Kesadaran adalah matahari, kesabaran adalah bumi, keberanian adalah cakrawala, dan perjuangan adalah pelaksanaan kata-kata.
(Voltaire, Filsuf dan penulis Perancis)
Aku merasakan diriku masih ada, entah bagaimana kondisinya. Udara di sekitarku dingin tanpa angin atau segarnya kabut. Aku sadar aku bisa menggerakkan mata, namun tidak bisa kubuka. Pendengaranku berfungsi, tetapi telingaku hanya mampu menangkap bunyi ‘bip’ samar. Sepertinya sumber bunyi itu sangat jauh di sana. Aku tahu tanganku ada, tetapi aku tidak bisa menggerakkannya sedikitpun.
Aku kembali menghilang. Entah berapa lama.
Saat kesadaranku kembali, kurasakan perih di sekujur kulitku. Aku tetap tidak bisa membuka mata dan menggerakkan tangan. Suara ‘bip’ itu masih samar. Rupanya itu bunyi yang teratur. Aku merasa mengenalnya, namun sama sekali tidak bisa mengingat di mana mengenal bunyi ini. Hal baru lain, aku membaui aroma asing. Aku tidak tahu apa, tetapi hidungku menerima rangsangan sesuatu.
Aku kembali menghilang. Entah berapa lama.
Pecinta alam sejati itu mereka yang telah selesai dengan dirinya, sehingga punya cukup cinta guna diberikan kepada alam. Mereka tidak mementingkan diri sendiri, sehingga mengaku pecinta alam tetapi mendaki gunung semata untuk mendapatkan pose terbaik namun meninggalkan sampah di mana-mana. Bahkan dengan bangga mengukir namanya pada pohon atau bebatuan.
Seorang Pecinta Alam yang telah selesai dengan dirinya mendaki untuk mengetahui bahwa dirinya bukan apa-apa dibanding Dia. Ia mendaki untuk menebarkan cinta. Rasa cinta itu tidak hanya dibawa dalam pendakian, tetapi dalam hidup keseharian.
Saat aku kembali, kurasakan sakit pada bagian lengan, punggung, dan kaki. Bunyi bip masih teratur dan dekat. Mataku tetap tidak bisa kubuka, meski jelas aku bisa menggerakkannya. Tanganku masih mati rasa, juga kaki dan anggota tubuhku yang lain. Aku tahu dan yakin mereka ada. Ada rasa nyeri di lenganku. Ini seperti tertusuk jarum. Ayolah. Siapapun kalian. Lepaskan jarum itu. Kalian membuatku sakit.
Samar ada suara pembicaraan terdengar.
“Hentikan. Cukup. Kamu bisa membunuh dirimu sendiri hanya dengan memberikan darahmu sebanyak itu. Sudah cukup. Kita tambahkan cara lain.”
Suara seorang wanita. Entahlah.
Aku tarik nafas dalam-dalam. Aroma asing. Aroma apa ini? Entahlah. Aku berusaha berhenti memikirkan jenis aroma itu. Aku memilih fokus saja menyadari bahwa masih menikmati udara artinya diri ini masih hidup. Aku hanya sedang dalam situasi yang tidak kuketahui dan tubuhku tidak dalam keadaan baik.
Aku berusaha tetap tenang, karena tahu kepanikan tidak akan membantu. Bagaimanapun kondisiku saat ini, aku harus mengumpulkan tenaga terlebih dahulu. Aku harus menghematnya. Entah kenapa, untuk bernafas saja rasanya menguras begitu banyak tenaga. Belum lama merasakan nyeri, aku menghilang lagi.
Entah berapa lama.
“Mbak Reaaaa!” teriakan seorang gadis menarik kesadaranku kembali.
Rea itu namaku. Gadis yang memanggil itu membutuhkanku.
Aku berusaha mengumpulkan tenaga untuk membuka mata. Ini pun masih sangat berat. Aku hanya bisa mendengar suara bip. Selain itu, udara terasa dingin dan berhembus pelan.
Beberapa bagian kulitku masih terasa perih. Aku berkonsentrasi pada satu demi satu bagian tubuhku. Kaki, badan, tangan, wajah, rasanya tidak ada yang tertusuk apapun. Aku bernafas lega. Tetapi bagaimana dengan gadis itu? Siapa yang akan menolongnya?
Aku tiba-tiba ingat tengah berada di gunung. Udara segar ini seperti udara khas gunung Rigol yang masih sangat kaya oksigen dan bersih. Hanya saja, entah bagaimana yang ini segarnya berbeda.
Aku berusaha tenang dan berkonsentrasi. Kubiarkan pikiranku rileks. Lalu, ingatanku muncul bahwa ini lebih mirip udara dalam ruangan ber-AC. Benar. Ruangan ber-AC rasanya seperti ini. Udaranya dingin dan berangin. Jika lama berada di dalamnya akan membuatku haus. Jika terus-menerus di dalamnya tanpa minum, aku pernah mengalami kondisi tidak nyaman nyaris pingsan.
Kuambil nafas dalam-dalam agar tenagaku cepat terkumpul. Ayo tubuhku, bekerjasamalah denganku. Aku harus segera tahu aku ada di mana. Entah siapa dan bagaimana, aku merasa banyak yang menantikan kesadaranku. Ada yang menungguku.
Aku masih tidak bisa bergerak. Bunyi bip masih terus kudengar. Aku di mana? Aku harus segera mencari tahu. Aku harus segera menyadari di mana aku berada. Ah, iya. Bukankah sebaiknya kita berfokus di satu hal pada satu waktu. Aku sadar jika dalam situasi ini berusaha dengan banyak hal, bisa saja energiku habis. Bisa saja setelahnya aku akan menghilang lagi untuk kemudian tidak pernah kembali.
Menyadari hal itu, aku berusaha agar bisa segera membuka mata saja. Kupikir, dengan membuka mata aku bisa mengetahui tempatku berada. Kutarik nafas dalam-dalam, mengalirkan oksigen ke paru-paruku agar menghasilkan energi. Kufokuskan energi kepada mataku agar mampu kubuka. Di luar dugaanku, yang merespon justru jari yang akhirnya bisa bergerak walau sebatas telunjuk.
“Dia sadar,” ucap seseorang, sepertinya suara pria muda.
Suara keributan samar muncul di sekitarku. Aku tidak mengenal suara itu dan suara-suara lain yang bermunculan kemudian. Apalagi mereka terdengar begitu jauh. Bisa kurasakan ada tangan halus yang memeriksa denyut nadiku. Tidak lama kemudian ada yang melakukan tes refleks tanganku, lalu membuka kelopak mataku. Seberkas cahaya samar menerangi gelap pandanganku disertai dialog-dialog suara asing. Jika begini, aku jadi tahu percuma saja tadi berusaha membuka mata. Bisa saja yang kulihat hanya gelap. Apakah aku buta?
“Rea, kamu bisa mendengar kami?” suara pria muda itu lagi.
Aku tidak mengenal suara mereka. Tetapi aku merasa harus memberikan isyarat agar mereka tahu aku mendengar. Pelan kufokuskan tenaga ke ujung jariku. Kugerakkan.
“Dia merespon. Laporkan.”
Aku tidak bisa melihat mereka karena selepas mereka memeriksa mataku, aku tidak mampu membukanya kembali. Meski demikian, aku merasakan ketergesaan di sekitarku. Tidak lama kemudian, aku kehilangan kesadaran lagi.
Entah berapa lama.
Mama, mengapa pohon ini diberi tanda?
Itu pohon yang sudah siap ditebang, Rea.
Kenapa ditebang? Dia kan sudah besar.
Hutan ini memang dikembangkan untuk menghasilkan kayu. Jadi pohon memang sengaja ditanam untuk ditebang saat sudah cukup besar.
Aku tidak mau dia ditebang. Kasihan, Ma.
Aku bisa mengingat permukaan kasar pohon besar yang kemudian kupeluk erat. Mama berjongkok untuk memelukku.
Jangan sedih. Pohon-pohon kecil penggantinya sudah ditanam beberapa tahun yang lalu. Mereka juga akan tumbuh.
Tetapi Rea sayang dengan pohon ini.
Iya, Sayang. Mama tahu. Rea memang pecinta alam sejati.
Aku tidak ingat kapan persisnya kejadian itu. Aku hanya ingat mama masih kuat menggendongku pulang setelahnya.
Saat kesadaranku kembali, aku menenangkan diri. Kutarik nafas dalam-dalam dan teratur, kemudian kufokuskan agar energi itu mampu membantuku membuka mata. Perlahan, seberkas cahaya redup memasuki pandanganku. Tetapi semua buram.
Ingatanku langsung kembali kepada situasi hutan berkabut tebal. Hanya punggung teman di depan dan sosok gelap batang pohon di kanan kiri jalan yang terlihat. Udara dingin dan segar dan langkah kaki yang berat tersedot lumpur.
Tidak. Aku berada entah di mana saat ini. Aku harus segera tahu situasi di sekitarku. Aku tidak boleh hanyut.
Kufokuskan pandangan. Bentuk bulat cahaya di depanku, mirip bulan purnama yang tertutup mendung atau kabut. Jika saat ini aku berbaring, maka sepertinya bentuk bulat bercahaya itu adalah lampu ruangan. Kugerakkan mata, sehingga bisa melihat ke kiri dan ke kanan. Aku tahu seharusnya aku bisa menggerakkan leher, tetapi mungkin bukan saat ini. Pandangan ke samping menangkap sebuah bentuk kotak di kananku dan bentuk lebar terang di kiriku. Masalah lain yang kusadari kemudian, memandang cahaya membuatku sakit kepala. Kupejamkan mata lagi, sambil mendengarkan suara bip yang mulai terasa akrab dan kian terasa dekat.