BAB 5

1297 Kata
            Aphrodite adalah dewi yang sangat cantik, sangat menarik dan menggoda. Paris—pria paling tampan memilih Aphrodite sebagai dewi paling cantik di antara Dewi Athena dan Dewi Hera. Tawaran Aphrodite yang menarik membuat Paris memilihnya sebagai dewi paling cantik karena Aphrodite menawarkan wanita paling cantik di bumi yaitu Helen yang sudah menikah dengan Raja Sparta dan memicu perang troya.             Alena selalu suka memandangi lukisan Dewi Aphrodite yang diletakkan di belakang meja kerja Tom. Lukisan telanjang yang tentu—menarik perhatian setiap klien yang datang ke ruang kerjanya. Tom sangat menyukai mitologi Yunani. Dan dia sangat tergila-gila pada Aphrodite yang tidak pernah dilihatnya. Dia meyakini bahwa Aphrodite sangat cantik. Alena hanya mendengarkan tanpa berkomentar apa pun setiap kali Tom membicarakan soal mitologi Yunani.          Tom sebaya dengan Belinda—ibu Alena. Dia memiliki karakter seperti perpaduan Albus Dumbledore dan Profesor Snape di film Harry Potter. Terkadang pelindung dan terkadang sesinis dan semenyebalkan profesor Snape. Banyak orang yang menyukainya karena keloyalitasannya pada klien. Termasuk pada Alena. Sejak ayah Alena meninggal Tom berperan banyak pada keluarganya. Tom juga sering main ke rumahnya. Dia bilang ayah Alena menitipkan Alena dan istrinya pada Tom sehingga Tom begitu menyayangi Alena.         Bagi Alena, Tom bukan hanya sebagai pengacara tapi juga seperti keluarganya sendiri. Tom adalah salah satu manusia yang tidak membencinya. Bahkan Tom tidak pernah mempermasalahkan keanehan Alena. Alena menerka bahwa ayahnya sudah bercerita banyak soal dirinya, sebab itulah Tom tidak membencinya dan lebih sering memaklumi Alena. Satu hal yang selalu menjadi tanda tanya Alena, Tom belum pernah menikah. Dia lajang diusia yang tidak lagi muda. Apakah dia begitu terobsesi pada Dewi Aphrodite?         Fle duduk di sofa sambil menjilati kaki-kaki mungilnya. Alena merapikan blazzer hitam yang kusut. Mengencangkan cepolan rambutnya yang asal-asalan. Dan sesekali menatap Tom yang sedang mengolesi rambutnya dengan pomade di kaca berukuran 30x42 cm yang menempel di dinding dekat jendela.         Tom duduk di hadapan Alena. Memandangi wanita yang—di mata Tom menjadi lebih kurus. Jambangnya yang mulai memutih menarik perhatian Alena, tidak ada wanita manapun yang bisa menolak kharisma Tom. Alena menganggap Tom yang terobsesi dengan Dewi Aphrodite adalah suatu kelainan.         Tom menatap lengan Alena yang berada di atas meja kerjanya. Dia melihat jam tangan kayu berwarna hitam di pergelangan tangan kanan Alena. “Kenapa kau tidak mengenakan jam tangan pemberianku?”         Alena menatap lengannya. “Itu jam tangan mahal aku tidak mau sering memakainya.” “Kau tidak memakainya karena tidak berwarna hitam.” Suatu pernyataan yang meluncur dari bibir tebal yang membentuk kurva.         Alena menggeleng sebagai respon dari pernyataan Tom. Sebelah alis tebal Tom melengkung ke atas. “Kau sudah mengambil keputusan mengenai lahan di pemukiman?” kali ini pertanyaan. Tom bersandar pada kursi kerjanya. Menatap Alena penuh. Alena akui Tom memang pria tampan bahkan di usianya yang tak lagi muda dia masih begitu tampan.         “Aku tidak akan menjual apa pun.” Alena berkata dengan nada khasnya yang dingin, teratur dan rendah. Tom bahkan mengira kalau Alena melakukan pelatihan untuk berkata dengan nada semacam itu.         “Alena, kau butuh uang bukan hanya untuk memenuhi biaya kehidupan sehari-hari. Tapi—“         “Tidak. Uangku masih cukup.”         Tom menghela napas. Memajukan kursinya. Meletakkan tangannya di atas meja. Dari kecil Tom tahu kalau Alena memang keras kepala. Dia paham karakter wanita berbibir busur cupid itu. Tapi, lama kelamaan dia juga jengkel. Meski jengkel tapi rasa sayangnya terhadap Alena lebih besar dari kejengkelannya.         “Kalau ayahku masih hidup, dia tidak akan setuju untuk menjual lahan di pemukiman.”         “Alena, kau tahu betapa sayangnya orang tuamu padamu. Mereka pasti setuju kalau kau menjual lahan di pemukiman karena itu milikmu dan kau butuh uang banyak.”         Alena merespon perkataan Tom hanya dengan menatapnya. Tanpa berkomentar.         “Oh ya,” kedua mata Tom berkilat cemerlang seakan menemukan sesuatu yang menjadi rahasia pada Alena. “Kau ingat dengan wajah selingkuhan ayahmu?”         Dahi Alena berkerut membentuk huruf ‘V’ dan dia menatap tajam Tom. Dia tidak suka ketika siapa pun itu membahas soal perselingkuhan ayahnya. Itu aib yang harus di kubur dalam.         “Ibumu memintaku untuk mengurus kematian selingkuhan ayahmu. Tidak ada yang tahu siapa wanita itu dan aku telah menyelidikinya selama beberapa—“         “Cukup!” potong Alena tajam. “Aku tidak ingin mendengar apa pun soal itu.” “Oke, kalau kau tidak mau mendengarkannya. Aku hanya ingin menyampaikan sesuatu yang memang seharusnya aku sampaikan. Tapi kalau pemberitahuanku menyakiti perasaanmu, kurasa memang lebih baik aku tidak menceritakannya.”         “Terima kasih.”                                                                           “Alena, aku sudah mengirim uang di rekeningmu. Kau bisa memakainya untuk kebutuhanmu.”         “Aku masih punya uang.”                         “Ayolah, aku tahu kau butuh uang. Jangan anggap aku orang asing. Aku memang hanya pengacaramu tapi orang tuamu mempercayakan dirimu padaku, Alena. Kau bukan hanya seperti klienku—kau tahu itu kan.”         Alena terdiam. Dia tidak punya alibi untuk mengelak dari kebaikan Tom.         “Alena, kau seperti jelmaan novel Edgar Allan Poe. Unik dan suram. Tapi menurutku kau—“ Tom diam sesaat. Menatap bola mata hitam Alena. Menelusuri kedalam mata itu. Menelusuri keindahannya di balik kegelapannya. “Mirip sekali dengan ibumu.” Tom mengatakan itu seolah Alena sangat mirip dengan seorang ratu di masa lampau.         “Tidak sepenuhnya mirip.”         “Iya,” Tom tersenyum tipis misterius. “Tidak sepenuhnya, Alena. Ibumu sangat luar biasa.”         “Dia teramat sabar.”         “Sangat.” Tom menunduk sedih. “Aku ingat ibuku.” Katanya memberitahu Alena tentang perubahan wajahnya yang mendadak sendu.         “Dia sabar terhadapku. Dia sabar memiliki anak yang berbeda.” Alena berkata dengan mata kosong menatap lantai.         “Dia menyayangimu, Alena. Jangan berpikir bahwa dia tertekan memiliki anak sepertimu.” Alena bangkit. Dia tidak tahan untuk terus berbincang dengan perbincangan seberat dan sedalam ini. “Sampai kapanpun aku tidak akan menjual lahan yang sudah ditempati penduduk.”         “Fle, ayo kita pulang.”         Alena mendekati Fle, menggendongnya dan meninggalkan Tom yang menatapnya hingga dia lenyap dari balik pintu.         Tom berbalik menatap lukisan telanjang Aphrodite. “Aku tidak bisa mengendalikannya.” ***         Sepanjang jalan yang dilihat Alena dan Fle hanyalah gedung-gedung raksasa yang seakan mencakar langit distrik selatan. Fle tampak seperti Alena ketika menatap gedung-gedung maha tinggi itu—tatapan tidak suka. Tinggal di pinggiran kota memang lebih damai dan tenang dibandingkan di pusat kota. Meskipun tidak suka namun Fle tampak menikmati perjalanannya bersama Alena yang mengendarai mobilnya. Sesekali dia menoleh pada Fle untuk melihat ekspresi kucing itu yang lucu dan menggemaskan.             Alena berhenti sebentar di sebuah kedai penekuk untuk membeli waffle selai apel dan kentang goreng.             “Jangan kemana pun.” Alena memberi peringatan pada Fle dengan telunjuknya. Dia melepas sabuk pengaman. “Aku akan segera kembali. Aku hanya beli waffle selai apel dan kentang goreng.” Alena membuka pintu mobil dan melesat menuju kedai penekuk yang didominasi warna merah muda.             “Waffle selai apel dan kentang goreng dibungkus.” ujarnya saat sampai di meja kasir.             “Oke.” kata sang pelayan dengan seragam warna biru tua dan bandana warna merah muda.             “Alena,” sebuah suara hangat namun dingin memanggil namanya. Alena menoleh.             Pria asing itu lagi.                                “Kebetulan sekali kita bertemu di sini.” Pria itu tersenyum. Matanya cerah dan rambutnya tampak maskulin dengan gaya klasik.             Alena hanya diam. Menatap pria itu lalu kembali memfokuskan tatapannya pada pelayan yang sedang memasukkan kentang goreng.             “Oh ya, aku akan tinggal di pinggiran kota. Tepatnya, aku akan menyewa rumah orang tua Kris. Aku akan sering ke kebun anggur.” Ranne merasa berbicara dengan tembok. Sulit sekali membuat wanita di depannya itu membuka kedua daun bibirnya hanya untuk berbasa-basi. Jangankan berkata, tersenyum pun tidak.             “Terima kasih.” Alena mengambil plastik yang diisi waffle selai apel dan kentang goreng. Dia melesat pergi tanpa menunggu respon si pelayan dan tanpa mengucapkan ‘bye’ pada Ranne.             Ranne menatap punggung Alena sampai dia lenyap dari pandangan matanya.             Mungkin mulut Alena mengalami semacam disfungsional. Pikir Ranne lalu tersenyum sendiri membayangkan gumamannya.             Ranne berbalik menatap pelayan di depannya. “Apa dia sering ke sini?” tanya Ranne pada pelayan yang sibuk mengetik sesuatu di komputer kasirnya.             “Tidak, Tuan. Aku baru melihatnya.” jawab si pelayan.             “Kalau dia datang ke sini lagi jangan menerima bayaran darinya.”             “Hah?” kata ‘hah’ yang keluar dari mulut pelayan cukup nyaring.             “Dia temanku. Pokoknya kalau dia datang ke sini dan membeli apa pun itu jangan terima bayarannya. Kasih tahu yang lain.”             Karena hasrat yang entah dari mana Ranne menyusul Alena. Dia keluar dari kedai penekuk milik ibunya. Mobil Kia berwarna kuning itu berjalan perlahan. Alena dan Ranne sempat saling menatap sepersekian detik hingga Alena sadar bahwa dia menatap Ranne cukup lama dan membuang wajahnya cepat. ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN