Crimson

1419 Kata
“Di dunia ini tidak hanya manusia yang hidup, tapi makhluk gaib juga.” “Ya, mereka hidup berdampingan bersama kita. Tapi, ada yang lebih menyeramkan dari sekadar bertemu dengan hantu dengan wajah rusak.” “Aku tahu maksudmu. Tapi, kalian tahu tidak? Ada banyak jenis Kuxin yang tidak semua orang tahu. Ada lima tingkatan dan semuanya bisa membunuhmu.” “Tahu dari mana kau?” “Seseorang pernah bertemu dengan salah dua anggota Dolphin dan mendengar mereka membicarakan tingkatan yang perlu diwaspadai.” “Menyeramkan, bagaimana supaya makhluk itu tidak merasuki kita?” “Entahlah, yang terpenting jangan berbuat buruk ataupun merugikan orang lain, karena setan biasa saja senang dengan itu.” *** “Baiklah, halo? Halo?!” Pria berkacamata hitam itu mendengkus dan menutup teleponnya di atas mejanya. Dia pun langsung bangkit bergegas ke ruang sebelah. Kakinya menyusuri lorong yang diterangi cahaya matahari di luar jendela besar. Karpet abu-abu membuat langkahnya tidak terlalu terdengar di sepanjang lorong itu. Tak jauh dari ruangannya tadi, dia masuk ke sebuah ruangan dengan tulisan VIP di depan pintunya. Namun, ruangan itu kosong. Hanya ada meja dan sofa serta beberapa rak buku yang tertata rapi dan sebuah koper berwarna kuning bertengger di samping sofa. Lalu, seorang pria dua puluh delapanan datang menghampirinya dengan kemeja lengan panjang yang dilipat bagian lengannya sampai siku dan celana bahan serba hitam. Hanya sepatunya saja yang putih bersih. “Ada apa?” tanyanya pada pria berkacamata hitam yang berdiri di depan pintu. “Di mana Crimson? Ada kasus, padahal aku sudah mengirim tiga orang tingkat dua ke sana.” “Hmm, kenapa mereka tidak bisa menyelesaiknnya? Itu hanya bayangan.” “Mereka baru saja naik tingkat minggu lalu.” Pria dengan pakaian serba hitam itu menghela napas dan memasukkan kedua tangannya ke saku celana. “Berarti bayangan satu ini jauh lebih hebat?” “Sepertinya begitu, dan dia ... merasuki seorang anak lima belas tahun.” Wajah pria berkacamata itu memang tidak bisa ditebak karena matanya selalu terhalang, entah prihatin atau masa bodoh dengan kasus itu. “Dia sedang pergi beli es krim ke mini market,” jawab pria berpakaian hitam. “Hhh, gadis itu benar-benar tidak memiliki rasa takut,” dengus pria berkacamata yang langsung merogoh kantung jasnya untuk meraih ponsel. “Crimson, ada kasus di desa Vsatyovl. Kuxin tingkat dua yang merasuki anak lima belas tahun. Cepatlah!” perintahnya. Pria berpakaian hitam hanya menatapnya dengan datar. Lalu dia berjalan masuk ke ruang VIP tadi. “Ah, Carden, terima kasih. Kau baru datang? Apa ada yang ingin dibicarakan?” tanya pria berkacamata tadi sebelum pria dua puluh delapan itu menutup pintu. “Aku kemari untuk menjemput anak itu,” jawabnya singkat. “Kau yakin?” “Hm, aku rasa dia juga sudah siap.” Pria yang dipanggil Carden itu bicara dengan menatap sebuah koper warna kuning di sebelah sofa. Otomatis pria berkacamata itu pun ikut menatap ke sana. “Hmm, baiklah. Kita bicarakan nanti kalau Crimson sudah kembali. Beristirahatlah dulu,” ucap pria itu. Carden pun menutup pintu dan mendaratkan bokongnya di sofa dengan kaki jenjangnya yang ditaruh di atas meja. *** Gadis yang bernama Crimson itu menutup ponsel dan memasukkannya dalam kantung hodie di sisi kanannya yang beresleting. Gadis itu masih terdiam di depan pintu mini market memandangi es krim berwarna biru yang beraroma permen karet di tangannya. Kemudian dia berjalan dengan santai sembari menjilati es krimnya. Jalan itu cukup padat oleh pejalan kaki. Tak sedikit yang terus meliriknya karena membawa peti kayu hitam panjang dengan lebar hanya satu jengkal orang dewasa saja di punggungnya. Gadis itu juga terlihat cukup aneh karena tudung hoodie-nya sedikit menutupi wajahnya yang cantik. Lalu, dia berbelok ke sebuah gang sepi. Dia masih berjalan dengan santai sambil menggigit es krimnya untuk mendapatkan krim s**u di dalamnya. Gang itu cukup untuk satu mobil dengan pintu belakang toko yang berjajar serta apartemen kecil di sisi lainnya. Tak ada seorang pun di sana, suara keramaian lalu lintas pun hampir tak terdengar lagi. Gadis itu pun berhenti dan menatap gedung tingkat tiga di depannya. Bibirnya tersenyum, es krimnya digenggam erat, kakinya menekuk dan seketika dia sudah berada di udara. Tubuhnya gesit melompat ke sana kemari melewati atap-atap gedung. Kakinya terus berlari sambil sesekali dia menjilat es krimnya karena mulai meleleh akibat tersapu angin. Matanya melirik ke kanan, di sana ada kereta cepat yang tengah melaju. Dia pun mempercepat larinya dan ketika tiba di atas papan reklame di sisi lintasan itu, tubuhnya melompat seringan angin dan mendarat tepat di atap salah satu gerbongnya. Tapi, tubuhnya sedikit oleng karena laju kereta, namun refleksnya cepat berpegangan dan menyelamatkan es krimnya. Napasnya pun lega. Tidak perlu waktu lama dia menumpang kereta ekspres itu, tidak sampai lima menit dia melihat papan reklame bertuliskan “Welcome to Vsatyovl’s Town”. Segera gadis itu berdiri dan menatap ke sampingnya, dia memperhatikan dengan saksama, ada sebuah padang rumput luas dan satu rumah di sana. Dia memejamkan mata dan menghirup aroma iblis di daerah sana, dengan cepat dia melompat tinggi ke udara. Menembus pepohonan di sisi rel yang cukup rindang sejauh lima ratus meter. Kakinya terus melompat dari satu dahan ke dahan lain. Hingga di ujung hutan kecil itu, lompatannya jauh lebih tinggi. Dia dapat melihat dengan jelas padang ilalang yang sudah tercemar banyak darah. Ketika dia melihat seorang pria dengan tubuh bengkak hendak melompat ke arah tiga pemuda di depannya, gadis itu menaruh setengah es krimnya di mulut selagi kedua tangannya melepas peti kayu yang bertengger di punggungnya. Dengan cepat dia meluncur dan menghantam bumi. Bum!! Pria bengkak yang tengah melompat itu terlempar sejauh beberapa meter sampai keluar padang ilalang. Tudung gadis itu otomatis terbuka ditiup angin kencang akibat pendaratan serta penghalang yang dia bangun di depannya. “Kau?!” pekik seorang pemuda yang terjerembab di belakangnya. Rambut merah tua nan pekat melambai dengan warna jaket yang senada dengan rambutnya. Jaket kuningnya yamg mencolok, mampu membuat siapa saja menatapnya. Warna dari rambut dan pakaiannya yang bertolak belakang berhasil membuat siapa pun pasti akan melihatnya di antara padang ilalang yang sudah terciprat darah para pemuda tadi. Seolah gadis itu muncul ke permukaan dari dalam tanah, bukan dari atas. Rambutnya yang diikat dua rendah terlihat begitu bebas menari bersama angin. Pemiliknya mulai menoleh dan menyerahkan setengah batang es krim yang meleleh pada pemuda pistol di tengah. “Pegang ini, dimakan juga boleh,” kata gadis itu melempar senyum. Pemuda itu meraihnya dengan ragu, masih terpaku dengan seorang gadis cantik berkulit pucat dan rambut merah pekatnya. Bahkan salah satu pemuda lain melihat sebuah kotak kayu hitam tinggi berdiri di depan tubuh gadis itu, dia masih tak habis pikir. Bagaimana gadis itu bisa menciptakan dentuman sekeras itu dan menciptakan perisai yang cukup besar tanpa senjata apa pun? Gadis itu dengan cepat membuka kotaknya dan menjatuhkan dengan sembarang. Muncullah sebuah Halberd di tangannya, kedua bilah pun langsung keluar ketika senjata itu digenggam oleh pemiliknya. Ketiga pria tadi diliputi aura ngeri serta tekanan yang berat dari senjata itu. Tapi, di sisi lain, mereka juga terpana melihat seorang gadis cantik bisa terlihat sekeren itu membantu mereka yang begitu payah. Gadis itu mengayunkan halberdnya ke belakang tubuh dan mengarahkan bagian kapak di bawah, sedangkan pisau tajam di ujung lainnya menghadap ke atas. Pedang itu begitu tinggi dan kokoh. Tongkatnya seperti tulang, berwarna merah sepekat rambutnya, dengan ujung kapak dan pisau di masing-masing sisinya berwarna hitam batu. Senjata itu terlihat seperti mesin pembunuh yang tidak akan bisa dihancurkan. “Kenapa harus dia yang dikirim kemari?” bisik salah satu dari mereka. “Crimson, jangan bunuh anak itu, dia hanya kerasukan!” pinta salah satu lainnya dengan suara parau. Gadis itu tidak menoleh sedikitpun, tidak pula menjawab. Dia langsung berlari dengan cepat menembus ilalang yang sudah hancur berkat tubuh Maxim yang terlempar tadi. Suara teriakan seorang wanita terus saja memekikkan telinganya. Crimson sampai di ujungnya menuju tempat terbuka dan melompat tinggi menatap targetnya yang baru saja bangkit lagi dan menatapnya. Sepersekian detik bilah kapaknya membelah tanah yang keras. Maxim berhasil menghindar lebih cepat. Crimson tidak membuang waktunya, dia kembali melompat ke sana kemari mengikuti arah maxim yang terus melawannya dengan tangan kosong. Sesekali makhluk itu mengeluarkan cairan hitam dari mulutnya. Seperti lem yang membuat apa pun meleleh. Crimson berhasil menghindar dengan cepat tiap kali Maxim memuntahkan cairan itu. Kemudian gadis itu melesat secepat kilat dan menarik kaki Maxim dengan lengkungan kapaknya sampai tubuh bengkak itu kembali terjerembab. Lalu, tongkatnya kembali diayunkan ke udara, tapi tiba-tiba dia berhenti tepat di depan pipi Maxim yang wajahnya menoleh ke arah suami istri yang hanya bisa melihat dari bawah pohon apel nan jauh di sana.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN