Bab 1| Janda Muda
Malam itu hujan turun begitu deras. Butiran air jatuh bertubi-tubi di atap rumah kontrakan kecil Sekar Ningrum, mengiringi suara tangisan dua anak kembarnya yang belum berhenti sejak satu jam yang lalu.
Sekar memeluk erat Naya dan Nara di pangkuannya. Tubuh mereka lemas karena lapar.
“Sabar, sayang… sebentar lagi, ya…”
Tangannya mengusap punggung mereka dengan lembut, berusaha menenangkan, tapi tangisan itu terus pecah—seperti belati yang menikam hatinya tanpa henti.
Di sudut ruangan, warung kecil yang dulu ia bangun dengan sisa uang asuransi kecelakaan suaminya kini kosong tak berisi.
Esok sudah pasti, ia harus menutupnya selamanya.
Tak ada lagi yang bisa dijual. Tak ada lagi yang bisa dimakan.
Sekar yang juga masih mengasihi juga tak mampu mengenyangkan kedua buah hatinya itu. Sekar juga lapar. Bagaimana dia bisa menghasilkan banyak asi jika dirinya sendiri kekurangan nutrisi?
Air mata menggenang di pelupuk matanya. Bukan karena hujan di luar, tapi karena kenyataan hidup yang semakin menghimpitnya.
Ia harus melakukan sesuatu.
Dengan tergesa, Sekar mengambil jaket tipisnya yang sudah lusuh, mengambil payung kuning robeknya, kemudian menggendong kedua anaknya keluar rumah. Hujan makin deras, tapi ia tak peduli. Satu-satunya harapannya malam ini adalah Bu Ramlah.
Wanita itu sering berutang padanya ketika Sekar masih berjualan.
Tiga ratus ribu rupiah.
Jumlah yang kecil bagi sebagian orang, tapi bagi Sekar, itu cukup untuk membeli beras, s**u, dan bertahan setidaknya untuk beberapa hari ke depan.
Ia tak bisa menunggu lagi.
Ia harus bisa mendapatkan uang, demi si kembar yang terus menangis.
**
Rumah Bu Ramlah masih terang saat Sekar tiba. Tangannya yang basah mengetuk pintu kayu itu berkali-kali.
Tok tok tok
"Buk Ramlah. Ini Sekar, Buk."
Tak lama, pintu terbuka. Sosok perempuan tambun dengan daster lusuh berdiri di sana, matanya langsung melotot melihat Sekar.
“Apa-apaan malam-malam gini?!” suaranya tinggi, penuh ketidaksabaran.
Sekar mengencangkan gendongannya pada Naya dan Nara, mencoba tetap tenang.
“Saya mau nagih utang, Buk. Yang tiga ratus ribu itu,” ucapnya dengan suara setenang mungkin.
Bu Ramlah langsung mendengus, wajahnya seketika berubah ketus.
“Hah? Utang? Lagi nggak ada duit! Kalau ada, pasti sudah kubayar!”
Sekar menggigit bibirnya. Kakinya terasa lemas, tapi ia harus tetap berdiri.
“Tolong, Buk.... buat beli s**u si kembar. Anak-anak belum makan dari tadi siang.”
Bu Ramlah malah tertawa sinis.
“Emang cuma kamu doang yang susah? Hidup kok ngandelin utang?! Kamu pikir aku ini bank?!”
Darah Sekar mendidih.
Tangannya mencengkeram erat lengan bajunya sendiri. Ia mencoba mengendalikan emosinya, tapi suara Naya yang menangis lirih di telinganya terus mengikis kesabarannya.
“Tapi itu uang saya, Buk. Saya butuh sekarang.”
Bu Ramlah melipat tangan di d**a, matanya menyipit dengan kejam.
“Dengar ya, JANDA! Aku juga punya banyak kebutuhan! Anak-anakmu bukan urusanku! Jangan nagih utang di rumah orang malam-malam begini kayak rentenir!”
Janda.
Sekar merasa tubuhnya membeku. Matanya panas, dadanya bergetar menahan rasa sakit yang tiba-tiba muncul. Apalagi dari celah jendela, Sekar bisa melihat anak-anak buk Ramlah tengah menikmati ayam goreng dengan lahapnya. Sekar sampai menelan ludah sanking kelaparannya. Dan buk Ramlah dengan sengaja menutup jendelanya, setelah Sekar ketahuan mengintip ke dalam rumah.
“Saya bukan rentenir, Bu. Saya cuma mau mengambil hak saya.”
“Hak?!” suara Bu Ramlah meninggi. Tatapannya semakin merendahkan.
“Hei! Kamu ini janda miskin, Sekar! Sudah nggak punya suami, nggak punya kerjaan tetap, masih berani nagih utang?! Harusnya sadar diri! Jangan sok merasa paling menderita!”
Sekar menggertakkan giginya. Tangan mungil Naya mencengkeram bajunya erat, seolah bisa merasakan kemarahan ibunya.
Dia ingin berteriak. Ingin melawan.
Tapi di belakang Bu Ramlah, beberapa tetangga sudah mulai mengintip.
Tidak ada yang membelanya.
Mereka hanya menunggu momen untuk ikut menghakimi.
Sekar akhirnya menarik napas panjang. Ia harus mengalah, bukan karena takut, tapi karena ia tak mau anak-anaknya melihat ibunya bertengkar di depan orang banyak.
"Besok saya nggak mau tahu. Uang itu harus ada, Buk! Kalau enggak, saya panggil pak RT untuk menangani hal ini."
"Silahkan!" Buk Ramlah menantang sambil menggeol-geolkan pantatnya - mengejek. "Aku nggak takut!"
Setelah mengatakan hal itu, buk Ramlah masuk ke dalam rumah sambil membanting pintu. Membuat si kembar tersentak kaget dan akhirnya kembali menangis kencang.
**
Sekar berdiri ragu di depan toko grosir yang masih terang. Hujan deras membuat tubuhnya semakin menggigil, daster tipisnya basah menempel di kulit. Dalam pelukannya, Naya dan Nara sudah mulai lelah menangis, hanya sesekali terisak dengan napas tersendat-sendat.
Ini bukan pertama kalinya ia berutang di sini. Tapi kali ini, ia benar-benar tak punya pilihan lain.
Tangan Sekar mengepal, lalu dengan langkah berat, ia masuk ke dalam toko.
Di dalam, Reza Fahmi, pria pemilik toko, sedang sibuk menghitung pemasukan hari itu.
Ia menoleh ketika mendengar suara pintu terbuka.
Tatapan mata mereka bertemu.
“Masuk, Sekar.”
Sekar menelan ludah. Ia tak bisa menyembunyikan wajah lelah dan putus asanya.
Tanpa perlu mendengar jawabannya, Reza langsung tahu.
“Kamu mau ngutang lagi?” tanyanya datar, tapi suaranya terdengar lebih lembut dari biasanya.
Sekar hanya bisa mengangguk.
“Anak-anak kelaparan, Mas. Saya janji besok akan langsung bayar, setelah menagih uang dari Bu Ramlah,” ucapnya lirih.
Reza mendengus kecil. Ia menutup buku catatannya, lalu berjalan mendekati Sekar dengan langkah santai.
“Bu Ramlah? Yang suka ngutang tapi susah bayar itu?”
Sekar terdiam. Ia tahu, Reza pasti ragu bahwa ia benar-benar bisa melunasi utangnya.
Reza berdiri di depannya, menatapnya dari ujung kepala hingga kaki, seolah sedang menilai sesuatu. Daster Sekar yang basah makin menempel di tubuhnya, memperlihatkan lekuk tubuhnya yang tetap terawat meskipun hidup dalam keterbatasan.
Sekar Ningrum bukan janda sembarangan.
Meskipun hidupnya penuh kesulitan, ia masih menyimpan pesona yang sulit diabaikan.
Kulitnya tetap bersih, tidak sekasar wanita kebanyakan yang bekerja banting tulang. Wajahnya yang oval dengan hidung kecil dan bibir penuh itu masih menyiratkan kelembutan seorang perempuan yang pernah dicintai dan dimanjakan.
Matanya—sepasang mata bulat dengan sorot penuh ketegaran—sering kali menjadi daya tariknya sendiri. Di balik tatapan lelah itu, masih ada sisa-sisa kecantikan seorang wanita yang dulu pernah bahagia.
Tubuhnya, meskipun lebih kurus setelah ditinggalkan suaminya, masih memiliki bentuk yang menggoda secara alami. Pinggang rampingnya masih terlihat meski tertutup daster longgar, dan meskipun ia bukan tipe perempuan yang senang merawat diri dengan produk mahal, alam seakan tetap menganugerahinya kecantikan yang tidak pudar meski hidupnya semakin sulit.
Sekar tidak pernah mencoba menarik perhatian pria mana pun.
Tapi ada sesuatu dari dirinya yang membuat mata laki-laki sulit berpaling.
Dan malam ini, di bawah tatapan Reza yang semakin tajam, Sekar tahu ia sedang diperhatikan bukan sebagai seorang ibu yang kelelahan, tapi sebagai seorang wanita.
Tanpa aba-aba, Reza meraih salah satu anaknya dan menggendongnya.
Sekar terkejut, tapi ia tidak berani menolak.
Nara yang digendong Reza langsung menyandarkan kepalanya ke d**a pria itu, tubuh kecilnya menggigil. Reza mengusap punggungnya dengan lembut, lalu mengulurkan tangan ke rak di dekatnya dan mengambil sebungkus roti.
Tanpa banyak bicara, ia menyodorkan roti itu pada Sekar.
“Kasihan anakmu. Kedinginan begini, masih juga kamu ajak hujan-hujanan. Kamu nggak kasihan?” suaranya terdengar seperti teguran, tapi tatapannya tetap lembut.
Sekar hanya bisa diam, menahan isakan yang tertahan di tenggorokannya. Matanya panas, dadanya sesak, tapi ia berusaha keras untuk tidak terlihat lemah di depan pria ini.
Namun, pada akhirnya, air mata itu tetap jatuh.
Reza memperhatikan tetesan itu dengan sorot mata yang sulit diartikan.
“Yang sabar, ya.”
Suara pria itu terdengar lembut. Terlalu lembut.
Lalu telapak tangannya bergerak, menyusuri punggung Sekar dengan elusan perlahan.
Sekar awalnya menganggapnya biasa saja—sekadar gestur perhatian.
Tapi lama-lama, sentuhan itu berubah.
Gerakannya yang tadinya sekilas, kini terasa lebih lama, lebih dalam.
Seakan menikmati.
Sekar menegang. Jantungnya berdegup lebih cepat.
Ada sesuatu dalam sentuhan itu yang membuat bulu kuduknya meremang.
Ia mencoba mengabaikan, mencoba menenangkan pikirannya sendiri—mungkin ini hanya perasaannya saja.
Tapi kemudian, ibu jarinya ikut bergerak.
Hanya sesaat. Hanya sebuah usapan kecil di tulang belakangnya. Tapi cukup untuk membuat Sekar sadar bahwa ini bukan lagi sekadar sentuhan biasa.
Ia buru-buru menggeser tubuhnya sedikit, berusaha keluar dari lingkaran sentuhan itu.
Reza tidak langsung melepaskannya.
Sebaliknya, pria itu menarik napas perlahan, matanya tak lepas dari wajah Sekar.
Ada sesuatu dalam tatapannya.
Bukan sekadar kasihan.
Bukan sekadar kepedulian.
Tapi sesuatu yang membuat Sekar ingin lari.
Tangannya mengepal erat, mencoba kembali ke tujuannya semula.
“Saya mau utang s**u dan beras, Mas. Besok saya bayar,” katanya cepat.
Reza terdiam sejenak, lalu tersenyum tipis.
Bukan senyum hangat seperti sebelumnya.
Tapi senyum yang membuat Sekar semakin gelisah.
“Ambil saja.”
Sekar bernapas lega. Ia langsung mengambil s**u dan beras, bersiap untuk pergi.
Tapi saat ia menoleh ke luar, hujan semakin deras.
Payungnya sudah rusak, dan ia tahu, jika ia memaksa pulang sekarang, anak-anaknya bisa sakit.
Reza menyadari keraguannya. Ia berjalan ke arah pintu, lalu menutupnya kembali.
“Tunggu di sini dulu sampai hujan reda,” ucapnya.
Sekar menggigit bibirnya.
Di dalam toko yang tertutup, hanya ada mereka berdua.
Sekar tahu, tetap di sini bukan pilihan yang lebih baik.
Tapi apa lagi yang bisa ia lakukan?
Di luar, hujan masih mengguyur deras. Dingin merayap ke kulitnya yang basah, tapi anehnya, dingin itu bukan lagi hal yang paling membuatnya tidak nyaman.
Perasaan aneh mulai menggerogoti dirinya.
Perasaan tidak nyaman ketika Reza menatapnya tanpa sungkan.
Tatapan yang terlalu lama. Terlalu intens.
Sekar menelan ludah. Ada sesuatu yang salah di sini.
Suara hujan menghantam atap toko, menciptakan gema yang memenuhi kesunyian di antara mereka.
Namun, di tengah suara deras itu, Sekar masih bisa mendengar sesuatu.
Napas Reza yang terdengar lebih berat dari seharusnya.
Sekar menegang. Perlahan, ia mengangkat wajahnya.
Tatapan mereka bertemu.
Mata pria itu terlalu tajam.
Terlalu dalam.
Dan yang lebih menakutkan lagi…
Tatapan itu bukan milik pria baik yang dikenal semua orang.
Bukan tatapan pria yang selalu tersenyum ramah, murah hati, dan penyayang.
Pria yang dipuja oleh ibu-ibu di lingkungan ini sebagai suami idaman.
Suami yang setia.
Suami yang bertanggung jawab.
Serta suami dari Aluna. Si selebgram terkenal itu.