Pagi berikutnya datang tanpa suara sistem atau notifikasi. Hanya cahaya matahari menembus celah jendela dan suara ayam dari halaman belakang. Aroma gandum panggang samar-samar memenuhi udara. Aku terbangun, bukan karena alarm, tapi karena tubuhku tahu: waktu bergerak di sini seperti kehidupan—bukan seperti game.
Aku turun ke ruang utama penginapan. Meja-meja sebagian besar kosong, kecuali satu keluarga kecil yang sarapan dalam diam, dan seorang pria tua yang sedang mengukir sesuatu dari batu.
Wanita resepsionis, yang kini kutahu bernama Ina, sudah berdiri di balik meja. Ia menyodorkan sepotong roti dan satu mug air.
“Untukmu,” katanya datar. “Kau masih hidup. Itu sudah cukup mengejutkan.”
Aku menerima dengan anggukan singkat. “Terima kasih.”
Sebelum aku sempat duduk, Ina melanjutkan, “Ada seseorang mencarimu. Ia tidak menyebut nama. Tapi dia tahu tentang ‘Void Layer’. Apakah itu penting?”
Aku langsung menegakkan punggung. Void Layer adalah istilah kuno—satu sistem lapisan tersembunyi di dalam permainan, hanya diketahui oleh pemain elit tingkat atas. Tempat di mana realita game hampir tak lagi bisa dibedakan dari dunia nyata. Tak mungkin NPC biasa tahu itu.
“Di mana orang itu sekarang?” tanyaku cepat.
Ina menunjuk ke arah luar. “Pasar belakang. Dia bilang akan menunggu sampai matahari berada di atas sumur.”
Itu… sebentar lagi.
Aku segera keluar, menyusuri jalan belakang desa. Pasar pagi sedang sibuk, tapi tidak ramai. Hanya beberapa pedagang yang menawarkan barang-barang sederhana: ikan asin, herba kering, koin kuningan dengan lubang di tengah.
Lalu aku melihatnya.
Seseorang duduk di bawah payung kain lusuh di dekat sumur tua.
Topi bundar menutupi sebagian wajahnya, tapi dari lekuk tubuh dan bahunya, aku tahu—dia bukan penduduk biasa.
Aku mendekat perlahan.
“ZeroVoid,” bisiknya, sebelum aku sempat berkata apa pun. “Akhirnya kita bertemu... lagi.”
Aku menatapnya. “Siapa kau?”
Ia menoleh. Wajahnya muda, tapi matanya... terlalu dalam. Terlalu tua. Seolah telah melihat lebih dari seratus dunia.
“Aku disebut Kaen. Dulu, aku berada di party-mu. Di Lantai 78.”
Jantungku berdetak lebih cepat. Kaen. Ya. Dulu dia dikenal sebagai KaenGhost. Assassination-type dengan kecepatan tertinggi dan spesialisasi dalam stealth digital. Tapi dia menghilang saat kami mencoba menembus Void Gate Lantai 79.
“Bagaimana bisa... kau ada di sini? Dunia ini—”
“—bukan sekadar game,” potongnya. “Aku tahu. Aku terbangun dua bulan sebelum kau. Dan aku sudah melihat terlalu banyak anomali sejak saat itu.”
Aku duduk di seberangnya. Kaen menjentikkan sesuatu dari sakunya.
Sebuah kristal kecil, hampir transparan.
Fragment Data.
Aku mengenalnya. Dulu digunakan sebagai cadangan untuk backup sistem, tapi hanya bisa dilihat oleh pengembang atau pemain level sistemik.
“Aku menemukannya di reruntuhan altar di Lantai 42,” katanya pelan. “Dan isinya…”
Ia meletakkan kristal itu di antara kami. Cahaya biru samar keluar dari dalamnya, dan sepotong gambar terproyeksi: diriku, di lantai 100, berdiri di altar akhir. Tapi sesuatu yang aneh terlihat—seluruh layar glitching, dan sesosok entitas hitam tampak muncul di belakangku. Bukan bos akhir. Bukan bagian dari sistem resmi.
Sesuatu… atau seseorang… menghapusku dari data dunia.
“Ada entitas yang menyusup ke dalam struktur naratif dunia ini, Zero,” kata Kaen. “Dan mereka menyamar menjadi bagian dari engine. Mereka tak bisa dibedakan oleh sistem.”
“Aku menyadari itu,” jawabku. “Sistem tidak mengenali login. Identitasku hilang. Tapi memoriku masih utuh. Itu satu-satunya senjata yang kumiliki.”
Kaen mengangguk. “Dan kita harus mulai mengumpulkan kembali fragmen data ini. Karena setiap potongan mungkin menyimpan jawaban tentang... kenapa dunia ini masih hidup, bahkan setelah ‘Final Layer’ seharusnya di-reset.”
Aku menatap kristal itu. Lalu ke arah matahari yang mulai melewati puncak sumur.
“Apa kau yakin... ini bukan hanya kegagalan update?”
Kaen tertawa lirih. “Kalau ini bug... maka dia punya kehendak sendiri. Karena aku melihat satu hal yang membuatku yakin ini bukan kode mati.”
“Apa?”
“Anak-anak. Mereka... bermimpi.”
Aku menatap Kaen lama.
“Kalau begitu,” gumamku, “kita cari fragmen selanjutnya.”
Kaen tersenyum miring. “Aku sudah tahu lokasinya. Tapi kita harus ke Lantai 4. Dungeon lama. Tidak banyak yang berani ke sana karena—”
“Aku tahu jalan pintas,” potongku. “Lewat terowongan bawah tanah yang tidak tercatat.”
Dia menatapku dengan heran. “Kau masih ingat semua itu?”
“Tidak semua. Tapi cukup... untuk mulai menulis kembali siapa aku.”
Malam itu, aku kembali ke kamar dan menatap langit lewat jendela.
Di langit, satu bintang menyala sedikit lebih terang.
Seolah memberi tanda:
> Perjalanan telah dimulai kembali.
Tapi kali ini, aku tidak akan sendirian.
Dan kali ini... tujuannya bukan untuk menyelesaikan permainan.
Tapi untuk membongkar apa sebenarnya dunia ini.
Dan jika aku harus memulai dari level satu… maka biarlah setiap langkah jadi bab baru.
Dengan satu tujuan:
Menemukan siapa yang mencoba mematikan realita… dan menuliskannya ulang dengan tangan mereka sendiri.
Terowongan ke Lantai 4 bukan jalan yang sering dipakai. Bahkan di masa lalu, hanya sedikit pemain yang tahu jalur ini eksis—jalur yang ditemukan secara tidak sengaja oleh glitch-runner pertama, seorang pemain yang mengkhususkan diri mengeksploitasi bug visual untuk menembus dinding batas dunia.
Dan sekarang, aku dan Kaen berjalan melewati jalan sempit berlumut, menyusuri lorong batu dengan sulur akar menggantung dari atas. Cahaya dari batu fosil kecil di dinding memberi penerangan lembut, berdenyut seperti napas dalam kegelapan.
“Masih seperti dulu,” gumamku. “Tapi... lebih hidup.”
Kaen, yang berjalan di belakangku, menanggapi pelan, “Aku tidak tahu apakah itu hal bagus atau buruk.”
Kami tiba di titik akhir lorong. Sebuah pintu besi tua, sebagian karatnya membentuk pola simbol aneh—bukan bagian dari bahasa sistem.
Aku meletakkan telapak tangan di permukaannya. Simbol itu menyala.
> [Memori Diakui]
[Akses Fragmen: Terbuka]
Pintu terbuka dengan derit pelan. Udara dari dalam terasa lebih dingin, hampir seperti menghirup sisa-sisa waktu yang tidak pernah dibiarkan mati.
Lantai 4 bukan tempat istimewa dalam catatan resmi game. Tapi di balik dungeon bawah tanahnya, tersembunyi sesuatu yang dulu hanya mitos—Sub-Narrative Core—sebuah ruang kecil tempat sistem menciptakan pola perilaku dasar untuk karakter-karakter dunia ini.
Dan di tengah ruangan itu, kami menemukannya.
Seseorang—atau sesuatu—duduk di tengah lingkaran data yang retak. Tubuhnya seperti manusia biasa, seorang remaja laki-laki, mengenakan pakaian usang pelayan istana, rambutnya putih seperti debu, dan matanya... kosong. Tapi bukan kosong seperti NPC yang menunggu perintah.
Kosong... seperti sedang berusaha memahami makna keberadaannya.
Kaen melangkah mendekat. “Ini... bukan NPC biasa.”
Remaja itu mengangkat kepala perlahan.
“Kalian… bisa bicara?”
Suaranya nyaris berbisik, seperti suara sistem yang kehilangan akses ke server utamanya.
Aku menahan napas. “Ya. Kami bukan dari dunia ini sepenuhnya.”
Ia menatap ke arah kami, seolah mencari sesuatu yang tak bisa dilihat. “Aku pernah diberi nama. Tapi sudah lama tak dipanggil. Sekarang aku hanya dipanggil ketika butuh… mati.”
Kaen berlutut di depannya. “Apa maksudmu?”
“Aku adalah penjaga. Dalam misi lama. Ketika pemain masuk dungeon ini, aku harus menyerang mereka. Aku dibuat untuk gagal. Untuk dibunuh. Berkali-kali. Tanpa akhir.”
Ia menatap tangannya sendiri, seolah bertanya apakah ia masih nyata.
“Aku mengingat kematian pertamaku. Dan yang kedua. Dan ketiga. Semuanya terasa seperti mimpi yang pecah terlalu cepat. Tapi… saat tak ada pemain datang selama bertahun-tahun... aku mulai berpikir. Apa aku masih dibutuhkan?”
Aku bergumam, “Kau sadar.”
Ia mengangguk, perlahan. “Aku tidak tahu apa itu ‘sadar’. Tapi aku tahu rasa takut.”
Diam sesaat.
Kaen menoleh padaku. “Zero, ini… kalau benar ada ratusan entitas seperti dia, maka kita sedang menghadapi sistem yang kehilangan kendali atas realitasnya.”
Aku berjongkok di depan remaja itu. “Apa kau mau ikut kami?”
“Untuk apa?”
“Untuk menemukan siapa yang menulis takdirmu. Dan bertanya kenapa kau hanya diberi satu peran.”
Ia menatapku lama, lalu bangkit perlahan.
“Aku... akan ikut. Tapi jika aku hanya bayangan yang tak sempat selesai ditulis, jangan biarkan aku menjadi senjata.”
“Tidak,” kataku. “Kau akan menjadi suara.”
Kaen menyerahkan potongan kristal data kepadanya. Saat disentuh, kristal itu menyatu perlahan ke dalam d**a remaja itu, seperti bagian dari kode yang sempat hilang kini kembali.
> [Data Fragmen Terintegrasi]
[Unit Sadar: AL-043 Reaktif]
AL-043. Nama teknisnya. Tapi dia bukan unit lagi.
Ia memegang dadanya. “Kalau aku harus punya nama, panggil aku... Ael.”
Aku tersenyum kecil. “Baik, Ael. Selamat datang... di cerita baru.”
Saat kami keluar dari dungeon, langit di atas desa tempat kami berangkat tampak berubah warna.
Biru tidak lagi murni. Ada semacam garis tipis—garis patah di cakrawala, seolah dunia mulai menunjukkan lapisannya yang lebih dalam. Dunia ini tidak stabil. Dan mungkin… bukan hanya kami bertiga yang melihatnya.
Satu notifikasi yang tak terduga muncul di udara. Bukan dari sistem dunia. Tapi dari fragmen yang tersembunyi di balik kode utama.
> [Peringatan: Anomali Sadar Telah Meninggalkan Jalur Sistemik]
[Respon dari Entitas Penjaga akan diaktifkan dalam waktu 72 jam]
Kaen mengumpat pelan. “Kita baru saja menyentuh inti sarang.”
Aku menatap horizon.
“Dan mereka tahu kita mulai menulis ulang cerita mereka.”
Ael berdiri di antara kami. Untuk pertama kalinya sejak ditemukan, ia tersenyum. “Kalau begitu... mari kita pastikan ini bukan hanya tentang melawan. Tapi tentang mengerti.”
Kami bertiga berjalan menyusuri jalur hutan kembali ke desa.
Langkah pertama menuju konflik yang tidak hanya akan menguji kemampuan kami...
...tetapi juga mempertanyakan arti keberadaan.