KAKI LANGIT
Bila kita tak segan mendaki
Lebih jauh lagi
Kita akan segera rasakan
Betapa bersahabatnya alam (Senandung Pucuk-pucuk Pinus, Ebiet G. Ade)
Udara dingin bercampur kabut mengisi hidungku. Rasanya segar, namun membuat hidung ikutan dingin. Saat menghembuskan nafas, kami terlihat seperti naga. Kaki kami terus melangkah menuju Puncak II Gunung Rigol[1]. Deru nafas beradu dengan gelisik lengan yang bertemu pucuk dedaunan. Lumpur setebal ibu jari telah melapisi alas kaki. Tantangan berat bagi tubuh dan jiwa yang tertantang meraih salah satu puncak dunia di musim penghujan. Sepasukan kabut masih membatasi pandangan untuk hanya bisa melihat hingga tiga teman di depan.
Gunung Rigol konon merupakan gunung raksasa yang demikian perkasanya hingga memiliki tiga puncak utama. Pemberian nama berurutan dari arah utara, dimana jika berhasil mencapai puncak I kita bisa melihat pemandangan kota dengan latar belakang bukit Tampora nun jauh di sana. Selain itu, Puncak I juga merupakan lokasi kawah. Sudah pasti ada hal istimewa di sana.
Puncak II hanya berjarak sekitar satu kilometer dari puncak I. Keduanya dipisahkan oleh tebing terjal sedalam 500 meter. Dasar jurang itu merupakan sungai berbatu. Para pendaki harus memilih mendaki puncak I atau puncak II saja, sebab tidak ada penghubung diantara keduanya. Konon, dari jaman ke jaman orang berusaha membuat jembatan penghubung. Sayangnya, keinginan ini selalu kandas di tengah jalan dengan berbagai sebab yang tidak bisa dijelaskan.
Situasi yang sangat berbeda ada di Puncak III. Titik ini bisa dicapai sekaligus dari puncak II. Jarak mereka sekitar dua kilometer dengan jalur khas hutan hujan tropis. Sesekali ada jalur berbatu dan menanjak, namun tidak separah jalur menuju puncak I. Keistimewaan lain, dari puncak III para pendaki dapat melihat Laut Selatan dan horizon. Jika beruntung, terkadang ada kawanan lumba-lumba atau hiu lewat sambil melompat-lompat dari permukaan air. Di pagi hari, matahari terbit bisa dilihat di sebelah kiri. Kalau sore matahari terbenam bisa dilihat di sebelah kanan. Sangat menyenangkan. Tidak heran tempat ini menjadi lokasi muncak favorit.
Puncak III juga memiliki permukaan yang cukup luas dengan sebuah sumber air. Pendaki umumnya berangkat di siang hari agar udara tidak terlalu dingin. Setiba di puncak III, mereka menunggu sunset. Setelah itu menginap dan berkegiatan malam, sambil menunggu matahari terbit di hari berikutnya. Itu sangat menyenangkan.
Jalur yang tengah kami lewati ini adalah jalur pendakian yang paling umum. Jalur ini bisa membawa kami ke Puncak II dengan lebih mudah. Kami memutuskan mengambilnya mengingat yang berangkat bersama kami adalah adik-adik yang baru tiga bulan bergabung di PA. Setengah dari mereka sudah akrab dengan pendakian sejak SMP, bahkan ada dua anak yang sebelumnya sudah pernah mendaki Puncak I. Sisanya baru sekali ini melakukan pendakian. Kami tidak berekspektasi terlalu tinggi karena sebagai senior, kami membimbing mereka. Ini kelompok Ekstrakurikuler Pecinta Alam, bukan segolongan siswa nekad.
“Masih kuat, Sita?” tanyaku pada satu-satunya siswi anggota baru. Dari belakang, langkahnya terlihat terseok. Bisa jadi ia membawa beban berlebih. Bisa pula karena tubuhnya terkejut dipaksa berjalan dengan tantangan lebih. Aku lihat wajahnya memerah, nafasnya berat, tetapi matanya menyiratkan semangat bahwa ia akan mampu bertahan hingga mencapai puncak. Kuberi ia senyum. Kutepuk pundaknya seraya berpindah agak mundur. Dia akan bertahan. Kekuatan semangat dari dalam diri itu patut diperhitungkan sebagai salah satu sumber tenaga tidak terbatas.
“Aish, sialan!” umpat salah satu teman junior di depan yang tidak sengaja terperosok di sisi kiri jalan. Tidak dalam, tetapi cukup membuat boot dan celananya kotor hingga hampir lutut.
“Jaga mulutmu!” tegas Andre, pimpinan kami yang berjalan jauh di depan. Aku segera menyalip beberapa anak di depanku untuk membantu dia yang terperosok.
“Aargh!” keluhnya ketika berhasil menarik kaki dari tanah gembur di pinggir jalan setapak.
Kubantu ia memposisikan diri duduk.
“Ada luka?” tanyaku.
Ia menggeleng.
Untuk memastikan, kutekan pelan beberapa bagian kakinya. Ia tidak bereaksi, jadi sepertinya ia memang baik-baik saja.
“Sini, minum dulu. Tenangkan dirimu,” kataku seraya mengambil botol minum dari saku samping carrier-nya. Kubuka tutup botol dan kuserahkan padanya.
Ia menerima botol dan minum beberapa teguk. Matanya sempat kosong. Segera kutinju lengannya agar ia mengendalikan diri. Ia tersenyum dan mengangguk. Kami sama-sama tahu tidak boleh membiarkan pikiran dalam keadaan kosong di tempat seperti ini.
“Masih kuat jalan?” tanya Andre yang sudah bergabung bersama kami.
Anggota tim yang lain ikut berhenti, namun tidak berusaha berkerumun untuk kenyamanan bersama. Ada ketersediaan oksigen yang perlu dijaga agar dia yang jatuh tidak kekurangan hanya karena kami merubungnya.
Temanku bangkit lalu menepuk-nepuk lututnya.
“Iya. Aku kuat.”
Andre kembali ke depan. Kami melanjutkan perjalanan. Kabut terus turun perlahan sehingga jarak pandang semakin berkurang. Pohon di kanan dan kiri jalan hanya nampak batang besarnya saja. Itupun nyaris seperti sebentuk warna gelap. Jangankan sinar matahari, sinar senter kami nyaris tidak mampu menembus kabut pekat. Sifat khas lain dari gunung ini adalah cuacanya yang mudah berubah. Munculnya kabut tebal konon adalah aktivitas keseharian gunung. Tidak heran gunung ini dikenal dengan misterinya.
Nafasku kian berat. Beban di pundakku terasa tertarik lebih kuat oleh gravitasi. Aku yakin hanya membawa sekitar 5 kilogram beban, namun entah bagaimana ini seperti menggendong beras satu karung besar. Kakiku sangat sulit digerakkan. Lumpur tebal seakan terbuat dari lem super agar menempelkan aku ke tanah. Jika tidak justru menenggelamkan aku ke dalam sana. Sesuatu seperti menahan kakiku agar tidak meneruskan langkah. Aku tidak pernah seperti ini dalam pengalaman pendakian-pendakianku. Ada apa? Apakah pengalaman mistis para pendaki gunung Rigol juga bakal melandaku? Oh tidak. Aku bukan indigo yang sudah terbiasa melihat apapun makhluk di sekitarku. Aku juga tidak punya keinginan untuk itu. Ada apa denganku?
Beberapa teman menyalibku. Salah satunya Sita yang sepertinya memang sengaja berlari menyalib beberapa anak yang lain. Ia memelankan langkah agar bisa menjejeri langkahku. Nafasnya juga berat, seolah berlomba denganku. Berkali-kali ia memperbaiki letak tali ransel agar beban tersebar lebih merata dan terasa lebih ringan. Langkahnya dipelankan setelah melihatku juga melangkah pelan.
“Mbak, kamu merasakannya?” bisik Sita. Matanya bergerak ke kiri dan ke kanan, seolah tengah diintai oleh sesuatu. Wajahnya berubah khawatir. Perlahan keringat dingin bermunculan di dahi Sita. Dia kenapa?
“Merasakan apa?” tanyaku. Aku berusaha berkonsentrasi dengan perubahan apapun yang dimaksud Sita. Mataku ikut beredar meski yang kutangkap hanya kabut dan sosok gelap batang pohon di sekitarku. Ada goresan karya tangan iseng di sana.
Tidak ada angin, tidak ada hujan. Sita meraih tanganku. Ekspresi wajahnya berubah. Sekarang wajahnya tidak memerah, tetapi pucat. Tangan Sita sungguh dingin terasa. Seharusnya ia memakai sarung tangan sejak tadi.
Aku terdiam dan berusaha berkonsentrasi, namun jelas tidak boleh membiarkan Sita pingsan. Segera kupegang tangannya, bersiap memeluknya bila memang diperlukan.
Aku mulai merasakan getaran pelan di kaki.
[1] Sansekerta: pintu gerbang