BAB 3

1379 Kata
            Alena berhenti di sebuah minimarket dan tanpa banyak membuang waktu, dia langsung mengambil makanan Fle. Dia membeli 2 snack ukuran besar dan 3 makanan kaleng. Setelah membayar di kasir, Alena meletakkan plastik berisi makanan Fle di ranjang sepedanya. Dia berniat mampir ke toko buku dan mencari bahan bacaan untuk menghabiskan waktu. Di samping supermarket berjejer toko pakaian bergaya gothic, lalu kedai penekuk yang cukup sering Alena kunjungi jika dia merasa bosan di rumah. Lalu toko buku berlantai 2 dengan warna cat cerah. Lantai satu berisi berbagai macam tas, mainan dan aksesori. Lantai dua diisi penuh oleh buku dan boneka. Alena tidak membawa sepedanya karena jarak yang cukup dekat. Dia lebih suka berjalan kaki sembari memperhatikan jejeran toko-toko di samping kanan dan kirinya.             Dia tahu keadaan finansialnya tidak baik saat ini, tapi keinginan untuk membeli buku begitu mendesaknya. Sebenarnya Alena masih memiliki perkebunan teh yang dikelola oleh orang kepercayaan ayahnya. Tapi hasil dari perkebunan teh adalah untuk anak-anak panti asuhan. Ayah selalu mengajarinya untuk lebih banyak memberi dan membantu sesama. Itu sebabnya dia sangat menghormati ayahnya. Namun, kematian mengerikan itu membuat dia sadar bahwa ayahnya hanyalah manusia biasa. Ayahnya melakukan kesalahan.             Alena melirik sebuah novel dengan cover warna hitam. Entah kenapa dia selalu tertarik dengan cover berwarna hitam dibandingkan warna lainnya. Dari kecil dirinya memang menyukai warna hitam dibandingkan warna lainnya. Saat anak-anak seusianya menyukai warna-warna cerah, dia memilih hitam.             Dia masih ingat ketika seorang teman sekelasnya mencemooh dirinya karena memilih untuk tetap di dalam kelas saat isirahat tiba dan mengatakan pada anak-anak lain bahwa Alena tidak punya teman. Alena tidak tahu kenapa anak itu begitu membencinya hingga dia sering sekali memfitnah bahwa Alena mencuri waffle miliknya.             “Kau pasti mencurinya, Alena!” dia menunjuk Alena dengan mata berapi-api.             “Aku tidak mencuri apa pun.” Jawab Alena dengan nada dan ekspresi datar. Alena seakan memiliki kemampuan untuk dapat mengontrol emosinya dan nada suaranya. Tapi tidak ada yang tahu bahwa hatinya ribut. Dia ingin sekali menonjok gadis kecil berponi itu.             “Kau pasti mencurinya! Hanya kau yang ada di dalam kelas, Alena!”             “Aku tidak mencuri apa pun.” Ulang Alena dengan nada dan ekspresi yang sama—datar. Alena menyadari tatapan anak-anak yang percaya pada perkataan gadis polos yang berhati busuk itu.             Karena gadis cilik itu mendapat banyak dukungan dari anak anak lain guru menghukum Alena berdiri di luar sampai jam pelajaran selesai. Saat itu matahari sangat cerah dan Alena sangat ingat keringatnya yang jatuh bercucuran membasahi tubuhnya. Dia bisa mengendalikan diri dari emosi dan kemarahan. Dia memliki kemampuan untuk mengunci gudang air matanya sehingga apa pun yang terjadi padanya dia tidak menangis. Alena tidak menangis meskipun dia ingin sekali menangis. Alena selalu iri pada mereka yang bisa mengeluarkan air mata dengan mudahnya. Dan kali pertama Alena menangis adalah saat ayahnya meninggal. Tidak tersedu-sedu tapi cukup untuk membuat napasnya sesak. Lalu gudang air matanya kembali terbuka saat ibunya meninggal. Tidak ada wanita yang bisa seperti Alena. Yang sulit sekali menangis.             Tidak ada yang tahu kadar emosi Alena. Tidak ada yang tahu kedalaman hati Alena. Bahkan Alena pun tak tahu seberapa dalam kedalaman hatinya terhadap emosi. Ibunya bilang bahwa ini adalah bakat alami Alena yang hanya Tuhan berikan pada orang-orang tertentu. Atau mungkin satu-satunya orang di dunia. Alena tak pernah merasa kesepian tak memiliki siapa pun termasuk sahabat. Perry muncul ketika dia memasuki sekolah menengah pertama. Gadis itu muncul dengan tidak terduga saat Alena di kantin sendirian memakan salad buah keju sambil memegang buku tebal A Tale Of Two Cities karya Charles Dickens.             Perry datang  dengan wajah ceria, feminim dan manis. Tangannya membawa bhaki yang berisi burger daging sapi. “Hei, aku Perry.” Dia mengulurkan tangan.             Awalnya Alena hanya menatap tangan itu tanpa berniat menjabatnya. Tidak sopan memang, tapi Alena berusaha untuk menghindar dan tidak ingin mengenal siapa pun. Namun, senyum tulus Perry membuatnya memilih untuk menjabat tangan Perry.             “Alena,” ucapnya.                                                                            “Apa kita teman satu kelas?” tanya Alena.             “Tidak. Tapi aku sering melihatmu sendirian di mana pun. Dan selalu membawa buku bacaan. Kau tahu, itu bacaan terlalu berat untuk seorang remaja.” Perry menunjuk buku yang dipegang Alena.             “Ayahku selalu memberikanku bacaan seperti ini. Dia tidak suka kalau aku membaca cerita romance biasa. Apalagi genre teenlit.”             Alena tak pernah menyangka dia senyaman ini untuk mengobrol dengan orang asing. Perry mudah tertawa dan tawanya mudah tertular pada Alena. Sejak itu mereka sering bertemu bahkan Perry sering main ke rumah Alena. Hanya Perry yang dizinkan untuk main ke rumahnya. Alena pikir Perry tidak punya teman seperti dirinya tapi dia salah. Perry memiliki banyak sekali teman dan bahkan Perry pernah mengenalkan teman-temannya saat ada acara Prome Night di sekolah. Alena tidak berminat hadir di acara Prome Night tapi Perry membujuknya.             Alena sangat ingat saat Perry memberi sentuhan make up yang soft dengan rambut dicepol bak kelopak bunga mawar. Semua mata tertuju padanya termasuk pria-pria populer sekolah. Tentu saja itu membuat Alena tidak nyaman. Dan dia ingat tatapan wanita-wanita populer yang merasa kecantikannya tersaingi.             “Aku bilang apa, kau cantik, Alena. Jangan selalu dingin seperti itu. Berikan senyummu.”             Alena mengerjap mengenyahkan bayangan yang nyaris membuatnya malu karena dirinya bukan seperti dirinya. Alena membawa pulang lima novel genre horor semua kecuali satu dengan genre pure romance. Ayahnya akan marah kalau Alena membeli novel dengan genre pure romance.             Sesampainya di rumah, pupil Alena melebar melihat seorang pria asing duduk di sofa abu-abu. Pria yang dilihatnya di kebun anggur. Pria dengan bola mata cokelat cerah, hidung mancung dan bibir tipis menawan.             Alena menatap pria itu lama hingga Ranne berdiri dan memulai pembicaraan. “Hei, aku Ranne. Pemilik kebun anggur di samping rumahmu. Ma’af, aku tidak sopan karena masuk ke rumahmu tanpa—“             “Di mana Perry?” potong Alena.             “Ada di kamar mandi.”             Fle muncul dan mengendus-endus kaki Alena.             “Alena,” Perry muncul dengan ceria. “Kenalkan ini, Ranne—“ Perry sebenarnya tahu kalau Alena akan bersikap dingin, tapi dia ingin mencoba membuat Alena berubah. Sedikit berubah.             Ranne mendekat pada Alena seraya mengulurkan tangan. “Ranne,” ucapnya. Namun yang ditatap hanya menatap wajah dan tangannya secara bergantian. Lalu dia pergi ke dapur untuk menyiapkan makanan Fle.             Fle mengeong marah pada Ranne. Dia tahu pemiliknya tak menyukai orang asing.             “Alena memang seperti itu.” Kata Perry dengan wajah menyesal.             Entah kenapa sikap Alena malah membuat Ranne makin penasaran dengan wanita yang baru ditemuinya hari ini. Wanita dengan segala sikap dingin dan misteriusnya.             Alena. ***             Esoknya pagi-pagi Mandy datang ke rumah Alena, dia mengintip dari jendela yang masih tertutup gorden. Matanya menyipit agar dapat melihat suasana rumah itu dengan jelas. Mandy termasuk orang yang percaya kalau Alena adalah penyihir. Dia selalu ngeri melihat Alena melewati rumahnya dan untungnya itu jarang sekali terjadi. Mandy terkejut dan berteriak histeris ketika gorden terbuka. Muncul seorang wanita dengan baju hitam dan celana hitam dengan rambut lurus tergerai berwarna hitam. Dia terlonjak dan terjatuh di lantai. Alena sama terkejutnya melihat Mandy yang mengintip rumahnya mencurigakan. Namun, seperti biasa Alena bisa mengendalikan keterkejutannya.             “Mandy?” seru Alena saat keluar dari dalam rumah dan melihat Mandy mengerang kesakitan.             “Alena,” Mandy berusaha bangkit. “Aku tadi hanya ingin main.” Katanya ragu. Dia berbohong. Jelas berbohong. Mandy adalah anak kecil pembenci dirinya. Dan yang paling Alena ingat soal Mandy adalah dia telah membuat semua anak di kelas membenci Alena bahkan guru pun ikut membenci Alena sehingga setiap alasan Alena untuk membela diri tak pernah dihiraukan guru.             “Tapi sepertinya terlalu pagi. Aku pergi dulu ya—aku mau ketemu Kris. Dah!”             Alena menatap heran Mandy yang pergi menjauh. Ada sesuatu yang janggal.             Alena tidak menutup mata kalau nyaris semua warga yang tinggal di pemukiman membencinya dan menganggap dirinya sebagai penyihir. Alena pernah melewati pemukiman itu dan mata para penduduk menatapnya dengan tatapan yang menyakitkan. Mereka berbisik-bisik ngeri seakan Alena adalah wabah yang membawa petaka.             Ibu selalu bilang bahwa kelak akan ada banyak orang yang membenci Alena dan berasumsi yang mengada-ngada tentang putri kecilnya. Karena, ya, Alena diciptakan berbeda dari kebanyakan anak kecil. Itu bukan keburukan melainkan sesuatu yang indah. Dunia perlu dihiasi orang-orang seperti Alena. Orang-orang yang tidak suka ikut campur urusan orang lain.             Alena masuk ke rumahnya dan membuka semua gorden jendela. Setiap pagi yang harus dipikirkannya adalah Fle. Kucing itu selalu kelaparan dan perutnya harus segera diisi makanan kalau tidak dia akan mengeong setiap detik.             Fle begitu lahap memakan makanan kaleng yang dituangkan Alena di mangkuk. Dia masih memikirkan soal Mandy. Mengingat Mandy tidak akan pernah mau menginjakkan kakinya di rumahnya. Ada apa sebenarnya? ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN