Ketika kata terucap baik-baik saja, bisa saja itu artinya aku sedang kacau.
“SELAMAT PAGI PAK TIAN! Saya juga baik Pak dan oh iya masih bernafas seperti biasa. Terima kasih sudah bertanya!”
Sapaan itu selalu terdengar sejak dua minggu ini. Sapaan tidak berbalas punya Tarra. Sejak Tarra dipaksa menjadi sekretaris Tian, Tian mendiamkannya seakan Tarra tidak ada. Bahkan ketika Tarra menyapa, Tian tidak mau repot-repot menengok. Kalau bukan paman yang membujuknya, nggak bakalan Tarra mau jadi sekretaris Tian. Terus kalau Tian butuh Tarra? Tian cukup menempelkan note kecil di depan pintu ruangannya dan jelas Tarra mau tidak mau harus menerima metode komunikasi ala Tian.
Tarra melirik sebal ke Tian yang kini sudah memasuki ruangannya. Kalau muak dengan Tarra kenapa Tarra tidak dipindahkan saja. Asal jangan dipecat sih. Tarra kan membutuhkan uang.
Tarra mengedikkan bahunya kemudian kembali mengecek jadwal Tian. Jam 9 ini, Tian harus menghadiri rapat direksi membahas turunnya harga saham di pasar saham ketika ditangani Anetta. Tarra lalu berdiri dan menuju ruangan Rudolf yang terletak di sebelah ruangan Tian. Tarra mengetuk pintu dan Rudolf mempersilahkan Tarra masuk.
“Pak, jangan lupa jam 9 ini ada rapat direksi,“ ucap Tarra mengingatkan. Rudolf hanya menaikkan alisnya dan tersenyum kecil. Rudolf merasa geli dengan tingkah Tian dan Tarra. Setiap Tian ada janji atau kegiatan lain pasti Tarra mengingatkannya ke Rudolf bukan ke Tian langsung.
“Kamu lupa di mana ruangan Pak Tian?” pertanyaan Rudolf membuat Tarra memutar bola matanya karena Tarra tahu Rudolf sedang menyindirnya.
“Siapa? Pak Tian? Ada ya di gedung ini yang namanya Pak Tian?”
“Ehem!” suara dehaman di belakang Tarra membuat Tarra menengok dan kaget mendapati Tian sudah berdiri di belakangnya.
“Pak Rudolf, saya permisi dulu.“ Tarra lalu berbalik dan tanpa sengaja menabrak lengan Tian. Tetap saja Tian bergeming dan tidak mau memandang Tarra. Bahkan Tian menepuk-nepuk pelan lengannya seakan-akan bekas Tarra menabrak jasnya tadi banyak kumannya.
Tarra sampai melotot tapi tetap saja Tian tidak peduli. Tarra langsung berbalik hendak kembali ke mejanya ketika Tian berbicara ke Rudolf.
“Tolong bilang ke Nona BODOH yang bahkan tidak tahu siapa nama pimpinan disini, untuk ikut menyiapkan presentasi sekarang. Suruh dia duduk di sebelah saya nantinya!” perintah Tian.
Apa?? Nona Bodoh??Menurut lo? Lo Tuan Pintar gitu?!
Tarra menghentakkan kakinya sebal kemudian keluar dari ruangan Rudolf tapi kemudian berbalik lagi tanpa menghiraukan Tian yang masih berbicara dengan Rudolf.
“Maaf Pak Rudolf. Tolong sampaikan ke bapak PIMPINAN TERPINTAR yang bahkan ngelihat sekretarisnya aja NGGAK BISA, presentasi akan saya siapkan. Oh ya, sampaikan juga aku RAPOPO di kayak giniin. Sekian dan terima kasih.” Tarra langsung ngacir pergi setelah mengucapkan kata-kata yang memenuhi otak dan perasaannya dua minggu ini. Tian sampai menoleh kesal dan melotot ke Rudolf ketika Rudolf hendak tertawa.
Tarra bergegas meraih file di mejanya dan menghempaskan pantatnya ke kursi. Dia langsung mengotak-atik presentasi untuk nantinya. Matanya mulai merah dan bibirnya mengerucut kesal.
Tarra emang Rapopo.
Tarra RApuh POrak POranda dicuekin Tian. Toh kejadian dulu bukan semua salah Tarra. Tian juga jelas salah. Kenapa musti Tarra yang menanggung sendirian. Tarra hendak menangis. Tarra memang gampang menangis walaupun karena hal sepele. Dulu aja dia sampai punya julukan ‘gembor’ yang artinya alat penyiram tanaman sama Bundanya karena dikit-dikit suka nangis.
“Huuu…ini salah nggak ya? Huuu,” isak Tarra masih berusaha mengetik dan melihat kalau-kalau apa yang dikerjakannya salah. Bisa-bisa Tarra kena semprot lagi.
Tanpa Tarra sadari, Tian mengamatinya dari jauh. Tian berdiri di depan pintu ruangan Rudolf dan menengok ke Tarra. Tian menghela nafasnya panjang. Tian lalu berjalan pelan ke meja Tarra. Tanpa banyak bicara, Tian meletakkan sapu tangan miliknya di dekat tangan Tarra. Tarra sampai berhenti mengetik dan mengucek-ucek matanya karena takut apa yang dilihatnya tadi hanya ilusi.
“Ma…” sebelum Tarra sempat mengucapkan terima kasih, Tian bergegas kembali keruangannya.
“Makasih Fi,” bisik Tarra memanggil Tian dengan nama panggilan kesukaannya dulu, kemudian dia menyeka air matanya dengan sapu tangan milik Tian.
***
“Gimana? 10 menit lagi rapat akan dimulai,” kata Rudolf ke Tarra.
“Sip. Ini udah oke kok. Udah saya save di flashdisk. Buat jaga-jaga kalo laptop yang disana trouble.“ Rudolf lalu mengangguk dan melirik ke ruangan Tian
“Saya atau kamu nih yang mau manggil Pak Tian?” tanya Rudolf yang dibalas Tarra dengan menunjuk dirinya. Rudolf mengedikkan bahunya lalu mengetuk ruangan Tian. Rudolf masuk dan mendapati Tian sedang serius mempelajari file di mejanya.
“Pak, rapat akan dimulai 10 menit lagi.”
Tian mengangguk dan mengumpulkan file di mejanya. Tian berjalan keluar diikuti oleh Rudolf. Sesampainya di depan meja Tarra, Tian meletakkan file dan menyuruh Tarra membawanya.
“Kamu bawa ini,” perintah Tian. Tarra sampai melongo tidak percaya. Keajaiban apa ini. Setelah tadi Tian memberinya sapu tangan dan kini Tian mau berbicara padanya?
Tarra meraih file dan mendekapnya dengan erat seakan itu barang berharga milik Tian yang harus dia jaga. Tian berjalan dengan tegap menuju ruangan rapat. Di belakang, Tarra menyenggol lengan Rudolf
“Pak…saya tadi nggak salah denger kan? Beneran kan Pak Tian ngomong sama saya? Kayaknya Pak Tian habis kesambet tadi,” bisik Tarra ke Rudolf. Rudolf balas menyenggol lengan Tarra hendak memarahinya ketika Tian berhenti dan menengok ke mereka berdua.
“Saya jelas mendengar apa yang kamu katakan. Butuh jawaban dari saya Nona bodoh?” marah Tian dengan nada dinginnya. Tarra menggeleng dan berjalan cepat mendahului Tian sebelum Tian berubah pikiran tidak mau berbicara dengan Tarra lagi.
“Mana ada bawahan berjalan di depan atasannya,” gerutu Tian. Tian berjalan kembali menuju ke ruangan rapat. Sesampainya di sana, Tarra malah duduk jauh dari kursinya. Dengan tatapannya yang tajam, Tian menyuruh Tarra duduk di sebelahnya. Tarra menunduk takut kemudian akhirnya duduk di samping Tian. Rudolf mengikuti dengan duduk di samping Tarra.
“Jangan lupa catat pernyataan atau pertanyaan penting yang diajukan oleh para pemegang saham,“ kata Tian tanpa melihat ke Tarra yang Tarra tahu perintah itu untuknya. “Rudolf, siapkan file saya ke depan. Saya akan mempresentasikan sendiri. Kamu cukup mengamati dan membantu saya meyakinkan mereka,” perintah Tian lagi. Rudolf mengangguk.
“Oh. Catat juga siapa yang terlihat tidak suka. Kita harus tahu siapa kawan dan siapa lawan,” kali ini Tian memberi perintah setengah berbisik ke Tarra. Tanpa sengaja tangan Tian menyenggol tangan Tarra. Tarra sampai tercekat kemudian mengangguk pelan sembari merona tanpa diketahui oleh Tian. Tarra lalu mulai membuka laptopnya dan sesekali melirik ke tangan Tian. Melihat bagaimana jari-jarinya mengetuk-ketuk meja menunggu Rudolf menyiapkan semuanya.
Satu dari seribu hal yang gue suka dari dia
Rudolf memberi tanda ke Tian bahwa persiapan selesai dan Tian bisa memulai rapatnya. Tian kemudian memberi salam pembuka kepada para pemegang saham dan mengucapkan terima kasih atas kedatangan mereka. Tian memberi tanda ke Tarra dengan mencolek tangannya agar mulai mengamati. Sekali lagi Tarra merona. Karena tidak ingin Tian tahu, Tarra justru menoleh ke Rudolf yang malah menatapnya aneh
“Apa?” tanya Tarra tidak bersuara.
Rudolf menggelengkan kepalanya pelan dan bergumam sesuatu, “Keliatan banget…” tapi Tarra tidak mendengarnya
“Aneh,” kata Tarra kemudian mulai mengamati orang-orang yang ada di depannya. Rudolf melihat ke Tarra dan bergumam lagi, “ Uhh, emang Nona bodoh.”
***
“Tar, udah denger belum? Bu Netta katanya kena trouble ya? Gimana sih ceritanya?” tanya Cecilia, teman Tarra yang berada di bagian HRD. Sebenarnya bukan teman sih. Hanya sekedar kenal saja sebagai rekan satu kantor.
Siang itu kantin kantor sangat penuh. Setelah rapat selesai yang bertepatan dengan jam makan siang, Tarra pamit ke Tian dan Rudolf untuk makan siang karena pagi Tarra tidak sempat sarapan. Udah keburu diungsiin sama Tante Alma -istri Pak Bagas- ke dapur, padahal jelas-jelas Tarra belum sarapan. Untungnya Tarra mendapat tempat duduk. Sialnya dia duduk dengan para penggosip.
“Nggak tau gue,“ ucap Tarra mulai menyendok makanannya.
“Bohong lo. Lo kan bekas sekretaris Bu Netta. Masak nggak tau,“ ujar Prita, teman Cecilia.
Tarra langsung berhenti mengunyah. “Bekas? Lo pikir gue barang apa?” sungut Tarra
“Ups. Maaf, iya deh mantan sekretaris,“ ujar Prita tidak benar-benar meminta maaf.
Tarra melotot sebal, “lo pikir gue pacarnya Bu Anetta? Emang kalo jadi sekretaris harus gitu ngurusin urusan atasannya? Biarin aja yang penting gue nggak kena ini,” balas Tarra cuek. Tarra mulai sebal kalau sudah ngumpul kayak gini. Tarra menyesal lupa nyolong bekalnya Kania tadi. Kania, sahabat dekat Tarra sejak jaman kuliah. Biarin aja Kania menderita. Kania kan temen kantornya nggak rese kayak gini. Kalau tadi berhasil nyolong bekal Kania,Tarra tidak harus berdesakan membeli makan atau duduk sama tim penggosip di kantornya.
“ Alah. Sok-sok an lo,” ejek Cecilia. Tarra hanya bisa mendelik dan mulai mengedarkan pandangannya sekeliling. Ada sih kursi kosong tapi duduk sama pegawai laki-laki. Yang bikin nggak enaknya, tuh laki-laki suka ngirim pesan cinta ke Tarra. Tarra malah bingung sendiri. Sebenarnya Tarra tidak menyalahkan mereka sih, namanya juga penasaran. Apalagi kabar kasus Bu Netta sudah banyak yang tahu. Mereka tahunya Bu Netta bermasalah dengan kinerja hingga harus diberhentikan dari jabatannya. Padahal lebih dari itu. Tarra tahu dan Tarra memilih untuk diam karena ada masalah keluarga juga.
“Gue denger lo ikutan bantuin Bu Netta ya?” sindir Prita. Tarra menggaruk pelipisnya kesal. Mending nggak duduk disini deh!
Tarra berdiri dan membawa piringnya ke meja Erick dan teman-temannya tanpa menghiraukan Cecilia dan Prita yang kini malah menggumamkan sesuatu tentang cakep atau apalah itu.
“Boleh gabung nggak?” tanya Tarra yang jelas saja diperbolehkan oleh Erick dan teman-temannya. Sebelum Erick mempersilahkan Tarra duduk di sampingnya, Tarra memohon teman Errick untuk memberikan tempat duduknya ke Tarra.
“Gue duduk di sini aja boleh?” kata Tarra lembut membuat teman Erick langsung pindah tempat duduk di samping Erick sedang Tarra duduk di pinggir, menjauhi Erick.
“ Tar..entar malem lo…”
“Maaf, gue laper banget nih. Mau fokus makan,” tolak Tarra langsung, tahu untuk kesekian kalinya Erick mau mengajaknya jalan. Erick terdiam. Sudah berkali-kali Tarra menolak ajakannya. Bukan hanya dia sih yang ditolak. Tapi cukup banyak laki-laki yang bekerja di perusahaan ini yang ditolak cintanya oleh Tarra. Tapi bukan Erick namanya kalo dia sampai menyerah begitu saja.
“Iya maaf. Lo makan dulu aja,“ senyum Erick. Sebenarnya Tarra merasa tidak enak. Kalo Tarra mengiyakan ajakan Erick terus ujung-ujungnya Tarra tidak bisa lebih dari teman sedang Erick mengharap lebih, bisa dikira Tarra PHP-in orang.
Tian yang tadinya hendak ikut makan bersama di kantin dengan Rudolf dan Pak Bagas langsung berhenti ketika melihat pemandangan ganjil di depannya. Tarra duduk di meja yang penuh diduduki oleh pegawai lelaki padahal jelas ada kursi kosong bersama pegawai perempuan.
“Mari Bapak, di sana ada kursi kosong,” tunjuk Pak Bagas tapi Tian masih diam di tempatnya. Masih mengamati Tarra yang nggak ngerasa diliatin Tian.
“Saya makan di luar saja Pak. Saya lupa kalau ada janji dengan teman,” tolak Tian halus kemudian pergi meninggalkan Pak Bagas dan Rudolf.
“Ru, boss kamu sebenarnya ada apa sih sama kunyuk satu tuh? Papa khawatir. Kalo ada apa-apa sama Tarra, Papa kan beban nantinya di akhirat sana. Kalo dapet titipan anak yatim piatu harus dijaga dengan baik,” kata Pak Bagas panjang lebar.
“Kayaknya mereka dulu pernah pacaran Pah. Yah namanya juga mantan. Nggak enak pasti ketemu lagi,” kata Rudolf kemudian mengedikkan bahunya. Rudolf mengedarkan pandangannya mencari meja kosong ketika dilihatnya Tarra makan dengan lahap sembari diamati oleh pegawai laki-laki. Bahkan cara Tarra makan bisa membuat mereka saling ber ah oh ah oh.
“Kayaknya aku tau kenapa Pak Tian pergi. Tuh…” tunjuk Rudolf ke arah meja Tarra. Pak Bagas hanya tertawa kecil.
“Gabung aja kesana. Selamatin tuh kunyuk dari tatapan lapar buaya-buaya darat,” perintah Pak Bagas. Rudolf mengangguk kemudian bersama Pak Bagas mendekat ke meja Tarra. Benar saja, para pegawai langsung bubar melihat Rudolf dan Pak Bagas mendekat.
***
Tarra melirik pintu ruangan Tian yang tertutup rapat. Sedari Tian kembali dari makan siangnya, Tian kembali lagi nyuekin Tarra. Tarra sampai nulis kata-kata mutiara aku rapopo di tempel di layar atas komputernya. Pengen banget mukul kepala Tian pakai raket nyamuk. Biar maknyus dapat double sakit.
Ketika Tarra kembali memusatkan perhatiannya ke layar komputer, terdengar suara pintu lift terbuka.
He, aneh. Biasanya kalo mau ada tamu FO bakalan ngasih tau. Nggak mungkin Rudolf. Rudolf ada diruangannya kok.
Seseorang keluar dari lift dan melangkah dengan anggunnya. Tarra sampai memandang tidak berkedip. Bukan karena dia cantik. Cantik kan emang punyanya perempuan tapi dia itu seksi. Gaunnya memang selutut tapi ngepres kayak jalan baru diaspal. Jalannya aja sengaja di lenggok-lenggokin biar kelihatan menggoda.
“Siang Mbak Sekretaris. Saya ingin bertemu dengan Pak Tian. Kami sudah janjian.”
“Siang juga ibu…”
“…panggil aja Elisa.”
Tarra mengangguk kemudian mencari nama itu di buku catatan Tarra.
“Oh. Nama saya tidak akan muncul disitu soalnya kami ada janji…” Elisa mendekat ke wajah Tarra “…pribadi,” bisik Elisa lalu mengedip ke Tarra.
Tarra langsung menjambak rambut wanita itu dan memasukkannya ke karung. Tarra buang deh ke segitiga Bermuda.
Tapi itu hanya ada di khayalan liar Tarra.
Tarra hendak menelepon Tian ketika secara kebetulan Tian keluar.
“Masuk aja langsung,” suruh Tian. Elisa masuk ke ruangan Tian sedang Tian berdiri di depan meja Tarra.
“Lainkali kalo ada perempuan datang mencari saya suruh langsung masuk aja. Tidak usah kamu larang,” ujar Tian dingin.
“Segala jenis perempuan pak?” tanya Tarra masih melongo.
“Iya.”
“Dari adek-adek an, adek ketemu gedhe, jadi-jadian, sama yang nggak nyata juga pak?” tanya Tarra lagi biar jelas perintah Tian. Tian hanya memandang sebal Tarra lalu berbalik masuk ke ruangannya.
Tarra menjadi gelisah. Mereka kayaknya akrab banget. Pacar Tian kah? Tarra langsung menggelengkan kepalanya cepat. Tarra memutuskan mendekati pintu ruangan Tian dan berusaha mendengar aktivitas apa saja yang dilakukan oleh Tian dan Elisa.
Mata Tarra membulat sempurna ketika mendengar suara cekikikan yang malah semakin lama terdengar seperti suara desahan. Tarra nekad menempelkan wajahnya ke kaca jendela Tian berusaha melihat apa yang sedang mereka lakukan. Tarra sedang asyik muter-muterin muka ketika tiba-tiba Tian membuka vertical blind di kacanya dan melihat muka Tarra yang nemplok di kaca.
What the…
Tarra melotot kaget dan pura-pura membersihkan jendela ruangan Tian dengan jasnya. Muka Tarra sampai memerah karena malu. Tarra sampai tidak berani melirik ke si Elisa itu. Tian lalu menutup kembali vertical blind nya. Dan Tarra bersumpah , Tarra melihat Tian nyengir kecil sebelum menutup vertical blind-nya.
Tarra menatap kesal lalu akhirnya duduk kembali ke tempat duduknya. Dipandanginya lagi tulisan quotenya hari ini.
Hari ini emang gue rapuh porak poranda