BAB 4

1192 Kata
        Ranne memegang gelas berisi wine. Dia tidak meminum wine itu, tapi hanya memutar-mutar gelasnya seraya menatap kosong wine berwarna merah itu. Rumah yang berada di distrik selatan di mana tempat ini menjadi pusat perkantoran adalah rumah megah yang didominasi ornamen warna krem yang soft. Ayah Ranne adalah kolektor benda-benda antik yang harganya cukup untuk satu desa hidup makmur selama setahun. Ibu Ranne hanyalah ibu rumah tangga biasa yang mengabdikan diri pada keluarga. Dia tidak seperti ibu-ibu pengusaha lainnya yang relah menghabiskan uang dan waktunya untuk belanja. Dia tipikal orang yang sederhana.             “Carmel kembali membuat ulah,” ibu Ranne berjalan mendekati putranya. Ranne meneleh sejenak kemudian dia memilih menyesap wine.             “Jangan pedulikan wanita itu, Mah.”             Mamah Ranne memutar bola mata cokelat dengan jengkel. Bola mata yang diturunkannya pada Ranne. “Dia mendatangi rumah kita hampir setiap hari. Dia bilang kau mengabaikannya. Masalahnya, Carmel akan melakukan pemerasan terhadap ayahmu. Kau tahu ayahmu selalu percaya ucapan Carmel ketika Carmel mengatakan bahwa dia mengandung anakmu—ayahmu langsung merasa sesak napas.”             “Wanita jalang itu tidak layak bersanding denganmu, Ranne. Aku tidak mau punya cucu dari wanita macam itu.”             Ranne tahu mamahnya mematok standar yang tidak terlalu tinggi untuk seorang menantu. Dia hanya ingin wanita yang kelak menjadi ibu dari anak-anak Ranne adalah wanita bermoral dengan attitude yang baik. Tak peduli bagaimana paras wanita itu. Karena yang terpenting adalah apa yang ada di dalam hatinya bukan apa yang ada di wajah dan tubuhnya. Ranne bersyukur mamahnya termasuk orang yang pemilih dalam urusan apa pun. Dia tahu ibunya hanya ingin Ranne mendapatkan wanita terbaik yang tidak hanya karena harta keluarganya tapi juga karena ketulusan untuk mendampingi Ranne di saat suka maupun duka.             “Aku tidak melarangmu mengencani wanita manapun tapi aku melarangmu menikahi wanita sembarangan yang bisa kau temui di klub malam atau ditempat-tempat pelacuran terselubung lainnya.” Wanita paruh baya yang masih terlihat cantik ini tampak benar-benar jengkel dengan calon tunangan Ranne—Carmel.             “Aku tidak ingin kau menikahi Carmel. Batalkan pertunanganmu.” Untuk kesekian kalinya mamah Ranne meminta anaknya membatalkan pertunangannya.             “Mah, yang meminta pertunangan itu bukan aku. Tapi Carmel, aku sudah memintanya untuk tidak menghubungiku lagi. Aku sudah memintanya untuk mengakhiri hubunganku dengannya.”             “Aku akan menemuinya secara personal.”             “Tidak usah, Mah.”             Tanpa mempedulikan larangan Ranne, mamah Ranne melesat pergi. Dia tidak tahan dengan wanita jalang yang selalu saja membuat ulah. Setahun lalu untuk pertama kalinya Ranne mengenalkan sosok wanita dengan rambut sebahu. Awalnya mamah Ranne menyukai Carmel yang punya ketertarikan pada dunia literasi klasik. Namun, setelah dua tahun berjalan, mamah Ranne  merasa ada yang tidak beres dengan Carmel. Wanita itu mulai meminta banyak hal pada Ranne termasuk sebuah rumah di kawasan elit. Setelah diselidiki, Carmel termasuk wanita yang suka ke klub malam dan ketertarikannya pada literasi klasik adalah omong kosong belaka. Dia berbohong demi menarik perhatian Ranne. Dia bahkan seorang pengangguran yang tidak memiliki pekerjaan apa pun.             Setelah itu, mamah Ranne menganggap bahwa Carmel adalah wanita pembohong. Dan kebohongan yang sekarang dibuatnya adalah soal kehamilan yang entah benar atau tidak. Tapi dia berharap kalaupun Carmel hamil—dia berharap itu bukan anak Ranne.             Ranne sudah lama meminta Carmel tidak menghubunginya lagi. Ketertarikannya pada wanita itu lenyap saat dia tahu kalau Carmel berbohong soal dirinya. Carmel mengatakan bahwa dia tidak suka ke klub, dia suka di rumah dan menghabiskan waktu dengan membaca buku, dia juga berkata bahwa dia bekerja di sebuah perusahaan penerbitan. Dan kebohongan-kebohongan lainnya yang membuat Ranne kecewa. Perasaan cintanya pada Carmel sudah lenyap. Dia ingin agar wanita itu pergi darinya. Dia tidak menginginkan pembohong ada di kehidupannya. ***             Tom meminta Alena mendatangi kantornya yang berada di distrik selatan pada pukul 10 pagi. Sebelum pergi ke distrik selatan, Alena membaca buku klasik anak-anak berjudul Peterpan karena jarum jam masih menunjukkan pukul 9 pagi. Buku karangan J. M. Barry. Saat masih kecil dulu, Alena sering sekali membuka jendela agar Peterpan dapat masuk dan membawanya ke Neverland. Dia ingin tetap jadi anak-anak meskipun dia tak punya teman. Dia tahu dia berbeda dari anak-anak lainnya. Dia meyakini bahwa mungkin dia lahir bukan dari dunia manusia normal. Tersebab banyak orang yang tidak menyukainya. Mungkin Peterpan akan membawanya pada petualangan yang indah, seru dan menakjubkan dimana dia tak perlu khawatir tentang Mandy dan anak kelas yang membencinya.             Setiap malam setiap kali Alena tertidur, Ibu masuk dan menutup jendela. Alena tahu itu karena dia hanya berpura-pura tidur. Lalu sebuah kecupan hangat dan lembut meluncur di dahinya.             “Fle, aku akan pergi ke kantor Tom. Kau mau ikut?” Alena membelai lembut kucing hitam di sampingnya itu. Fle hanya mengeong dan mendekatkan tubuhnya pada Alena.             “Aku tidak menyukaimu, Fle. Kau terlalu manja. Kalau aku tidak ada di dunia ini kau mau manja pada siapa?”             Fle protes dengan mengeong. Seakan berkata bahwa Alena tidak boleh mengatakan perpisahan.             “Kau mau tinggal dengan Tom atau Perry?” tanya Alena menatap Fle yang mendongak menatapnya balik.             “Aku ingin kau tinggal dengan Perry suatu saat nanti.”             Fle kembali mengeong. Wajah kucing itu berubah kesal. Kucing itu seakan mengerti tentang apa yang dikatakan Alena.             “Jangan menatapku seperti itu, Fle.” Alena kembali mengelus kepala Fle.             “Aku tahu kau lebih tahu banyak hal tentang diriku dibandingkan Perry. Karena kau tidak bisa mengatakan apa pun, aku yakin kau akan menjaga rahasiaku. Tuhan sangat baik padaku. Pada kita semua, aku ingin menjadi sesuatu yang berarti sebelum semuanya...” Alena menoleh pada Fle yang kembali mengeong lebih keras.             Dia tidak tahan untuk tidak menggendong Fle dalam pelukannya. Fle kembali mengeong. Atmosfer pagi ini terasa melankolik. Sangat melankolik hingga matahari meredup ditutup awan.             Fle sudah tinggal bersama Alena lebih dari lima tahun. Tapi Fle seakan mengenal Alena lebih dari belasan tahun. Fle sama seperti Alena yang lebih suka berdiam diri di dalam rumah dibandingkan keluar rumah. Dia suka menemani Alena yang menonton film horor di tengah malam. Atau menemani Alena membaca buku sambil menyesap kopi. Bagi Alena, Fle lebih dari hanya sekadar kucing.             Dan kali ini Fle merasakan bahwa Alena benar-benar menunjukkan bahwa dirinya sangat menyayangi Fle. Fle merasakan air mata yang mulai berjatuhan di punggungnya. Alena menangis. Untuk pertama kalinya Fle melihat Alena menangis. Menangisi seekor kucing yang tidak ingin ditinggalkan.             “Aku sudah bisa membuka pintu gudang air mata, Fle.” Alena menyapu air matanya dengan punggung tangan.             “Sejak ayah meninggal. Aku bisa menangis. Lalu ibu meninggal dan aku menangis. Dan ini ketiga kalinya aku menangis. Aku sayang padamu, Fle. Jangan pergi. Sebelum semua terjadi aku ingin mengajakmu berlibur. Tapi bukan tempat publik. Tempat yang damai di mana kita bisa mneghabiskan waktu bersama dan aku akan ajak Perry. Kau setuju?”             Fle kembali mengeong.                                     Dia menempelkan kepalanya di d**a Alena.             Alena membelai lembut kepala Fle.                                            “Aku tahu Tom akan membicarakan soal lahan di pemukiman. Aku tidak tega menjual lahan di pemukiman. Banyak orang yang tidak punya banyak uang, Fle. Mereka akan tinggal dimana kalau aku menjualnya ke orang lain. Bahkan mereka tidak tahu siapa pemilik lahan yang sudah ditempati puluhan tahun itu. Mereka mungkin berpikir itu milik pemerintah karena jika swasta yang memilikinya, mereka pasti diusir. Kakekku orang baik, ayahku juga orang baik. Mungkin ayah hanya—“ terbayang di pelupuk matanya tentang ayah yang meninggal bersama selingkuhannya.             Fle kembali mengeong seakan meminta agar Alena tidak meneruskan kalimatnya. Karena itu hanya akan membuka kenangan buruk yang menyakiti hatinya. ***  
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN