Aku memasuki ruangan bercat putih dengan kemeja merah dan celana katun berwarna senada, tidak lupa menenteng tas dan jas lab dengan rasa bangga. Hari ini tepat satu minggu setelah aku mendengarkan semua penjelasan dari dua laki-laki yang masih aku hindari sampai detik ini, bukan aku masih plin plan, tapi aku mau mengambil keputusan terbaik karena ini menyangkut masa depan.
Pikiranku harus bisa fokus saat ini, hari yang udah aku tunggu-tunggu dari bulan-bulan kemarin sekarang tiba, tim penilaianya juga berbeda dari sebelumnya karena mulai detik ini tim penilai itu adalah 3 generasi yang di pilih secara acak. Sekarang generasi 80, 78, dan 82 yang bakal jadi tim penilai generasi 84.
“Wis juri pertama kita udah datang,” sambut Azriv yang merentangkan kedua lengannya, menyambut hangat kedatanganku yang sedikit terlambat dari seharusnya.
“Manis banget calon penerus profesor,” celetuk Quera di ujung meja, stylenya kali ini cukup beda dari biasanya, dengan rambut cepol atas dan make up yang terlihat lebih cetar dari biasanya.
“Kalian ini suka asal ceplas ceplos.”
“Mereka bukan asal ngomong loh, tapi emang kenyataanya,” kak Anya ikut bergabung dalam percakapan random kali ini.
“Kak Anya sama siapa ke sini?” tanyaku menyapanya, ini sebuah kemajuan saat ilmuwan muda generasi di atas 80 mau ikut bergabung dalam percakapan aneh.
“Arya yang bakal ikut menilai kali ini,” jawabnya dengan senyum simpul, dari ketiga temannya, kak Anya punya senyum yang paling manis, apalagi dengan wajahnya yang imut.
“Aku kira bakal kak Sandrina, soalnya waktu kemarin paling antusias nyiapin ini semua.”
“Sandrina lagi di rawat dari semalam, dia kena virus yang belum bisa diprediksi jenis apa itu.”
“Pagi semuanya, maaf sedikit telat buat pengarahannya,” ucap Erika yang membuka pintu ruangan, di susul Masyri, ilmuwan muda generasi 82 yang cukup dekat dan ikut aku tarik di penelitian ilegal.
“Al boleh ngobrol bentar?” kak Arya datang dengan rambut acak-acakan, sudut wajahnya mulai membiru dan sudut bibirnya sedikit meninggalkan bekas luka yang mulai mengering.
Aku mengangguk, mengikuti langkah kak Arya yang lebar, menuju taman Argaraya yang berada di dalam gedung. Aku baru ingat, kemarin kak Arya gak ada waktu perakitan alat, kata kak Anya kalau kak Arya ada urusan penting yang gak bisa di tinggal.
“Kenapa kak?” aku mengadah menatap wajahnya, sedikit meringis setiap melihat wajahnya.
Kak Arya mengambil tempat di bangku taman yang menghadap langsung ke air terjun mini, hasil rakitan dari generasi 2 di tengah kesibukan mereka. Aku mengambil tempat di samping kak Arya, gatal untuk mengobati luka-luka yang akan meninggalkan bekas di wajah dingin kak Arya.
“Kak?” panggilku lagi, tiba-tiba lengan kak Arya menggenggam lenganku, membuat aku terdiam kaku.
“Janji sama kakak kalau kamu bakal baik-baik aja, jangan sampai terluka,” ucapnya ambigu.
“Maksud kakak apa?” aku memberanikan diri untuk mengusap luka-luka di wajahnya, “ini yang kakak dapat selama dua hari? Kenapa bisa?”
“Janji dulu sama kakak?” pinta kak Arya, ini kayak bukan kak Arya yang biasanya, kemana kak Arya yang dingin? Kemana kak Arya yang sinis setiap ngomong?
“Kakak kenapa? Aku gak bisa janji kalau kakak gak jawab pertanyaan aku. Luka yang kakak dapet ini darimana kak? Siapa yang ngelakuin ini ke kakak?”
Kak Arya mengusap pipiku, matanya memerah saat menatap ke arahku, “Sekarang kakak gak bisa bilang, takut kalau nyawa kamu bakalan terancam karena kakak.”
Kak Arya menangkup pipiku, mendekat wajahku sampai aku merasakan dahiku menyentuh bibirnya, aku merasakan ada air mata yang mengenai langsung ke arah pipiku. Aku mendorong tubuh kak Arya, berjalan menjauh dengan d**a yang bergemuruh kencang.
“Kamu kenapa Al? Kayak abis ketemu sama zombie aja?” tanya Quera yang keluar dari toilet, membasuh lengannya, menatap ke arahku.
“Lebih dari itu Que, ini bahaya buat kesehatan jantung aku.”
“HAH? KENAPA? ALYA GAK PUNYA PENYAKIT JANTUNG KAN?” teriak Quera yang menggema di dalam ruangan, aku langsung membekap mulutnya yang seperti toa.
“Que bukan maksud aku kayak gitu,” gemasku, “intinya jantung aku lagi bermasalah,” ucapku yang melepaskan bekapan di mulit Quera.
Tiba-tiba senyum Quera mengembang, “Pasti ada hubungannya sama senior kita yang tadi baru datang ya? Cocok kok kalau kamu suka, tapi kok wajahnya kayak abis berkelahi. Eh gak apa-apa, soalnya keliatan cowok banget, apalagi rambutnya yang.. em.. wow banget.”
“Que apaan dah,” dengusku tapi tak ayal, desir darahku terasa lebih cepat.
“Udah udah, kamu harus fokus ke penilaian hari ini, katanya ada kakak senior yang nyoba ikut tes ke penelitian gara-gara bosen di bidang keamanan.”
Aku mengerutkan dahi bingung, “Emangnya sekarang bisa? Bukannya gak boleh kalau kita udah di seleksi dan masuk ke bidang masing-masing?”
“Kamu ketinggalan informasi yang terbaru berarti,” ucap Quera pelan, “denger-denger ada petinggi yang protes karena ngerasa kinerja orang-orang sekarang tuh gak sesuai harapannya, makanya sekarang sistemnya berbeda dari yang dulu,” bisik Quera tepat di samping telinga kanan.
Aku hanya bisa mengangguk pelan, sedikit bingung dengan sistem pemerintahan yang tiba-tiba bisa berubah jauh dari biasanya, udah 50 tahun lebih sistem tentang seleksi dan penempatan itu berlaku, dan hanya hitungan hari semua berganti.
“Kenapa jadi kepikiran sama ucapan Zack ya?” gumamku pelan, duduk di meja yang memanjang, menunggu arahan dari kak Anya.
“Nah karena sekarang sistemnya beda, untuk seleksi di hari pertama dan kedua ini, bakalan fokus sama mereka yang memilih pindah bidang, harus selektif karena profesor Kenya gak mau ada kegagalan dari orang yang kita pilih,” ucap kak Anya dengan tegas, dia memberikan arahan melalui monitor kecil yang menampilkan skema perjalanan seleksi.
“Aku gak yakin ini pilihan yang tepat, maksud aku kan, seleksi kemarin-kemarin itu udah tepat, terus kenapa sekarang jadi kayak gini. Bukan gak suka, tapi ini bakalan bikin sistem jadi sedikit runyam, apalagi kalau mereka punya prinsip yang jauh dari kita,” sanggah Azriv yang satu pemikiran dengan aku, bukan gak suka saat orang lain berpindah, tapi risikonya terlalu besar.
“Aku setuju sama ucapan Azriv kak,” aku mengangkat lengan, “bukan apa-apa tapinya ini bakalan berisiko besar, ditambah kita punya prinsip berbeda dari bidang yang lain. Contohnya aja, bidang keamanan negara yang pasti bakal manut aja sama pemerintah, sedangkan kita engga. Kita bebas buat ikut atau engga dalam penelitian, apalagi tujuan besar kita bukan pemerintah, tapi masyarakat.”
“Aku tau kalau kita semua kurang setuju dengan ini,” kak Anya terlihat lelah, “tapi kita gak bisa nolak, karena Bu Arvina setuju dengan sistem ini. Bayangin aja kalau kita nolak, penelitian yang kita lakuin bakalan di tolak dan bisa jadi di bakar sama bu Arvina. Untuk kali ini, semua ilmuwan dari generasi 75 ke atas menyerah, dan gak bisa bantu banyak.”
“Kenapa sekarang jadi kayak gini? Ini bisa ngerugiin pihak masyarakat.”
Quera memegang bahuku, menahan agar aku tetap diam di tempat, apalagi suasana sudah berubah menjadi ricuh karena seluruh orang di dalam ruangan gak setuju dengan ini semua. Aku melirik ke arah kak Arya yang diam, tidak berkomentar sedikit pun dengan ucapan kak Anya.
Aku mengeluarkan ponsel, mencari kontak kak Arya, menuliskan beberapa kalimat yang ragu untuk aku kirimkan, nanti terkesan aku penasaran banget dengan dia, apalagi setelah kejadian kita di taman tadi, tapi aku beneran penasaran sama sikap kak Arya yang beda kayak gini.
Kak Arya ilmuwan muda generasi 78
Kak kenapa gak komentar kayak biasanya?
Apa kakak marah karena tadi aku pergi? Maaf
Sekarang kondisi kita gak bisa apa-apa Alya, mau kamu nolak juga
Gak ada hasilnya sama sekali, sekarang nyawa kamu dan yang lain yang harus dipikirkan
Emangnya ada apa sih kak? Kenapa dari tadi kakak bicara tentang nyawa?
Kamu gak bakal paham untuk saat ini, kakak mohon buat kamu jaga ilmuwan muda di bawah kamu
“Alya kamu dengerinkan arahan dari kak Anya?” tanya Quera yang aku jawab anggukan, “jadi bingung ke depannya kita bakalan kayak gimana? Masalahnya bu Arvina yang udah ikut terjun.”
“Sama Que, aku juga bingung sama alasan perubahan sistem kayak gini. Oh iya, nanti malam kita semua jadi kumpul kan buat bahas proyek selanjutnya?”
“Pasti dong, tadi aku udah ketemu sama Lizy, terus tadi dia bilang kalau penelitian utama kita udah siap buat dirakit, ya sekitar 60% pengerjaan kita ini.”
“Seriusan?” Quera mengangguk, menarik perhatian Azriv yang sekarang berjalan ke arah kami berdua.
“Penelitian tentang perakitan bom 3, gak ada yang setuju kan?”
“Gila aja kalau itu sampe setuju Az, masalahnya bukan jadi permasalahan di negara kita tapi negara lain juga ikut kena imbasnya, bukannya penelitian obat bius dari tanaman herbal masih jadi fokus penelitian dari negara?”
“Harusnya sih iya, tapi gak tau kalau sistemnya kayak gini.”
“Alya bisa ikut sama kakak sebentar?” kak Anya tiba-tiba sudah berdiri di belakang Quera, “ada yang mau aku sama Arya bahas sama kamu.”
“Boleh kak, aku juga masu bahas sesuatu sama kak Anya dan kak Arya.”
Aku mengikuti langkah kak Anya ke arah meja di ujung ruangan, di sana ada kak Arya yang lagi berkutat dengan laptopnya, wajahnya serius sembari beberapa kali ujung alisnya bersatu. Kak Arya menghentikan kegitannya, mengangkat kepalanya, memulai kontak mata singkat denganku, ujung bibirnya terangkat, membuat degup jantungku sedikit menggila.
“Al aku tau kalau misalnya ini kerasa tiba-tiba, tapi sekarang posisinya Arya lagi terdesak. Minggu depan dia bakal dibawa sama pemerintah ke tempat pengasingan, dan satu-satunya caranya aman adalah membuat alat komunikasi biar kita tau kabar Arya nanti.”
“Hah? Maksud kak Anya apaan? Jadi ucapan kak Arya yang tadi itu? Ini maksudnya kak?”
Kak Arya mengangguk, “Sekarang aku gak punya banyak waktu, pemerintah hanya ngasih waktu 1 minggu untuk aku menyelesaikan semua tugas, jadi aku mau minta kamu buat simpen proyek lanjutan aku sama yang lain.”
“Ta-tapi kak, aku gak tau bisa atau engga.”
“Kamu bisa, rencana untuk bikin mesin waktu udah siap kan?”