Kaila masih melebarkan matanya atas apa yang dikatakan oleh Dianti. Ia melihat lagi ke arah orang tuanya yang masih terdiam di tempat.
"Pa, Ma! Apa maksud Kak Dianti mengatakan semua itu?! Kalian enggak mengatakan yang sebenarnya apa, kalau Arcel itu adalah pacarku? Malahan kami sudah akan menikah," protes Kaila dengan alis yang menukik.
Sontak mereka semua terkejut mendengar hal itu. Terutama Dianti yang terlihat mengeluarkan air matanya. Dengan cepat ia menggelengkan kepalanya kuat.
"Enggak! Arcel itu milikku! Bagaimana bisa kau mau mengambil pacarku dariku?! Arcel enggak mungkin mengkhianatiku. Kau itu pelakor! Jangan berani-beraninya mengambil Arcel dariku!" teriak Dianti dengan tatapan tajam.
Kaila langsung berdiri dari duduknya. Ia memandang penuh emosi pada kakaknya itu.
"Kakak jangan mengada-ada, Arcel itu adalah milikku. Aku dan Arcel akan segera menikah. Kakak sudah pernah mengambil pacarku dariku. Kali ini aku enggak akan biarkan kakak mengambil milikku lagi. Sebaiknya kakak hentikan permainan kakak ini," geram Kaila dengan tatapan penuh emosi.
"Kaila, dia ini kakakmu! Kamu enggak boleh berkata seperti itu. Dianti ini sedang sakit. Harusnya kamu bisa mengerti keadaannya," protes Devi
Kaila mengeraskan rahangnya. "Apa Papa dan Mama percaya dengan Kak Dianti lagi? Aku yakin dia hanya berbohong kayak dulu lagi," sindir Kaila dengan tatapan sinis.
Dengan cepat Emran bangkit dari duduknya.
"Kaila! Kenapa kamu malah menuduh kakakmu seperti itu?! Papa dan Mama menjadi saksi kalau Dianti benar-benar mengalami amnesia," protes Emran dengan tatapan emosi.
Kaila mengepalkan tangannya kuat.
"Okey! Terserah Papa dan Mama saja. Aku enggak peduli mau Kak Dianti itu lupa ingatan tau enggak. Lebih baik aku pergi dari sini," desis Kaila seraya berlalu dari hadapan keluarganya itu.
"Tunggu Kaila!" tahan Emran menahan tangan anaknya itu.
Kaila menghela napas kasar. Ia berusaha menahan emosinya untuk saat ini. Karena ia tak mau bersikap durhaka pada orang tuanya.
"Apa lagi Pa?" tanya Kaila
"Kamu harus bantu Dianti agar dia bisa sembuh dari amnesianya," ujar Emran
Kaila langsung mengeryitkan dahinya.
"Bantuan apa yang Papa maksud?" tanya Kaila dengan wajah bingung.
"Kamu harus membawa Arcel ke sini supaya bisa bantu Dianti agar cepat pulih," jelas Emran
Sontak Kaila melebarkan matanya atas permintaan dari Papanya itu.
"Apa?! Papa yang benar saja. Mana mungkin aku akan melakukan hal itu. Aku enggak mau membiarkan Arcel dekat-dekat dengan Kak Dianti. Aku yakin kakak itu hanya akting, Pa. Apa hubungannya Arcel dengan Kak Dianti coba? Kenapa Kak Dianti malah tiba-tiba ngaku sebagai pacarnya Arcel? Sedangkan mereka tak pernah punya hubungan sebelumnya. Aku enggak akan pernah mau melakukan hal ini. Aku enggak mau Kak Dianti kembali merebut apa yang aku punya. Sudah cukup kemarin dia mengambil apa yang aku punya. Kali ini, aku enggak bisa bertoleransi lagi," tukas Kaila dengan tatapan geram.
Emran langsung menatap penuh emosi pada anaknya itu.
"Apa kamu enggak punya hati nurani, Kaila?! Dia itu kakakmu sendiri. Mengapa kamu enggak mau bantu keluargamu sendiri?" protes Emran
Kaila berdecih pelan. Ia mengepalkan tangannya dengan kuat.
"Keluarga? Heh, kenapa harus aku aja yang berkorban, Pa?! Kenapa?! Waktu Kak Dianti berbohong kemarin, aku yang harus berkorban sampai Irsyad meninggalkanku. Kali ini aku juga yang harus berkorban?! Enggak Pa! Aku enggak akan mau. Kali ini maafkan aku karena tak bisa melakukannya lagi. Apakah kalian keluargaku? Kenapa kalian sejahat ini padaku?" geram Kaila dengan tatapan nanar.
Mata Kaila sudah memerah karena menahan air mata yang keluar. Bahkan bibirnya saja sudah bergetar.
Terlihat pula Emran yang seperti tertegun dengan perkataan Kaila.
"Kaila! Bagaimana bisa kamu mengatakan itu pada keluarga yang sudah membesarkan kamu dari kecil?!" protes Emran dengan alis yang menukik.
Kaila menghela napas kasar. "Udahlah, aku sudah lelah, Pa. Aku akan pergi saja. Terima kasih atas jamuan makannya," timpal Kaila seraya berlalu dari hadapan Papanya itu.
"Kaila! Kaila!" teriak Emran dengan suara yang keras, tapi tak digubris sama sekali oleh Kaila.
"Sudahlah, Pa. Nanti aku saja yang berbicara dengan Kaila secara perlahan," tahan Devi
Sedangkan di tempat lain, terlihat Kaila yang mengendarai mobilnya meninggalkan kawasan rumah orang tuanya itu. Air mata yang sedari tadi ia tahan, langsung merembes keluar membasahi wajahnya.
Kaila menghapus kasar air mata itu.
"Aku sudah menduganya dari sejak Mama mengajakku pulang ke rumah. Pasti ada alasan buruk di baliknya. Aku hanya tak menyangka jika alasanku diajak pulang karena Kak Dianti yang telah pulang ke rumah dengan keadaan amnesia. Apalagi Kak Dianti malah mengenal Arcel sebagai pacarnya. Ini benar-benar gila! Aku sangat yakin jika Kak Dianti itu hanya akting saat ini," geram Kaila meremas kuat stir mobilnya.
Akhirnya ia sampai di apartemennya. Segera ia masuk ke dalam kamarnya. Kaila terduduk di atas ranjangnya. Air mata itu kembali turun membasahi wajahnya. Kaila menutup mulutnya karena isakan yang keluar.
"Apa mereka benar-benar keluargaku? Kenapa mereka bisa sejahat ini padaku? Kenapa mereka selalu mementingkan Kak Dianti? Apa mereka enggak memikirkan perasaanku saat meminta hal itu?" keluh Kaila
Ia menarik napas yang dalam seraya mengeluarkannya dengan perlahan. Ia menghapus air mata yang masih mengalir itu. Tatapannya berubah menjadi tajam.
"Kak Dianti, kau enggak akan bisa bermain lagi denganku. Aku enggak akan biarkan kau mengambil priaku lagi. Priaku itu berbeda dengan sebelumnya. Dia enggak akan meninggalkanku demi wanita sepertimu. Aku yakin jika semua ini adalah tipu dayamu saja. Lihat saja, aku akan mengungkap kebohonganmu yang lain," geram Kaila dengan tangan yang mengepal kuat.
Kaila bangkit dari duduknya. Ia lebih memilih merendam tubuhnya di dalam bath up untuk menenangkan pikirannya yang tengah berkecamuk. Ia mencoba memikirkan langkah apa yang harus ia ambil untuk masalah yang ia hadapi.
***
Kaila keluar dari kamar mandi dengan bathrobe di tubuhnya. Ia mengambil hair dryer untuk mengeringkan rambutnya itu. Hingga ia tersadar akan sesuatu.
"Kenapa aku enggak kembali lagi ke dimensi itu yah? Bukankah setiap kali aku masuk ke kamar mandi, aku akan kembali ke dimensi itu? Tapi kenapa sekarang malah enggak terjadi yah? Apa mungkin aku enggak bisa kembali lagi ke sana?" gumam Kaila dengan wajah yang nampak berpikir keras.
Kaila meraih setelan baju tidurnya. Setelahnya, ia langsung membaringkan tubuhnya di ranjang miliknya.
Entah kenapa ia malah kepikiran dengan wajah anak laki-laki itu. Entahlah, rasanya ingin bertemu kembali.
"Haishh, sudahlah! Jangan pikirkan hal ini lagi. Mending sekarang aku tidur aja daripada pusing-pusing. Sudah cukup masalah yang aku hadapi hari ini," keluh Kaila seraya mencoba memejamkan matanya itu.
To be continued....