit dalam hatinya tak terlanjur besar, membuatnya kembali terlempar ke masa-masa kelam itu.
Ardan memutuskan untuk mengambil ponselnya di atas nakas, mengetikkan sesuatu di room chat seseorang, mencoba mengalihkan perhatian.
Ting!
Bunyi notifikasi dari ponselnya entah kenapa seperti menjadi sumber kebahagiaan dalam hidupnya. Secepat kilat tangannya mengambil ponsel itu, membaca isi chat dalam ruang obrolannya dengan seseorang. Setelah itu jarinya lincah mengetikkan sesuatu di sana.
Me: Udah tidur?
Salma Pangesti: Belum, kenapa?
Me: Ngga papa. Kenapa belum tidur? Ada yang kamu pikirin?
Salma Pangesti: Gaada sih, emang belum ngantuk aja. Oh iya btw makasih ya, bunganya. Btw gue lebih suka dianterin martabak or makanan lainnya apa gitu, daripada bunga.
Me: Bunga? Dari siapa? Aku ngga ada ngirim apa-apa ke kamu.
Salma Pangesti: Loh bukan lo yang ngirim bunganya? Kirain dari lo.
Entah kenapa Ardan tidak suka membayangkan bahwa ada pria lain yang sedang mencoba mendekati Salma dengan mengirim bunga pada perempuan itu. Mendadak sisi posesif dalam dirinya muncul, padahal status Salma bukan siapa-siapanya.
Salma Pangesti: Ya udah deh, gue mau tidur dulu. Bye.
Me: Nggak kamu pastiin itu bunga dari siapa?
Salma Pangesti: Nggak perlu, ngga penting juga. Besok gue juga bakal tau siapa yang ngirim.
Me: Oke deh. Sleep well, Sal.
Setelah itu tak ada balasan lagi dari Salma, membuat Ardan memutuskan menyusul perempuan itu ke alam mimpi.
***