ANGIN

1091 Kata
Getaran itu menguat bersama kian eratnya genggaman Sita. Sita mengeluh pelan. “Mbak, aku takut.” “Berdoa, Sita. Berdoalah,” ucapku sambil menepuk pelan bahunya. Aku berusaha tenang, walau dalam hati juga kebat-kebit. Setidaknya, kuharap ketenanganku bisa menular kepada Sita. Tiba-tiba ingatanku terbang pada sebuah reportase beberapa bulan yang lalu …. Pesawat tersebut melakukan kontak terakhir pada pukul 8.32, dua puluh menit setelah lepas landas. Setelah itu pesawat menghilang dari radar. Kemungkinan pesawat menabrak gunung Rigol akibat cuaca buruk dalam penerbangannya. Kami akan terus memberikan informasi terkini dalam laporan-laporan berikutnya. Sehari kemudian …. Tim SAR gabungan sedang berusaha menuju lokasi yang dicurigai menjadi tempat jatuhnya pesawat. Saksi mata menyatakan melihat pesawat dengan asap dari bagian ekor meluncur tepat ke sisi gunung bagian timur. Hari berikutnya …. Hari ini kita semua berduka atas meninggalnya seluruh penumpang dan kru pesawat. Hingga saat ini masih dilakukan evakuasi dan investigasi untuk menemukan penyebab kecelakaan. Aku bergidik mengingatnya. Aku ingat betul cuaca cerah pada hari kejadian. Namun rupanya perkiraan manusia tidak sama dengan takdir. Saat bencana sudah digariskan, manusia tidak punya daya menolak. Sebagian orang cukup beruntung diselamatkan dari kecelakaan, namun yang sudah berada di dalam pesawat tidak bisa menghindari nasib. Mendadak aku kembali ke saat ini karena teman-teman berhenti melangkah. Kami semua waspada. Getaran di kakiku menguat. Saat ini jelas semua anggota tim pendakian sudah merasakannya. Kami semua tahu gunung ini masih aktif. Sebagai warga lokal, kami juga tahu bukan hal aneh terjadi gempa sebagai produk samping aktifnya lahar di bawah sana. Kami mengajukan ijin pendakian sudah sangat lama. Hari ini dipilih karena hasil pemantauan menyebutkan gunung dalam kondisi aman. Saat kami melewati pos penjaga, kami diingatkan kembali untuk tetap berhati-hati meski aman-aman saja. Karena bukan tidak mungkin, sewaktu-waktu bisa terjadi letusan. Kami tahu sekali kalau harus siap dengan kemungkinan apapun. “Lindungi siswa baru! Jangan lepaskan!” teriak Andre. Semua senior segera merapat menuju junior PA masing-masing. Sejak masa persiapan di awal perkenalan ekstrakurikuler, kami memang sudah dipasangkan dengan satu siswa baru yang memilih bergabung sebagai Pecinta Alam. Aku berpasangan dengan Sita. Sudah menjadi tugasku membimbing dan melindunginya. “Mbaakk,” rengek Sita. Aku tidak percaya si Gadis Berangasan ini bisa merengek dengan begitu manja. Kami biasa mengenalnya sebagai rusa yang bisa hinggap sana-sini dengan aktif. Tidak hanya geraknya yang aktif, mulutnya juga tidak mau kalah. Bicaranya sangat cepat. Manja? Itu tidak masuk dalam kamusnya. Mm, mungkin nanti setelah kegiatan ini berlalu. Kini aku paham pepatah bahwa situasi ekstrim bakal memunculkan sifat asli seseorang. Getaran di kaki kami kian kuat. Kupererat genggaman tanganku. Kulengkapi dengan pelukan untuk menjaga ketenangan Sita. Alam itu punya kemampuan hebat untuk menjaga dirinya sendiri. Jadi menurut saya, tidak perlulah itu istilah hutan lindung. Sebenarnya yang perlu dilindungi itu kita, manusia, dari keinginan dan nafsu kita. Kita bisa hidup dengan tempat tinggal berukuran dua kali dua meter. Tetapi karena keinginan kita untuk dilihat hebat oleh orang lain atau kenyamanan hakiki sesuai standar hidup yang tidak ada habisnya itu, kita mulai menebang hutan. Kita pakai kayunya. Kita rebut tanahnya. Kita keruk mineral dan batuan di dalamnya. Air kita hambur-hamburkan. Jangan salahkan hutan yang menilai kita telah berlebihan meminta darinya. Kita sombong dan kita mengutamakan nafsu kita meraih kemudahan hidup. Saya tanyakan sekali lagi, sebenarnya siapa yang perlu dilindungi? Ucapan Pembina Tamu ekskul kami terngiang-ngiang di telingaku. Ia salah satu penganut hidup apa adanya yang pernah kukenal. Ia tinggal di sebuah gubug di tepi hutan. Ia hidup sangat tradisional, tanpa listrik dan tanpa bahan bakar minyak. Ia memasak dengan ranting yang sudah jatuh dari pohon-pohon di hutan. Ia seratus persen vegan. Ia menggunakan solar cell untuk mendapatkan listrik guna menghidupkan alat komunikasi dan komputer. Ia hidup dari alam. Ia bekerja menjadi kontributor berbagai majalah online yang memberinya penghasilan cukup besar untuk memberikan beasiswa bagi puluhan anak di sekitar hutan. Ia berharap, dengan anak-anak itu punya wawasan lebih baik dari orang tuanya, mereka tidak perlu ikut merambah dan merusak hutan saat dewasa nanti. Tentu saja, ia rutin memberikan pembinaan kepada anak-anak itu. Ekstrakurikuler kami beruntung mendapat kesempatan pembinaan sebulan sekali oleh beliau. “Kita tidak pernah mengotori dan merusak hutan ini. Sepanjang tahun kita ikut aktif dalam gerakan penghijauan dan pembersihannya. Aku yakin dia juga akan bersahabat dengan kita. Berdoalah, Sita. Semoga kita selamat,” kataku berusaha mengalahkan suara-suara aneh di sekitarku. Sita mulai menangis. Kupeluk Sita. Kuhapus air mata di pipinya, walau tak urung mataku ikutan basah. Oh tidak. Aku tidak boleh menangis. Saat alam tidak mampu lagi menahan dirinya karena kita sudah keterlaluan, tidak ada yang manusia mampu perbuat untuk menghentikannya. Teknologi anti gempa boleh saja ditemukan, jalur aliran lava bisa saja dibuat. Namun Tuhan telah mengaruniakan kekuatan tersembunyi kepada alam. Kita tidak pernah tahu seberapa besar kekuatan itu, karena ilmu manusia itu sedikit sekali. Jalan terbaik adalah hidup selaras dengan alam. Kita harus mengerti kebutuhan kita dan berusaha memenuhinya tanpa merusak alam. Kita harus pandai memilah antara kebutuhan dengan keinginan. Keinginan manusia itu tidak ada habisnya, sedangkan kebutuhan seringkali hanya sedikit. Jika itu belum memungkinkan, setidaknya mulailah dengan dirimu sendiri untuk tidak merusak alam. Dekatkan dirimu kepada Tuhan, sehingga kamu sadar antara kamu dengan alam itu sama-sama makhluk, sama-sama punya hak dan kewajiban di dunia ini. Getaran itu kian kuat. Kini tidak hanya terasa di kaki. Dahan-dahan di sekitarku juga ikut bergerak. Beberapa pohon terdengar bergemeretak seperti tercerabut ke dua arah berbeda. Ya Tuhan, ada apakah ini? “Rea, awas!” teriak Andre. Terasa ranselku ditarik ke belakang. Aku tidak melepas Sita. Kami roboh ke arah teman yang menarikku. Tubuhku dan Sita berguling di tanah, sementara telinga kami diserang bunyi ‘BUG’ keras tepat di lokasi tadi kami berdiri. Nafasku dan Sita terengah-engah sambil tetap saling berpelukan. Aku menatap ranting besar yang jatuh melintangi jalan. Menyisakan batang yang memiliki goresan itu. Setelah cukup sadar, kualihkan pandangan kepada dua orang di belakang kami. Temanku berusaha menghindarkan kami dari tertimpa benda berat. “Terima kasih,” ucapku. Andre tersenyum sambil mengulurkan tangan sementara juniornya mengulurkan tangan kepada Sita. Kuterima sambil mengucap syukur kami masih selamat. Aku lihat Sita juga berusaha berdiri kembali. Satu tangan Sita masih memegang tanganku. Saat tubuhku belum sempurna berdiri, tiba-tiba aku kehilangan kendali atas tubuhku. Entah kenapa badanku ringan. Aku serasa ditarik angin menuju bagian samping kiri jalan, menembus semak-semak menuju jurang pemisah antara Puncak I dan II. “MBAK REAAAA!!” teriak Sita sambil berusaha menarik tanganku. Andre dan junior asuhannya menahan Sita. Pandangan mereka terlihat putus asa melihat badanku terus tertarik ke arah jurang dengan kecepatan tinggi. Gelisik ranting menggores jaket dan badanku. Suara teman-teman semakin jauh lalu menghilang. Pandanganku gelap.   
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN