BAB 6

1240 Kata
        “Dari mana saja kau?” tanya Perry sesampainya Alena dan Fle di rumah. Perry duduk di lantai teras dengan wajah kesal. “Aku menelponmu.”             “Aku tidak membawa ponsel.”             Fle lari ke dalam rumah ketika pintu rumah dibuka Alena.             “Apa itu?” Perry melihat bungkusan plastik di tangan Alena.             “Nih,” Alena menyerahkan plastik itu pada Perry dan Perry menangkapnya dengan segera. Mengambil kentang goreng dan memasukkannya ke dalam mulut.             Mereka masuk ke dalam rumah.                                          “Kau habis dari mana?” Perry duduk di sofa dan mengambil kentang goreng lagi.             “Tom menyuruhku ke kantor. Kau—“ Alena menatap Perry. Mata almond-nya menyipit. “Tidak kerja?”             “Aku ijin.”             Alena duduk di atas sofa. Mengambil waffle selai apel dan memakannya. “Sewaktu beli ini di penekuk aku melihat Ranne.”             Mata Perry membelalak lebar. “Terus?”                             “Dia menyapaku.”             “Pasti kau tidak membalas sapaannya.”             Alena mengangguk. Dia membersihkan remahan waffle di sudut bibir busur cupidnya.             “Len, sepertinya Ranne—“ Perry memberikan jeda pada kalimatnya. Menelusuri mata Alena apakah ada setitik rasa penasaran pada wanita itu terhadap pria setampan Ranne. “Tertarik padamu.”             “Omong kosong. Kau sudah bicara soal keperawanan yang aku jual?”             Perry menggeleng. “Aku tidak mau merusak citramu pada pria yang tertarik padamu, Len.”             “Baguslah.”             “Tapi kau mau kalau dia yang membeli keperawananmu?” mata cantik Perry yang selalu dihiasi bulu mata palsu berkedip-kedip.             Alena mencondongkan wajahnya pada Perry. Menatap tajam mata Perry dan berkata, “Tidak.” Dengan nada dingin khasnya yang berhasil membuat Perry begidik.             Saat Alena melewati kebun anggur dia melihat Kris dengan kemeja kotak-kotak khasnya dan Mandy dengan dress polkadot yang menurut Alena terlihat aneh dan sama sekali tidak elegan ditubuh Mandy. Mereka menatap Alena sinis. Alena sudah biasa ditatap orang-orang di pemukiman dengan tatapan sinis seperti itu. Tidak aneh dan Alena tidak dendam. Dia sudah biasa. Dia biasa untuk tidak disukai.             Perry tertawa.             “Tidak ada yang lucu.”             “Ya, memang. Tapi aku suka denganmu, Len. Aku suka caramu mengatakan ‘tidak’. Kau itu salah jenis manusia apa sih?”             “Kau ingat, pertama kali kau datang ke mejaku saat aku makan, aku yakin aku tidak akan bisa berteman denganmu. Kau terlalu feminim dan menyebalkan. Tapi, sekarang aku sadar. Kau memang diciptakan Tuhan untuk menjadi satu-satunya sahabatku di dunia ini.”             Sebuah bola memecahkan jendela ruang tamu Alena. Mereka terlonjak kaget.             “Apa itu?” Perry berkata menyusul Alena yang memeriksa jendelanya.             Seorang anak kecil sekitar berumur 10 tahun. Bermata biru pucat dengan rambut cokelat berdiri di dekat jendela dengan tangan menutupi bibirnya. Pupilnya melebar.             Alena dan Perry keluar rumah.             “Ma’af, Nona, aku memecahkan kaca rumahmu.” kata anak laki-laki itu panik.             Sepersekian detik keheningan menyelimuti atmosfer di sekitar mereka.             Anak laki-laki itu mengambil bolanya, mendekati Alena dan Perry. “Aku minta ma’af, Nona, tapi kalau kau meminta ganti atas salahku aku akan menggantinya. Aku akan mengganti kaca jendelanya. Aku akan menyisihkan uang jajanku.”             Fle muncul. Dia mendudukkan pantatnya seolah apa yang dilihatnya adalah sebuah drama. Alena, Perry dan anak laki-laki itu adalah pemain drama. Dan jika Fle punya kesempatan untuk menjadi manusia dia akan menjadi penyanyi opera karena dia suka mengeong dengan nada-nada panjang seperti sedang bernyanyi.             “Tidak, sayang.” Perry mendekati bocah itu. “Tidak usah. Kau dari mana? Bagaimana bola bisa mengenai kaca rumah?” Perry mengusap pipi bocah itu.             “Aku dari pemukiman di sana, Nona.” Bocah itu menunjuk arah pemukiman. “Aku sedang kesal dan menendang bola sembarangan. Aku tidak tahu kalau bola itu sampai mengenai kaca jendela rumah ini.” Dia menekuk sedih wajahnya.             “Oh, ya ampun.” Perry memeluk bocah itu. Dia menatap Alena agar Alena tidak mempermasalahkan kaca jendelanya yang pecah.             “Biarkan dia pergi, Perry.” kata Alena.             “Nah, kau sudah dima’afkan oleh pemilik rumah ini. Pulanglah ke rumah. Jangan main terlalu jauh.” Perry melepaskan pelukannya.             “Terima kasih, Nona.” Bocah kecil itu menatap Perry kemudian dia menatap Alena. “Terima kasih, Nona Alena.”             Entah bagaimana tapi seperti ada sesuatu yang menghangat ketika bocah kecil itu menyebut namanya.             “Kau tahu nama temanku?” tanya Perry.             “Ya, semua mengenal Nona Alena di pemukiman sana.” Anak itu kembali menunjuk pemukiman. “Nona Alena selalu menjadi topik yang menarik untuk dibahas. Semua orang membicarakan Nona Alena.” anak itu tampak antusias dan riang seakan Alena adalah sebuah dongeng luar biasa menakjubkan yang disukainya.             “Oh ya?” Perry tampak kikuk. Dia takut bocah itu mengatakan hal-hal yang menyakii hati Alena secara tidak sengaja.             “Ya, mereka bilang Nona Alena penyihir. Kucing itu juga sering dibahas.” Bocah itu menunjuk Fle dan Fle mengeong.             “Yasudah, kau pulanglah.” perintah Perry secara halus.             “Terima kasih.” Bocah itu berlalu pergi. Tubuhnya kurus. Keceriaannya menambah ketampanan bocah berkulit putih itu.             “Hanya sebagian kecil yang pecah.” Kata Perry seraya mengambil serpihan kaca dengan hati-hati.             “Aku rasa...” Alena menoleh pada Perry. “anak kecil itu sengaja memecahkan kaca jendela.”             Dahi Perry mengernyit. “Maksudmu?”             Pertanyaan Perry hanya dibalas dengan tatapan misterius Alena. ***             Pagi ini Alena memilih menghabiskan waktu di ayunan kayu bambu yang sudah ada sejak tahun 2000-an. Ayunan kayu buatan ayahnya. Ayah selalu berusaha menyenangkan putri semata wayangnya. Dia membuat ayunan kayu sendirian yang digantungan di pohon ek di depan rumah. Alena baru sadar bahwa dia sudah lama tak pernah duduk di ayunan kayu favoritnya itu. Dan sudah sejak lama dia menyadari bahwa kayu ini mulai rapuh dan bisa mencelakainya kapan pun saat dirinya berada di ayunan.             “Tuhan selalu menyayangi hambanya. Kenapa manusia tidak bisa menyayangi sesamanya? Bahkan orang yang taat beribadah pun malah saling menyudutkan satu sama lain. Tuhan menyayangiku dengan caranya. Tuhan tahu aku mampu melewati semua ini. Dia mengirim Perry, Fle dan Tom. Dua manusia dan seekor kucing sebagai pengganti orang tuaku. Aku sangat menyayangi mereka. Aku memang tak pernah bisa menunjukkan rasa sayangku. Itu kelemahanku.” Alena menatap langit. Awan bergerak perlahan. “Hingga tiba saatnya nanti aku bertemu denganmu, Tuhan.”             Lalu Alena bersenandung dengan mata terpejam.             “Fomalhaut, bintang yang ada di rasi Piscis Austrinus.” Suara yang mulai tak asing didengar Alena membuat Alena terkesiap. Dia menoleh.             Ranne.                                              “Bintang yang kesepian. Tapi dia tidak benar-benar sendirian. Ada bintang-bintang lainnya. Tapi dia seakan terlihat seperti sendiri.”             Ranne mulai mendekat. “Fomalhaut.” Ranne memberi penekanan rendah pada perkataannya seraya menatap Alena dalam. Untuk beberapa saat mereka bertatapan. Ada desir yang aneh di d**a Alena. Desir yang ingin dia hindari.             “Kenapa kau di sini?” untuk pertama kalinya Alena berkata. Dia berdiri tapi tatapannya masih dingin dengan wajah yang tak pernah ramah.             “Kebunku di sana,” Ranne menunjuk kebun anggurnya. “Aku tinggal di pemukiman. Di atas lahan milikmu.”             Dahi Alena mengernyit.             “Aku tahu banyak tentangmu. Oke, aku akan memperkenalkan diri sebagai tetangga yang baik karena kebun anggurku adalah tetanggamu. Aku mewakili kebun anggurku—“ Ranne melihat sesuatu di sudut bibir Alena. “Ada sesuatu di sini,” ucapnya menunjuk sudut bibirnya. Alena segera menyapukan jarinya di sudut bibir yang ditunjuk Ranne. Remahan roti.             “Terima kasih.” Katanya tanpa senyum.             “Aku Ranne. Pemilik kebun anggur.” Ranne kembali mengulurkan tangannya berharap kali ini Alena membalas jabatan tangannya.             Seperti biasa Alena hanya menatap tangan itu. Lalu dia mendongak menatap Ranne. Menatap bola mata cokelat cerah pria tampan itu.             “Aku tidak suka perkenalan basa-basi.”             Ranne tersenyum. Dia menarik tangannya. “Oke, pasti kau pengaggum novel Edgar Allan Poe?”             “Aku pernah membacanya. Tapi buku-buku Poe tidak pernah membuatku membaca berulang-ulang.”             Tanpa permisi, Alena meninggalkan Ranne.             “Hei!” seru Ranne.             Alena berbalik.             “Kapan-kapan aku main ke rumahmu lagi ya.”             Alena mengabaikan Ranne. Berbalik badan dan masuk ke rumahnya.             Ranne tersenyum. Baginya dapat berbincang dengan wanita dingin itu adalah keberuntungan. Dia mendapatkan keberuntungan hari ini. Berkat Fomalhaut. Bintang paling terang ke – 18 yang bisa dilihat dari Bumi. Bintang yang menjadi bintang favorit Ranne.             “Aneh, kenapa Alena membuatku penasaran. Dia benar-benar penyihir yang  memiliki pemikat sialan.” ujarnya kembali tersenyum. ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN