Berulah lagi

1697 Kata
Saat engkau tertidur Kupandangi wajahmu Masih ingin kumendekapmu Masih ingin kumenciummu Tak pernah kusadari Waktu cepat berlalu Kini engkau menjadi besar Kini engkaulah harapanku Elena bersenandung lirih, sembari mengusap-usap perut Erland yang tadi dikeluhkan sakit. Ia berusaha membuat Erland nyaman dengan sentuhan lembutnya. Tumbuh-tumbuhlah anakku Raihlah cita-citamu Jangan pernah engkau ragu, Sayang Doaku selalu bersamamu membuat aman dihidupmu Selamanya Elena tidur dengan posisi menyamping memandangi wajah teduh putra sulungnya yang sudah terlelap dalam tidurnya. Ia menutupi tubuh Erland dengan selimut sampai ke d**a, mencium puncak kepalanya, lalu beranjak keluar dari kamar bernuansa hitam dan putih itu. *** Masih cukup pagi, setidaknya setengah jam lagi barulah bel masuk akan berbunyi. Erland terpaksa tiba di sekolah sepagi ini, karena sang ayah hendak menghadiri sebuah meeting penting di kantornya. Untuk saat ini, Erland masih belum berani menggunakan Kawasaki Ninja yang baru dibelikan oleh ayahnya. Perutnya sering tiba-tiba sakit tanpa melihat situasi. Bagaimana jika nyeri lambungnya kambuh saat tengah mengendarai motor? Seperti sekarang ini, Erland meremas kecil perutnya yang melilit, namun bukan karna GERD yang dideritanya, melainkan panggilan alam yang belum dituntaskannya karena sang ayah memaksanya buru-buru, sampai sarapan pun Erland lakukan di dalam mobil. "Vin? Antar gue ke toilet yuk," ajak Erland pada Alvin yang kini duduk di sampingnya. Alvin masih fokus pada komik yang tengah dibacanya, namun sedetik setelahnya mata sipit itu melirik tajam sosok pria bule yang menatapnya dengan tatapan memohon, "Mau ngapain?" tanyanya kemudian. "Buang muatan." "Ck, sendiri sana," decak Alvin "Takut ada yang buka pintunya. Biar kata dikunci, kalau ternyata gue lagi s**l gimana? Vin, please gue udah gak tahan ayo!" Erland bangkit dan langsung menarik tangan Alvin untuk melesat pergi ke toilet. "Jangan lama-lama! Gue tinggal kalau lama," ancam Alvin saat Erland sudah masuk ke dalam salah satu bilik di toilet pria. "Bawel lo!" sahut Erland dari dalam. "Gue tinggal nih." "Ja... jangan, Vin." "Jir lo ngomong sambil ngeden bukan, Lan? Hahaha... " Alvin tidak lagi bisa menahan gelak tawanya. Namun tiba-tiba bibirnya langsung bungkam saat Bagas dan konco-konconya memasuki toilet dengan tampang penuh kuasa. "Bocah tengik ngapain lo disini?" tanya bagas garang. "Nungguin temen yang lagi sakit perut di dalem," jawab Alvin sekenanya. "Cih! Pasti si bule k*****t itu!" dengus Bagas. Ia memberi kode kepada teman-temannya, lalu salah satu dari mereka masuk ke dalam bilik yang bersebelahan dengan bilik Erland. "Vin, lo masih disitu, kan? Bentar, ya, resleting celana gue rada gak bener nih," ujar Erland dari dalam. Alvin hanya diam. "Alv... " BYURRRR "Hahahha mampus lo!" Bagas dan teman-temannya tertawa penuh kemenangan. Mereka pun melangkah meninggalkan toilet. Erland muncul dengan rambut dan tubuh yang basah kuyup. Saat sedang membenarkan resleting celanan abu-abunya yang mendadak macet, seseorang di bilik samping telah menumpahkan seember air tepat di atas kepalanya. Kebetulan bilik toilet tersebut hanya diberi skat sejajar dengan pintu sekitar 100 cm di bawah plafon. "Ya Tuhan Erland!" Alvin memekik kaget. "Dingin, Vin." "Si Bagas kunyuk emang kelewatan! Gue aduin guru BP juga nih. Lo bawa ganti gak?" Erland menggeleng. "Ish, mana sebentar lagi upacara. Yaudah ayo ke koperasi, kali aja di sana ada." Erland menurut saja. *** Erland berusaha menahan hawa dingin selama upacara berlangsung. Ia terpaksa ikut upacara dalam keadaan basah, karena pihak koperasi tidak menyediakan seragam putih abu. Untuk pulang ke rumah sangat tidak mungkin, karena gerbang sekolah sudah ditutup lima belas menit sebelum upacara dimulai. Alvin beberapa kali menoleh pada Erland yang berbaris tepat di belakangnya. Ia takut kalau Erland akan pingsan seperti waktu itu. Seragam yang dikenakan Erland terlihat sudah sedikit mengering, mungkin karena bantuan matahari yang pagi ini cukup terik. "Erland, pusing gak?" tanya Alvin setengah berbisik. "Gak," sahut Erland. "Kalau pusing, bilang, ya? Biar gak pingsan di lapangan." "Hmm... " Erland hanya bergumam sebagai jawaban. *** Hana bingung mengapa Renata tiba-tiba mendiamkannya. Sejak pagi tadi, Renata tidak sekalipun mengajaknya bicara. Guru Matematika hari ini tidak masuk, karena sakit. Kelas jadi sangat gaduh. Hana memutuskan untuk pergi ke perpustakaan, daripada ikut berisik di kelas, lagi pula ia bosan Renata tidak seasik biasanya. Selepas kepergian Hana, Renata mengusap kasar wajahnya. Ia menyesalkan sikapnya pada Hana barusan. Tidak seharusnya ia bersikap dingin, tapi melihat apa yang terjadi kemarin antara Hana dan Erland membuat hatinya mencelos. Cemburukah? Bukan. Renata yakin itu bukan perasaan cemburu. Renata hanya kecewa karena Hana yang tadinya bilang tidak mau ikut dalam permainannya, justru memulai permainan itu sendiri. Sebatas itu saja. Sedang asik melamun tiba-tiba Bagas masuk ke dalam kelas, membuyarkan lamunannya. "Pagi, sayang," sapa Bagas. Ia mengambil posisi duduk tepat di samping Renata. "Pagi, Gas. Gimana Mama kamu udah sehat?" tanya Renata. Bagas mengangguk, "Maaf, ya, kemarin aku nggak bisa ngajakin kamu jalan kemarin. Capek banget." Renata menelisik penampilan kekasihnya dari atas sampai bawah. Sebuah senyum mengembang mengingat betapa beruntungnya ia bisa mendapatkan Bagas yang sangat tampan. Namun senyumnya perlahan memudar melihat tanda merah di leher Bagas, "Itu kenapa, Gas? Kamu habis ngapain?" tanya Renata sembari menunjuk apa yang dicurigai. "Ah, ini. Hm.. itu, Ren. Aku bilang kan kalau kemarin aku capek banget, terus dipijat sama si Mbok. Dia bilang aku masuk angin jadinya gini. Masih ada bekasnya, ya?" Renata menyipitkan matanya, "Benar?" Bagas mengangguk mantap. Dalam hati ia mengumpat, mengingat kebodohan Irene meninggalkan bekas di lehernya. "Sarapan belum? Kantin, yuk. Nggak ada guru, kan?" "Belum. Iya ayo." *** Erland mulai merasa panas dingin. Basah kuyup kemudian dijemur selama upacara berlangsung, membuat tubuhnya kini tak karuan, tapi Erland masih tetap memfokuskan dirinya pada mata pelajaran Biologi. "Hatchimmm... " Alvin menoleh. Ini sudah kesekian kalinya Erland bersin, "Lan, gue mintain obat ke UKS, ya?" Erland menggeleng, "Gak usah. Nanti juga sembuh sendiri, cuma bersin ini." Alvin melengos. Selalu berlagak sok kuat, kalau endingnya tumbang-tumbang juga kan tetap Erland yang malu. Punya sahabat susah diatur memang menyebalkan. Ah... entah sejak kapan Alvin dan Erland mengikrarkan kalau mereka bersahabat. Keduanya sama-sama merasa nyaman, merasa harus saling melindungi satu sama lain. Hari-hari mereka dipenuhi kegilaan menyenangkan. Entah itu karena kekonyolan Alvin, atau karena kejahilan Erland. Mereka tak malu menceritakan aib masing-masing, tak segan juga saling meminta bantuan. "Hatchimmm... " Erland bersin lagi, membuat guru Biologi berwajah sangar yang tengah mengajar di depan menoleh, "Kalau kamu sakit lebih baik istirahat di UKS. Suara bersin kamu mengganggu konsentrasi saya, juga teman-teman kamu yang lain," tegurnya. "Maaf, Pak. Saya janji nggak bersin lagi, tapi biarin saya tetap ikut kelas Bapak." "Dasar batu!" dengus Alvin pelan. *** Jam istirahat kedua, Alvin menyeret Erland ke kantin . Wajah sahabatnya itu semakin pucat, tapi tetap bersikeras ingin tetap berada di sekolah. Sebagai gantinya Erland harus menuruti semua perintah Alvin, karena kalau tidak, Alvin tidak akan segan-segan menghubungi orang tua Erland dan melaporkan kondisi Erland. Pada istirahat kedua, kantin tidak begitu ramai. Banyak siswa yang memilih menghabiskan waktu istirahat mereka di kelas, lapangan basket, perpustakaan, atau di mushola. "Lan, mau pesan apa?" "Apa aja." "Ye, si toge! Gue pesenin genteng rica-rica mau lo?" Erland mengangkat kepalanya yang sedari tadi dibenamkan di atas meja, "Apa aja deh. Jangan yang pedes, asem, berlemak, bersantan, jangan yang bikin penyakit gue kumat." Alvin nampak berpikir, "Anjir apa dong? Bilang yang spesifik kek. Roti boleh gak?" "Boleh." Erland memperhatikan sahabatnya yang mulai beranjak dari tempat mereka semula untuk memesan makanan. Dokter sempat menjelaskan kalau ia paling tidak harus mengisi perutnya setiap dua jam sekali dengan porsi sedikit tapi sering. Hanya saja dijam sekolah seperti ini tentu Erland agak kerepotan kalau harus makan dengan waktu yang ditentukan. Bagi orang-orang mungkin penyakit seperti ini dianggap penyakit ecek-ecek, tapi terkhusus bagi mereka yang merasakan, hari-hari mereka pasti terasa berat. Makan salah, tidak makan apalagi. Merasa mual dan ingin muntah setiap pagi ketika bangun tidur atau menjelang malam. Terkadang baru tidur satu jam sudah harus kembali terjaga karena seperti ada lendir yang menyumbat jalan napas mereka, membuatnya seperti tercekik. Pusing, d**a berdebar-debar, dan Erland tidak tahu sampai kapan ia akan merasakan hal itu. "Nih, Lan." Erland tersadar dari lamunannya. Ia tercenung melihat Alvin membelikan roti berukuran cukup besar beserta s**u kemasan, "Banyak banget, Vin. Gue cuma boleh makan sedikit, dan gue nggak bisa minum susu." "Lah kenapa?" "Kata dokter gue harus makan dalam porsi sedikit tapi sering, terus kalau masalah s**u gue pasti muntah kalau sampai nekat minum itu," terang Erland. "Yaudah gue beliin air mineral deh. Rotinya lo makan dulu, nanti kalau nggak abis ya ada gue ini." Erland tersenyum. "Hai... " Erland menoleh, dan mendapati Hana sudah berdiri di belakangnya,"Kak Hana. Sendiri aja, Kak?" "Bilang aja lo nanyain Renata." Erland mendengus sebal mendengar penuturan Hana. Hana yang gemas langsung menghadiahkan cubitan pelan pada hidung Erland, "Jangan ngambek. Jelek lo. Laper nih gue, ada makanan gak?" "Gak modal banget sih lo, Kak," seloroh Erland. "Biarin. Gue lagi bokek. Uang jajan udah abis aja, kemarin gue belanjain." "Gue cuma punya roti. Makan berdua yuk. Gue makan dikit kok." "Boleh deh. Suapin dong." "Manja!" Erland mencibir, tapi dengan gerakan cepat ia menyumpal mulut Hana dengan roti di tangannya. Hana tersenyum puas. Erland anak yang asik, bukan? Baru beberapa hari kenal, tapi mereka sudah sedekat ini, "Gue baper beneran ini lama-lama." "Hai Kakak gue yang cantik," Alvin datang-datang langsung sok kenal sok dekat. "Kapan gue kawin sama abang lo?" Alvin misuh-misuh merasa dipojokan, "Kak omelin si Erland tuh, bandel banget. Lagi sakit juga ngeyel tetep mau sekolah." Hana mengalihkan perhatiannya pada Erland, "Lo beneran sakit?" tanyanya sembari mendaratkan punggung tangannya di dahi Erland. "Gue nggak apa-apa, Kak." "Gara-gara si Bagas kunyuk, Kak," lapor Alvin. "Si Bagas ngapain lagi?" "Tadi Erland pup, terus pas lagi benerin resletingnya yang macet konco-konconya nyiram Erland dari bilik sebelah." "Anjir gak bisa disensor dikit? Si Bagas emang biang onar ya!" geram Hana. "Udahlah. Biarin aja. Gue lagi gak mau nyari masalah sekarang," Erland menengahi. "Dia harus dikasih pelajaran. Kemarin-kemarin dia isengin lo, gue maklum karena lo deketin ceweknya, ya, walaupun kelewatan sih. Tapi sekarang? Lo kan udah gak gangguin si Renata, masih aja jahil!" "Biarkan Bagas berkarya. Buka lagi mulut lo, Kak. Mending lo makan daripada ngomel," Erland kembali menyuapkan roti ke mulut Hana. Hana merebut roti di tangan Erland, "Lo juga harus makan. Aaa... " Alvin bertopang dagu, menatap Erland dan Hana dengan tatapan iri, "Asik, ya, lo berdua. Gue mah apa atuh, cuma badak berculah satu yang tak dianggap keberadaanya." Kontan Erland dan Hana tertawa bersamaan yang lagi-lagi karena kekonyolan Alvin. Bersambung...
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN