bc

TarraTian

book_age12+
801
IKUTI
6.0K
BACA
arrogant
CEO
comedy
sweet
bxg
humorous
assistant
wife
naive
shy
like
intro-logo
Uraian

Bekerja di perusahan (mantan) sahabat sendiri itu biasanya nyenengin kan?

" Mau apa perempuan itu bekerja di sini? Gue muak ngeliat mukanya! "- Christian Filbert Priambodo

" Ha? Itu Tian? Mantan pacarnya Tasya?! Mati gue! Dia kan benci banget ngelihat muka unyu gue! "- Tarra Sikara Hardinata

" Ngerasa bersalah? Gue rasa lo gak gitu..." - Alan Herdinaya

" Ini yang lo bilang sahabat?! gue benci sama lo!" - Tasya Firmian

" Ikuti kata hati lo Ra. Semua bukan salah lo. Takdir emang lagi pengen mainan sama lo..." - Kania Arisandra

" Gue tunangannya. Dan lo semua gak ada kuasa atas Christian!" - Miranda Aureliyana

chap-preview
Pratinjau gratis
Tersiksa
Waktu berlalu, dan ketika takdir mempertemukan kita, haruskah aku bahagia atau menangis?       “Tar…ruangan ibu Netta sudah kamu beresin?” tanya Pak Bagas. Tarra yang baru saja keluar dari ruangan ibu Netta langsung mengangguk.     “Sudah Pak. File-file yang Bapak butuhkan sudah saya taruh di meja Bapak. Termasuk bukti pembayaran transfer yang ada di saya.”     “Bapak harap persoalan ini jangan sampai diketahui oleh pegawai yang lain. Biarlah keluarga Ibu Anetta yang menyelesaikan tanpa kita harus ikut campur.” Tarra mengangguk lagi.     “Bapak percaya sama kamu,” tambah Pak Bagas. Tarra tersenyum kecil kemudian memunguti beberapa barang Ibu Anetta yang masih tertinggal di meja. Pak Bagas hendak berbalik kemudian teringat sesuatu.     “Oya, hari ini putra sulung Bapak Antariksa akan datang dan menggantikan kedudukan beliau. Setelah jam makan siang kamu juga ikut kumpul ke ruang rapat untuk mengikuti pesta penyambutan. Hanya pesta kecil-kecilan.”     “Kenapa nggak pas jam makan siang sih Pak? Kan sekalian makan,” cengir Tarra. Untuk manusia yang suka berhemat seperti Tarra, kalau ada makan gratis pasti Tarra tidak mau melewatkan.     “Sana bilang sendiri sama Pak Antariksa,” perintah Pak Bagas membuat Tarra manyun. Mana mungkin Tarra berani ngomong sama Pak Antariksa langsung. Emang Tarra siapa? Hanya pegawai biasa.     “Yaudah deh, Pak. Saya tahan-tahanin aja sampai pestanya dimulai. Snacknya yang banyak ya, Pak,” ujar Tarra memainkan alisnya. Tarra tahu Pak Bagas adalah asisten sekaligus orang kepercayaan Pak Antariksa. Kalau masalah pengaturan pesta dan catering tentu saja Pak Bagas yang punya kuasa.     “Bapak suka heran sama selera makan kamu. Tenang aja, buat kamu nanti bapak kasih double.”     Tarra langsung mengacungkan kedua jempol tangannya.     “Makasih Bapak. Saya pamit ke bawah dulu mau nganter barang bu Netta ke sopirnya.” Tarra berbalik pergi setelah Pak Bagas memberinya kode untuk segera ke bawah. Tarra sengaja setengah berlari karena tahu sifat sopir Bu Netta sama seperti Bu Netta. Tidak sabaran.     “Duh, habis ini gue ditempatkan di mana ya? Secara Bu Netta udah nggak menjabat lagi,” bingung Tarra sembari melihat ke kardus yang berisi barang-barang Bu Netta. Tarra berjalan cepat dan akhirnya berhenti di depan lift. Tarra masuk ke lift setelah menunggu selama semenit. Ditekannya tombol ke lantai 1. Lift tidak terlalu penuh jadi Tarra tidak perlu berdesak-desakan sambil membawa kardus.     Tarra sedikit bersenandung dan akhirnya lift tiba di lantai 1. Tarra keluar dari lift dan tanpa sengaja matanya bertatapan dengan seseorang yang sedang berbicara dengan resepsionis dan sekarang berjalan ke arahnya.     Tarra sampai tidak berkedip melihat laki-laki itu. Laki-laki yang langsung berhenti ketika sadar siapa yang ada di depannya. Lelaki itu balas menatap dengan tatapan dingin. Padahal Tarra yakin tadi sebelum laki-laki itu melihatnya, dia tersenyum ramah ke resepsionis. Dan kini pandangan mata laki-laki itu mampu membuat Tarra memucat.     Ha? Itu Tian? Mantan pacarnya Tasya?! Mati gue! dia kan benci banget liat muka unyu gue!     Secepatnya Tarra bersembunyi di balik kardus yang dia bawa. Tapi laki-laki itu lebih dulu melengos dan mengacuhkannya. Tian berjalan seperti menganggap Tarra tidak ada di depannya. Ketika mereka berpapasan, Tian langsung melewati Tarra, seakan Tarra tidak ada disitu. Asisten yang berada di samping Tian menyapa Tarra sedangkan Tarra masih bersembunyi di belakang kardus. Tian kemudian masuk ke lift. Sebelum pintu lift tertutup, Tarra sempat menengok ke arah Tian. Tian melihat Tarra seakan-akan menembus tubuhnya. Tarra merinding seketika.     Gue berasa ketemu sama demit.                                                                                         ***       “Yang tadi itu siapa?” suara Tian memecah kesunyian di dalam lift. Rudolf, anak Pak Bagas yang sekarang bekerja sebagai asisten pribadi Tian menoleh ke Tian dan mengernyitkan dahinya.     “Kalo maksud Pak Tian yang membawa kardus tadi, itu Bu Tarra. Sekretaris Ibu Anetta,” terang Rudolf.     Mau apa perempuan itu bekerja di sini? Gue muak ngeliat mukanya!     Tanpa Tian sadari, rahang Tian mengeras memikirkan siapa yang baru saja dia lihat. Perempuan itu. Perempuan yang wajahnya tidak akan pernah dilupakan oleh Tian walaupun sekarang dia berubah. Tarra yang dilihat Tian sekarang lebih matang dan dewasa. Tarra sudah berani berpakaian yang memperlihatkan lekuk tubuhnya. Tebakan Tian, Tarra pasti sudah menggoda banyak lelaki di perusahaan ini. Berapa banyak korbannya yang termakan sikap pura-pura polosnya itu?     Seperti dulu…     Memikirkannya kembali membuat Tian marah.     “Selidiki dia  juga. Siapa tau dia ikut andil dalam penggelapan uang perusahaan oleh Ibu Anetta,” ujar Tian dengan nada dingin. Rudolf sampai memandang aneh ke bosnya. Tian secara tidak langsung menyiratkan ketidaksukaannya terhadap Tarra. Setahu Rudolf, Tarra selalu profesional dan jauh dari kata ‘bermain kotor’.     “Kami sudah menyelidiki. Berdasarkan investigasi tim yang dibentuk Pak Anta langsung, Ibu Tarra tidak ada kaitannya sama sekali. Ibu Tarra hanya beberapa kali diminta Ibu Netta untuk mentransfer uang ke rekening pribadi ibu Anetta.”     “Pokoknya selidiki! Cari kesalahannya! Tidak mungkin dia tidak tahu apa yang dilakukan oleh Ibu Anetta!” perintah Tian tegas. Rudolf terhenyak sesaat. Mencari kesalahan Tarra? Untuk apa? Pikir Rudolf dalam hati.     Rudolf hanya bisa mengiyakan perintah Tian “Baik Pak. Akan saya lakukan segera.”     Pembicaraan berhenti sampai disitu karena lift sudah tiba di lantai yang Tian tuju. Tian melangkah tegap keluar dari lift. Pandangan mata para karyawan yang dilewati Tian kini tertuju padanya. Siapa sih yang tidak terpesona oleh Tian. Laki-laki yang membuat iri laki-laki lain karena proporsi tubuhnya yang bagus. Tinggi, badan kekar dibalut kemeja pas badan, dan kaki berototnya yang terbalut celana kain yang membalut sempurna kakinya. Laki-laki yang membuat perempuan bersedia melompat ke pelukannya karena ketampanannya.     Tian berjalan pelan menuju ruangannya. Setelah sampai, Tian berbalik ke Rudolf dan memandang Rudolf tajam.     “Ingat! Cari kesalahannya dan buat dia angkat kaki dari perusahaan ini.”     “Baik pak. Segera saya laksanakan.”                                                                                                       ***       Ini yang disebut pesta penyambutan?     Tarra mendengus sebal melihat pemandangan yang ada di depannya.     Ini namanya fans meeting. Ih seneng banget sih dikerubung kayak laler gitu.     Tarra mendelik ketika melihat Tian dikerubuti oleh pegawai perempuan. Dan yang membuat Tarra bertambah kesal karena Tian tersenyum ramah. Hellaw! Kenapa Tian tidak bersikap seperti itu dengan Tarra. Tarra mendadak manyun, pengen jongkok di pojok ruangan sambil garuk-garuk lantai.     “Tar…nggak ikut kesana?” tanya Pak Bagas menepuk bahu Tarra. Tarra menoleh dan tersenyum.     “Nggaklah pak. Kasihan Pak Tiannya. Berasa hewan langka. Tinggal dikandangin aja trus di arak keliling Jakarta. Pasti tambah banyak yang ngerubutin.”     “Huss! Ngawur kamu. Kalo Pak Tian denger gimana? Tapi bener juga sih…” kata Pak Bagas membuat Tarra tertawa. Tarra memang dekat dengan Pak Bagas. Well, siapa sih yang tidak dekat dengan pamannya sendiri. Apalagi setelah orangtua Tarra meninggal dunia, Tarra tinggal bersama paman dan bibinya. Tarra membiasakan bersikap profesional ketika sedang di kantor. Tidak pernah sekalipun Tarra memanggil Pak Bagas dengan sebutan paman di kantor. Karena itu, tidak ada yang mengetahui hubungan keluarga antara Tarra dan Pak Bagas. Kecuali Rudolf tentunya.     Di seberang sana, Tian yang tadinya tersenyum kini terlihat muram. Matanya tidak berhenti mengamati interaksi antara Tarra dan Pak Bagas. Cicitan penggemar Tian bahkan tidak dihiraukannya. Tian mendengus dalam hati     Jadi, lo sekarang main sama yang lebih tua? Benar-benar perempuan penggoda!     Tian hendak menghampiri Pak Bagas ketika Rudolf memberitahukannya bahwa akan ada sesi perkenalan dengan karyawannya. Rudolf meminta Tian untuk berdiri di tengah sedangkan pegawai yang lain mulai berdiri berjejeran. Pak Bagas menyuruh Tarra masuk ke dalam barisan. Pak Bagas sendiri berdiri di samping Rudolf dan Tian.     Satu persatu para pegawai diperkenalkan oleh Pak Bagas ke Tian. Setiap berhenti di salah satu pegawai pasti Tian menanyakan beberapa hal dan menjabat tangannya. Semua yang sudah berkenalan dengan Tian kagum dengan kepribadiannya yang hangat tapi terlihat tegas.     Tarra mulai mengatur nafasnya. Jantungnya berdetak tidak karuan ketika Tian kini sedang berbicara dengan salah satu pegawai bagian HRD di sebelahnya. Tarra memainkan jarinya sembari menunggu Tian selesai berbicara dengan pegawai itu. Tarra melirik melihat Tian menjabat tangan dan mengucapkan permintaannya untuk saling bekerja sama dengan baik. Tarra bersiap mengulurkan tangannya untuk berjabat tangan ketika…     WHAT?! Dilewati?! Begitu saja?!     Tarra sampai melongo memandang tangannya yang terulur tak berbalas. Ternyata tidak hanya cinta yang tidak berbalas. Pak Bagas dan Rudolf sampai kaget. Tidak hanya mereka sih, pegawai lain juga kaget dan merasa aneh dengan sikap Tian. Sudah jelas-jelas Tarra berdiri disitu, memangnya kurang besar apa badan Tarra sampai Tian tidak melihat?     Tarra melirik Tian masih dengan melongo. Sedang Tian seakan tidak terjadi apa-apa malah asyik berbicara dengan pegawai yang ada di sebelah Tarra. Sang pegawai ikutan melirik ke Tian dan Tarra merasa tidak enak dengan sikap Tian yang melewati Tarra begitu saja.     “Pak, maaf. Bapak melewati Ibu Tarra,” ucap Pak Bagas berusaha mengalihkan perhatian Tian yang kini sudah pindah ke pegawai lain dan berbicara ramah dengannya. Tian akhirnya mau melirik ke Tarra. Tian memandang Tarra dengan mata mengejek penuh dengan kebencian.      “Oh,” ucap Tian singkat lalu melengos dan melanjutkan pembicaraannya lagi dengan pegawai lain.     Tarra langsung melotot dan mencengkeram kuat pinggiran blouse-nya.     Oh?! Cuma oh?! Isshhh. Demi mas bram dan hello kittynya, gue mutilasi juga tuh orang. Nggak peduli orangnya seganteng Captain Ameyrikah, gue kutuk jadi patung pancoran baru tau rasa.     Tarra berusaha memendam emosinya. Pegawai lain mulai berbisik-bisik. Tarra mulai tidak tahan. Akhirnya Tarra memutuskan keluar dari ruang rapat tanpa pamit ke Tian atau yang lainnya. Pak Bagas yang melihat Tarra keluar lalu mengikutinya setelah sebelumnya pamit ke Tian.     “Ayah kamu perhatian juga untuk ukuran seorang pegawai biasa seperti Tarra ya,” sindir Tian ke Rudolf. Rudolf hanya diam. Rudolf memandang ke pintu yang tadi dilewati oleh Tarra dan Pak Bagas, ayahnya. Kalau ayahnya tahu Tian sudah tidak menyukai Tarra dari awal, apa tanggapan ayahnya ya?                                                                                            ***       “Hiks…hiks…keterlaluan emang.” Tarra akhirnya menangis di kantin kantor. Berhubung sepi, makanya Tarra tidak masalah menangis kencang. Tarra kan sudah ce esan sama Bu Kantin.     “Nih…” Pak Bagas menaruh beberapa batang coklat di meja. Tarra langsung mengambil, membuka dan memakan coklat itu dengan rakus.     “Mungkin Pak Tian mulai lelah,” ucap Pak Bagas berusaha melucu tapi Tarra masih saja terisak.     “Gila tuh orang! Beraninya mempermalukan Tarra. Kalo diajak duel juga Tarra ladenin walo tentu aja Tarra bakal kalah,” isak Tarra. Pak Bagas hanya bisa tersenyum. Nanti dia akan mencari tahu kenapa Tian membenci Tarra.     “Nggak usah nyari tau Pak. Emang saya ada masa lalu yang kelam sama Pak Tian,” ujar Tarra. Pak Bagas terkaget dan memandang Tarra.     “Maksud kamu? Kamu dan Pak Tian…sudah saling kenal?” tanya Pak Bagas masih dengan nada kagetnya. Tarra menganguk lemah kemudian melanjutkan mengunyah coklatnya.     “Ya gitu deh pak. Tapi ini masalah saya dengan Pak Tian. Saya berharap bakal di pindahkan ke perusahaan cabang daripada harus bekerja di atap yang sama dengan Pak Tian.” Tarra berusaha melap air matanya yang terus turun. Pak bagas menghela nafasnya panjang.     “Padahal kamu mau Bapak tempatkan sebagai sekretaris Pak Tian.”     Mendengar omongan Pak Bagas, Tarra langsung menggelengkan kepalanya cepat.     “Nggak pak. Makasih. Tadi aja Pak Tian alergi sama saya, dikira saya kuman kali. Mending saya dikurung sama harimau daripada harus seruangan lagi sama Pak Tian. Sama-sama bakal mati tapi kalo sama Pak Tian matinya saya pasti disiksa,” gerutu Tarra.     “Yaudah. Bapak kembali ke ruangan rapat lagi. Nanti bapak carikan posisi di perusahaan cabang. Tapi kamu nggak masalah bukan di Jakarta?”     “Nggak papa, Pak. Malah saya bakal bikin pesta syukuran 7 hari 7 malam sambil goyang ubur-ubur depan rumah. Yang penting nggak di sini,” ucap Tarra yakin. Pak Bagas kemudian tertawa pelan dan pergi meninggalkan Tarra sendirian di kantin.     Tarra yang ditinggalkan pak Bagas langsung celingukan dan melihat menu makanan yang membuatnya meneteskan air liur. Tadi Tarra tidak sempat mencicipi makanan di ruang rapat karena keburu tidak tahan dengan sikap jahatnya Tian. Walau sedih tapi kalau perut sudah bersabda ingin makan maka Tarra harus segera mengisi perutnya.     “Bu…mau yang ini, ini, sama yang ini ya?” tunjuk Tarra ke lauk ayam, telur, dan ikan serta sayur. Ibu kantin melayani Tarra dengan senang hati, jarang aja Tarra makan dengan lauk sebanyak itu. Ibu kantin tahu betul dengan sifat hemat Tarra.     “Bayarnya non?” ucap ibu kantin ketika Tarra hendak duduk setelah menerima makanannya.     “Suruh masukin ke tagihannya Pak Bagas bu! Tadi udah bilang sama saya,” cengenges Tarra berbohong ke Ibu kantin. Ibu kantin hanya bisa nyengir dengan tingkah Tarra, tahu kalau nantinya Pak Bagas bakal kaget dengan tagihannya yang dipenuhi tagihan dari Tarra. Tarra berdoa dulu kemudian menyerbu makanannya.     Oh! Ini surga dunia namanya!                                                                                                ***       Pak Bagas hendak masuk ke ruang rapat ketika Tian keluar dengan Rudolf. Dengan gerakan tangannya, Tian menyuruh Pak Bagas ikut dengannya menuju ke ruangan Tian. Di dalam ruangannya, Tian menyuruh Pak Bagas dan Rudolf duduk di sofa.     “Pak Bagas sudah menemukan sekretaris buat saya?” tanya Tian. Tadinya Pak Bagas mengira maksud Tian memanggilnya karena ingin menanyakan tentang Tarra tapi ternyata tidak.     “Tadinya sudah Pak. Tapi kandidat yang ada kayaknya mempunyai hubungan yang buruk dengan Bapak,” ujar Pak Bagas.     “Maksud Bapak perempuan tadi?”     “Perempuan tadi punya nama. Namanya Tarra.” Terlihat Pak Bagas mulai kesal dengan sikap kasar Tian. Pak Bagas tidak takut sama sekali dengan Tian. Toh dia asisten Pak Anta.     “Ya…ya. Saya sudah tahu. Memangnya tidak ada pegawai lain yang cocok menjadi sekretaris saya? Saya tidak mau dia menjadi sekretaris saya,” ucap Tian mengabaikan nada bicara Pak Bagas yang terlihat kesal dengannya.     “Dari kualifikasi dan syarat yang Bapak berikan kepada saya, hanya Ibu Tarra yang memenuhinya. Nanti saya coba lihat di perusahaan cabang Pak. Bisa rolling dengan ibu Tarra,” kata Pak Bagas.     “Lagipula tadi Ibu Tarra sudah mengatakan kepada saya untuk dipindahkan ke perusahaan cabang. Ibu tarra mengerti situasi yang ada. Bahkan ibu Tarra mengatakan kepada saya, lebih baik dia mati seruangan dengan singa daripada harus mati tersiksa seruangan dengan Pak Tian,” lanjut Pak Bagas sedikit terkekeh. Rudolf sampai harus menahan tawanya. Tian yang mendengarnya kini melirik kesal ke Pak Bagas. Tian tahu Pak Bagas tidak pernah merasa terintimidasi dengannya. Karena yang paling superior di sini ya jelas Papahnya.     Tian terdiam memikirkan sesuatu.     Hem…tersiksa, kayaknya asyik tuh.     Tian menoleh ke Pak Bagas, “Saya berubah pikiran. Saya mau Ibu Tarra bekerja sebagai sekretaris saya. Kalo dia menolak, saya pastikan dia tidak akan bisa bekerja di perusahaan manapun!”

editor-pick
Dreame-Pilihan editor

bc

Daddy Bumi, I Love You

read
36.0K
bc

Stuck With You

read
75.7K
bc

Maaf, Aku Memilih Dia!

read
230.5K
bc

Undesirable Baby 2 : With You

read
168.2K
bc

Undesirable Baby (Tamat)

read
1.1M
bc

Sacred Lotus [Indonesia]

read
53.9K
bc

UN Perfect Wedding [Indonesia]

read
80.1K

Pindai untuk mengunduh app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook