Aku keluar dari perbatasan kota secara diam-diam, mengenakan tudung gelap yang menutupi tubuh, berjalan secara mengendap-ngendap di tengah kota yang sudah gelap gulita, keadaan sudah sunyi senyap di luar rumah. Aku harus berbicara serius dengan Zack, masih banyak hal yang aku bingungkan, terutama dengan sistem aneh ini.
“Al.. sut.. ini aku,” aku mengerutkan dahi saat Quera dan Zifra tiba-tiba ada di gerbang timur, mereka sama dengan aku sekarang, sama-sama menggunakan tudung hitam.
“Kalian ngapain di sini?” bisikku yang membuka pintu khusus yang tidak ada penjaga, mereka ikut di belakangku sembari memperhatikan sekeliling, takut jika ada orang yang tiba-tiba mempergoki kegiatan ilegal kami bertiga sekarang.
“Ih bentar, tunggu Lizy, Arvi, sama Alyarn ke sini. Mereka lagi siap-siap buat ke gerbang timur juga,” ucap Quera yang membenarkan tudung yang ia kenakan, dia mengeluarkan lampu penerangan yang dulu pernah kita rakit saat keadaan genting.
“Loh kok banyak banget? Kalian tau darimana aku bakal ke sini?”
“Tadi kita nemuin ini,”Zifra mengeluarkan kertas skema kegiatan aku ini, harusnya aku bisa hati-hati.
“Terus tadi Samuel cerita tentang temennya di hutan timur, kita sambungin sama ini, dan ternyata bener kalau kamu bakal ke sini. Tebakan Lizy gak salah, selalu aja bener.”
Aku menepuk pelan dahi, “Kalau kalian ketauan gimana? Ini bahaya loh, kalian belom pernah dapet hukuman kayak aku. Jangan nodain nama baik kalian hanya gara-gara aku yang kayak gini,” tegurku yang malah mendapat respon berbeda, Quera menarik tubuhku untuk mendekat, sedikit membuat aku limbung karena belum siap.
“Nama baik itu gak penting buat aku kalau malah biarin temen seperjuangannya berjuang sendiri, lagian rasanya seru dengan jantung yang berdebar, biasanya kita nurut, kali-kali lah jadi pelanggar.”
“Que bener tuh,” suara bisikan Lizy tiba-tiba terdengar.
Aku membalikan badan, melihat 3 orang teman seperjuangan aku sendiri udah berdiri di depan aku dengan memakai tudung, tanpa sadar mataku sudah memerah karena mereka, gak nyangka kalau aku berjuang tidak sendiri di sini.
“Kalian jangan bikin aku pengen nangis di sini,” ucapku dengan napas tersenggal beberapa kali, mereka serentak langsung memeluk tubuhku.
“Udah udah, nanti ketauan sama penjaga kalau kita diem di sini,” tegurku yang melepas rangkulan.
“Eits tenang aja, tadi yang jaga itu Aura sama Arvian, mereka udah kita kasih obat tidur, ya paling 20 menit lagi mereka baru bangun Al,” ucap Alyarn dengan santai.
Aku hanya melongo heran, gak mengerti dengan jalan pikir mereka yang gak seperti biasanya, yang aku kenal itu biasanya mereka selalu terarah, gak melakukan kriminal kayak gini, jangankan kriminal yang udah di luar batas kayak gini, buat ngelanggar peraturan aja kayaknya mereka bakal mikir kecuali penelitian ilegal yang udah aku dan mereka lakuin selama 3 tahun terakhir ini.
“Kalian yang ngelakuin itu? Biar apa?”
“Soalnya kita pasti ada drama dulu, dan ternyata bener kan, jadi biar gak ada yang motong. Aku bikin aja obat bius, terus kasih pas mereka mau berangkat jaga, terus aku udah masang kamera pengawas biar tau kalau ada orang yang bakal datang ke sini,” jelas Arvi dengan runtut, gak ada satu pun yang terelewat dari penjelasannya itu.
“Seru tau waktu kita ngeracik, udah ngebayangin apa yang bakal terjadi, tau sendiri Aura orangnya panikan kalau dia ketiduran, jadi kebayang selucu apa muka dia itu.”
“Ya ampun Lizy, biasanya kamu gak kayak gitu loh,” komentarku menggelengkan kepala.
Mereka berlima malah tertawa pelan, menarik lenganku untuk mulai melakukan perjalan menuju gedung tua. Aku melepaskan tudung saat di tengah hutan, sama dengan mereka yang ikut membuka tudung, berjalan lebih jauh ke dalam hutan.
“Kalian tunggu di sini dulu ya, aku nemuin temen aku yang di sini oke?” aku berjalan lebih dulu dari mereka, berdiri di hadapan mereka dengan lengan yang memegang lampu.
“Seriusan kamu ke sana sendirian? Aku takut kamu kenapa-napa Al,” ucap Alyarn yang memegang lenganku, menggelengkan kepala saat aku berusa melepas pegangannya.
“Gak apa-apa kok, tenang aja. Aku udah sering ke hutan sendiri kalau malam, lagian aku mau ketemu sama temen bukan ketemu lawan, jadi gak perlu khawatir.”
Aku berusaha meyakinkan mereka untuk melepaskan aku pergi sendiri, Lizy menarik lengan Alyarn, mengangguk, melambaikan tangan. Aku mengangguk, melambaikan tangan sekali lagi sebelum berjalan lebih jauh menuju gedung tua yang ada di tengah hutan.
Tok.. tok..
“Zack, apa kamu di dalam?” teriakku, mengintip ke arah jendela.
“Kamu akhirnya datang juga,” ucap Zack dengan wajah berseri, matanya menyipit dengan senyum yang melengkung indah di wajahnya.
“Iya Zack, tapi..” aku merunduk sebelum memberanikan diri untuk menatap matanya, “aku bawa temen, mereka maksa untuk datang ke sini. Apa gak apa-apa aku bawa mereka ke sini?”
Zack terdiam dengan bibir yang langsung berhenti tersenyum, mengusap pipiku pelan, “Gak apa-apa kok, ajak aja mereka ke sini, sekalian aku coba kenal temen baru aku. Bahaya kalau mereka di luar sendiri, takut ada binatang buas yang berkeliaran juga.”
Aku tersenyum lebar, “Makasih banyak.” Aku memeluk tubuh Zack, melampiaskan rasa bahagiaku.
“Sama-sama peri kecil,” dia mengurai pelukannya, mencubit ujung hidungku.
“Jadi kalian temen Alya?” mereka berlima mengangguk saat Zack mempersilahkan mereka duduk di ruang tamu, wajah kelima temenku tegang, seperti saat mereka bertemu dengan petinggi.
“Kalian kenapa kayak gitu sih? Santai aja kok, Zack gak bakal ngigit kalian,” komentarku yang sudah jengah dengan sikap mereka, tiba-tiba berubah menjadi kaku.
“Sedikit serem,” komentar Alyarn keceplosan, aku melirik ke arah Zack yang tidak mengeluarkan ekspresi apapun selain datar dengan rahang yang mengeras.
Aku langsung menghampiri Zack, memberikan kode ke Quera untuk menutup mulut Alyarn yang selalu ceplas ceplos, dengan lampu yang menyala, aku baru sadar wajah Zack penuh dengan lebam yang mulai membiru, aku menatap tubuh Zack yang tidak baik-baik saja.
“Zack kamu gak apa-apa? Ini kenapa tubuh kamu banyak luka? Terus kenapa muka kamu penuh sama luka lebam? Kamu serius gak apa-apa?” tanyaku yang memegang wajah Zack, fokus terhadap luka-luka yang akan meninggalkan bekas.
Lengan Zack mencegah lenganku untuk memegang lebih jauh lagi, “Aku gak apa-apa.”
“Al aku bawa obat nih, kasih obat buat lukanya. Kita bakal nunggu di ruang sebelah,” ucap Lizy yang meletakan kotak obat di meja samping tubuhku.
“Zack cepet sembuh ya,” ucap Alyarn yang mengepalkan lengannya, “maaf buat tadi.”
“Kamu bisa lepas dulu bajunya, biar aku sekalian kasih obat dan lilitin kain.”
Zack mengangguk, menanggalkan kaos hitam yang ia kenakan. Aku menahan napas saat melihat banyak bekas luka di badannya, bukan sebatas bekas cambukan atau bekas goresan dari benda tajam, tapi ada bekas peluru di beberapa bagian. Aku gak bisa bayangin gimana rasa sakit dari semua bekas luka ini.
Aku menyentuh bekas luka Zack sepelan mungkin, mengangkat kepala saat mendengar desisan dari Zact saat aku menyentuh lukanya yang belum sepenuhnya mengering. Reflek aku menjauhkan lenganku, tapi di tahan oleh Zack, dia mengangguk untuk aku meneruskan.
“Luka kamu banyak banget Zack,” komentarku yang mengoleskan obat antiseptik, mengganti perban yang melilit luka di bahunya sepelan mungkin.
“Ini gak seberapa Al, dulu aku dapet lebih banyak dari ini,” komentar Zack, dia tersenyum simpul.
“Ya tapi buat aku masih kaget ngeliat luka sebanyak ini, baru pertama kali aku nemuin orang dengan luka yang hampir ada di sekujur tubuhnya.”
“Anggap aja ini kenang-kenangan buat bikin dunia jadi tentram,” gurau Zack mencairkan suasana, “kenapa kemarin gak datang bareng sama Samuel?”
“Oh yang itu, aku gak mau aja. Lebih enak aku datang sendiri, ngobrol langsung sama kamu.”
Zack mengangkat daguku, membuat mata kami saling bertatapan, “Ada yang kamu sembunyiin?”
Aku menggeleng lemah, “Aku kurang suka aja sama Samuel, dia rese, berpura-pura peduli tapi aslinya gak peduli. Lagian aku juga gak yakin dulunya kalau Samuel temen kamu, ngeliat dia deket sama profesor Hangga, gak yakin kalau dia gak ada hubungannya sama profesor.”
“Ya udah, gak penting juga.”
Suara hewan-hewan malam mengisi sunyinya malam di hutan, aku berdiri di luar gedung tua, menatap ke arah luar gedung yang gelap dan sunyi, udara di hutan yang tidak terlalu dingin membuat aku lebih berani untuk berlama-lama di luar sini, apalagi memikirkan langkah selanjutnya.
“Al gak baik di luar sendirian kayak gini, nanti kamu bisa sakit,” ucap Arvi yang sekarang berdiri di sampingku, mengeratkan kain yang membungkusnya dengan lengan yang memegang gelas yang mengepulkan asap tipis, aroma coklat tercium dengan jelas.
“Aku udah biasa kali ke hutan buat nenangin diri, apalagi kalau ada masalah keluarga,” balasku.
“Arvi kebiasaan banget bawa minumnya buat sendiri,” suara Quera melengking dengan sempurna, “Alya kalau keluar pake kain tambahan kalau gak jaket, nih minum s**u coklat yang dibuat Lizy.”
“Que suara kamu luar biasa cetar membahana ya,” kekehku yang menikmati coklat hangat.
Que menyandarkan kepalanya di bahuku, “Aku gak nyangka bisa seberani ini bareng kalian, gak nyesel aku milih jadi ilmuwan muda dan liat lebih jauh dari sebatas teknologi.”
“Besok aku temanin kalian buat nyari tumbuhan beracun, kita bisa neliti buat obat bius baru.”
Arvi langsung berdiri di hadapanku, bak orang yang baru mendapatkan harta karun, mata Arvi berbinar-binar. Dari kelima temen aku yang datang ke sini, Arvi adalah orang yang paling semangat untuk masalah pengobatan dan ramuan obat, dia yang kemarin berhasil meracik obat untuk penyembuhan orang yang terkena radiasi dari nuklir, terkhusus untuk mereka yang mendapat pekerjaan khusus ke negara barat.
“Iya Arvi, di sini banyak tumbuhan liar dan beracun, kalau kita pinter buat raciknya, bisa kok buat dijadiin jadi obat. Nanti ajak Zack juga, dia jauh kenal sama tumbuhan-tumbuhan.”
“Alya ini kalung kamu?” tanya Zack dengan rahang yang mengeras.